Selasa, 14 Juni 2016

Teori Konspirasi

“Giliran Anda, Angkasa!”
Dosenku menyebut namaku. Aku bangkit dari kursi dan melangkahkan kakiku ke depan kelas sambil membawa memory chip yang memuat materi presentasiku. Aku sampai di depan layar sentuh lebar dan membuka media presentasi yang telah kusiapkan dua minggu terakhir.
Materi yang akan kubawakan tidak berbeda jauh dengan teman-temanku yang lain. Tugas pertama mata kuliah wajib ini meminta kami untuk menjelaskan tentang kemajuan teknologi secara umum dan menjabarkan dampak kemajuan teknologi berdasarkan apa yang kami lihat. Semua yang kami presentasikan harus berasal dari pemikiran kami sendiri, bukan dari buku apalagi internet.
Aku menghubungkan layar sentuh dihadapanku dengan proyektor yang memantulkan cahaya ke layar berukuran 6x8 meter di tengah ruangan. Saat layar besar itu menampilkan bagian pembuka materi, aku memulai presentasi.
“Selamat pagi, teman-teman! Pagi ini, Saya, Angkasa, akan membawakan materi tentang kemajuan teknologi dalam sudut pandang saya.”
Aku menekan tombol remote control dan tampilan pada layar berganti. Layar yang sebelumnya menampilkan halaman pembuka, kini menampilkan sebuah halaman dengan judul “Gambaran Mengenai Kemajuan Teknologi”. Aku menghela napas panjang.
Agak sulit menyampaikan ini karena apa yang akan kusampaikan kemungkinan besar bertentangan dengan sebagian besar isi kelas termasuk dosenku. Aku memandang sekeliling ruangan, menatap setiap pasang mata yang menantikan apa yang ingin kusampaiakan, lalu aku menunduk dan menghela napas lagi.
“Angkasa, Saya tidak meminta Anda ke depan hanya untuk diam dan menatap layar,” tegur Dosen. Ternyata tanpa sadar aku telah terdiam cukup lama.
“Ah, maaf, Pak! Saya segera melanjutkan,” sahutku.
“Menurut saya…” sepotong kata keluar lalu aku diam lagi. Aku terdiam lagi sampai-sampai wajah dosenku terlihat sangat kesal. Tepat ketika Beliau ingin mengatakan sesuatu, aku mengeluarkan kata lagi.
“Kemajuan teknologi …” aku kembali ragu untuk mengatakan apa yang sudah kusimpulkan. Tapi, aku harus meneruskan presentasi ini jika aku ingin lulus dari mata kuliah ini.
Wajah dosenku mulai tidak sabar. Beliau melangkah mendekat ke arahku.
“Kemajuan teknologi…” dan aku hanya mengulangi kesalahanku. Kali ini, dosenku benar-benar menghampiriku dengan wajah gusar.

-o0o-

“Jadi Saya akan kembali ke kota kelahiran Saya, Pak?”
“Ya, Saya baru mendapatkan email konfirmasi beasiswa studimu di Universitas Ayashi.”
“Saya akan menjadi mahasiswa Universitas Ayashi, Pak? Universitas yang luar biasa itu?”
Guruku tersenyum lalu mengangguk. “Iya, Angkasa. Kamu akan ke Ayashi dan menjadi mahasiswa di universitas besar itu.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Saya berhutang pada Bapak.” Aku mencium tangan guruku lalu melompat-lompat di sepanjang koridor. Aku luar biasa bahagia. Setelah bertahun-tahun tidak kembali ke kota itu, aku akhirnya punya kesempatan.
Ayashi adalah kota kelahiranku. Dulu namanya bukan Ayashi, tapi Gerang. Kala itu Gerang bukan sebuah kota, melainkan kabupaten. Aku lahir di pinggiran Kabupaten Gerang delapan belas tahun yang lalu dan hidup disana bersama Ayah sampai beliau meninggal dunia. Ibuku meninggal dunia setelah melahirkanku, jadi aku hanya dibesarkan oleh Ayah.
Ayah sangat menyayangiku. Beliau berjuang sangat keras untuk bisa menyekolahkanku. Padahal, beliau hanya seorang penyembelih ayam di pasar, pekerjaan yang bahkan tak disadari keberadaannya oleh kebanyakan orang. Ayah selalu berkata bahwa apapun yang terjadi aku tidak boleh putus sekolah, aku harus menjadi orang yang berpendidikan, aku harus bermimpi tinggi setinggi namaku, Angkasa.
Aku dan Ayah tinggal di sebuah rumah kayu kecil yang memang hanya cukup untuk kami berdua. Kami tinggal di dekat hutan, sedikit jauh dari pusat pemukiman. Di depan rumah kayu kami mengalir sungai yang jernih. Aku sekolah di SD dekat pasar. Jadi, setiap hari sekolah, aku biasanya ikut Ayah ke pasar dan membantu menata ayam-ayam yang sudah disembelih. Kami biasa berangkat dari rumah pukul dua dini hari agar pukul tiga kami sudah bisa tiba di Pasar dan pukul empat ayam sudah bisa dijual oleh para pedagang.
Di sore hari sepulang sekolah, aku biasa bermain di dekat pemukiman dengan teman-teman satu sekolahku. Dari mulai gobak sodor, petak umpet, sampai lempar bata, rasanya permainan kami tidak pernah habis dan kami tidak pernah merasa bosan.
Kehidupan seperti itu kujalani sejak aku mulai sekolah SD sampai aku kelas empat SD. Di tahun itu, Kabupaten Gerang dibagi menjadi Kabupaten Gerang dan Kota Gerang. Daerah pusat menjadi kota, sedangkan daerah pinggiran seperti daerah tempat tinggalku ini menjadi kabupaten. Di tahun itu juga sebuah pabrik didirikan dekat pemukiman kami. Aku tidak tahu pabrik apa itu, yang aku tahu pabrik itu mengancam kehidupan di pemukiman kami. Warga-warga berjatuhan meninggal dunia karena keracunan limbah pabrik, Ayah termasuk salah satu yang meninggal. Aku sedih bukan main dan merasa sangat marah, tapi tidak mengerti harus marah kepada siapa. Aku hanya bocah SD berumur sepuluh tahun yang polos saat itu.
Pamanku lalu datang mengambilku dan merawatku sampai saat ini. Beliau memperlakukanku dengan baik. Beliau bahkan bersedia menyekolahkanku sampai tamat SD. Sisanya, aku berjuang dengan tangan dan kakiku sendiri. Aku menjadi kuli angkut di pasar pada hari libur, menjadi loper koran setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, berjualan es keliling di dekat jalan raya sepulang sekolah, apapun yang bisa kulakukan agar bisa menjalankan pesan Ayah untuk tidak putus sekolah.
Kota Gerang mengalami kemajuan yang begitu pesat. Hanya dua tahun setelah aku meninggalkan kota itu, ia berganti nama menjadi Ayashi. Ayashi menjadi kota pertama yang diberi gelar kota teknologi di negeri ini. Ayashi juga merupakan kota pertama yang memiliki universitas berbasis teknologi. Sejujurnya aku tidak begitu mengerti apa yang mereka maksud kota teknologi dan universitas berbasis teknologi. Satu-satunya yang aku tahu dari berita-berita di surat kabar adalah bahwa Kota Ayashi dan Universitas Ayashi benar-benar menakjubkan.
Aku tidak sabar untuk kembali ke kota itu. Mungkin aku bisa bertemu dengan teman masa kecilku yang masih tinggal disana. Mungkin juga aku bisa bertemu dengan anak pedagang ayam yang dulu sering membantuku menata ayam yang sudah disembelih, atau mungkin aku bisa melihat lagi hutan lebat dan sungai dekat rumah kayuku dulu. Entah apa yang akan kutemui disana, yang jelas aku sudah tidak sabar untuk melihat kembali kota kelahiranku.

-o0o-

“Kenapa Anda tidak melanjutkan presentasi Anda, Angkasa? Bagaimana saya bisa menilai Anda jika Anda hanya mengulang kata-kata yang sama?” ujar dosenku sedikit gusar, terdengar dari suaranya yang agak meninggi.
“Maafkan Saya, Pak. Saya akan melanjutkan presentasinya,” sahutku dengan nada sopan.
Sebelum melanjutkan, aku kembali menoleh kea rah dosenku dan bertanya,”Pak, benarkah Saya boleh mempresentasikan apa yang saya lihat dan saya pikirkan?”
“Bukan hanya boleh, Angkasa. Anda harus,” kata dosenku tegas.
“Baiklah,” kataku akhirnya.
Aku menarik napas panjang dan melanjutkan presentasi, “Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan dua minggu terakhir, menurut saya kemajuan teknologi adalah…”

-o0o-

“Selamat datang di kelas Pengembangan Teknologi! Saya Indra dan Saya akan menjadi dosen Anda satu semester ke depan,” sapa dosen pertama yang kelasnya kumasuki semester ini.
Aku sudah tiba di Ayashi sejak sebulan lalu, melewati serangkaian orientasi perkuliahan, perjalanan keliling kota, dan pengenalan tentang tujuan Universitas Ayashi secara umum. Kesan yang aku dapat selama sebulan terakhir adalah luar biasa dan benar-benar sesuai ekspektasi. Kota ini benar-benar rapih. Kota ini memiliki sistem industri yang baik, sistem pengolahan sampah yang nyaris sempurna, teknologi terbaru, gadget tercanggih yang mendukung pembelajaran, akses internet tercepat di negeri ini gratis tanpa batas untuk seluruh penduduk kota, angkutan umum yang cepat dan murah dijalankan oleh sistem kontrol pusat.
Universitas Ayashi pun tak kalah hebat. Universitas ini memiliki laboratorium super lengkap dengan keseluruhan sistemnya digital. Tidak ada lagi kertas, yang ada hanya layar sentuh dimana-mana. Untuk mengajar, mencatat, mengerjakan tugas, ujian, segalanya dilakukan dengan layar sentuh. Kota Ayashi adalah kota terpintar yang pernah aku kunjungi dan Universitas Ayashi adalah aset berharga di dalamnya.
“Saya akan memulai mata kuliah ini dengan tugas observasi individu. Dalam tugas pertama ini, Anda diminta untuk melakukan observasi di dalam Kota Ayashi mengenai kemajuan teknologi. Saya ingin masing-masing dari Anda mempresentasikan tentang kemajuan teknologi secara umum dan dampak kemajuan teknologi yang Anda amati sendiri. Rincian tugas dapat Anda lihat di akun Anda masing-masing.”
Kami menyimak baik-baik apa yang ditugaskan dosen. Aku membuka akunku dan membaca rincian tugas. Disana tertulis bahwa aku harus membatasi daerah yang kuamati. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan bahwa daerah yang akan aku amati adalah daerah pemukimanku. Daerah kecil di pinggiran Kota Ayashi yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Gerang. Kesanalah aku akan melangkah.

-o0o-

“Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan dua minggu terakhir, menurut saya kemajuan teknologi yang terjadi di Kota Ayashi mengarah pada teori konspirasi yang bertujuan untuk menghancurkan kota ini sebagai awal kehancuran negeri ini.”
Seisi kelas melotot ke arahku. Wajah dosenku mengernyit. Beliau memotong presentasiku.
“Apa maksudnya ini, Angkasa?”
“Mohon maaf sebelumnya, Pak! Bisakah Saya melanjutkan presentasi Saya terlebih dahulu?” kataku sesopan mungkin.
Dosenku tidak berkata apa-apa dan memersilahkan aku untuk melanjutkan dengan isyarat.

-o0o-

Menangis.
Itulah hal pertama yang ingin kulakukan saat pertama kali menginjakkan kaki di desa tempatku lahir ini. Tidak ada lagi hutan lebat atau sungai jernih. Hutan telah terbabat menyisakan sangat sedikit pohon untuk menyerap air dan sungai berubah menjadi keruh berlimbah pabrik. Kata orang di desa, sistem pengolahan limbah ‘orang kota’ itu hanya bisa mengolah sebagian, sedang sisanya dialirkan ke sungai ini. Warga desa sakit-sakitan, bahkan sudah cukup banyak yang meninggal dunia akibat keracunan air berlimbah.
Pasar tempat aku dan Ayah dahulu bekerja, sekarang diubah menjadi pasar modern dimana harga sewa kiosnya jauh lebih mahal. Jasa penyembelih ayam dan kuli angkut tidak lagi digunakan, semua menggunakan mesin. Warga desa banyak yang menjadi pengangguran, angka kriminalitas meningkat, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan oleh kelaparan juga meningkat.
Anak-anak berhenti bermain permainan tradisional. Mereka berhenti berinteraksi dan asik bermain dengan gadget mereka masing-masing. Tidak ada yang lebih penting daripada gadget mereka. Bahkan tidak juga pendidikan dan orangtua mereka sekalipun. Tak jarang yang kemudian menjadi ‘berani’ kepada orangtua dan menjadi anak durhaka.
Akses informasi menjadi begitu mudah. Budaya malas berkembang pesat. Bahkan para ‘kaum terpelajar’ berhenti mengamati lingkungan sekitar karena malas dan menganggap semua sudah bisa diketahui dari dunia maya, tidak perlu terjun langsung. Para siswa hanya terkonsentrasi bagaimana lulus ujian dan memperoleh tiket melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Para mahasiswa hanya berkonsentrasi pada hal-hal yang akan memengaruhi penyematan gelar sarjana di nama mereka. Mereka terlalu terobsesi dengan prestasi dan kebanggaan, sampai-sampai lupa apa esensi belajar itu sendiri. Mereka lupa bahwa pendidikan adalah untuk membekali diri agar dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga yang terjadi adalah mereka lalai pada kehancuran masyarakat yang terjadi persis di depan batang hidung mereka.
Dua minggu itu benar-benar memberikanku banyak pandangan baru mengenai kemajuan teknologi. Aku menyadari bahwa kemajuan teknologi yang tidak didukung dengan pembinaan karakter yang baik dapat menimbulkan masalah yang menghancurkan tatanan masyarakat, moral, dan bahkan membunuh orang-orang yang tidak ada kaitannya. Seperti sebuah teori konspirasi yang dirancang oleh orang-orang yang bertujuan untuk menghancurkan negeri ini dari dalam.

-o0o-

“Kemajuan teknologi di kota ini menyebabkan pencemaran lingkungan yang berujung pada menurunnya kesehatan masyarakat, meledaknya angka pengangguran, meningkatnya angka kematian, rusaknya tatanan sosial, hancurnya moral dan kemanusiaan, serta hilangnya kepekaan masyarakat berpendidikan. Semua dampak negatif ini menyerang harta terpenting yang dimiliki negeri ini, yaitu sumber daya manusia.”
Aku menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. Kali ini seisi kelas tampak tertarik menyimak presentasiku.
“Sumber daya manusia yang sudah tua dan berpendidikan diserang dengan proyek-proyek berkeuntungan tak wajar yang berkedok untuk memajukan negeri ini.
“Sumber daya manusia yang tua dan pekerja keras tapi tidak berpendidikan dipaksa menjadi pengangguran karena mesin-mesin mengambil pekerjaannya. Beberapa dipenjarakan karena menjadi pelaku kriminal, beberapa lagi keracunan limbah yang tak bisa diolah alat-alat, dan sisanya mati kelaparan.
“Sumber daya manusia yang muda dan berpendidikan diserang kreativitasnya dengan kemudahan akses informasi sehingga membuat mereka malas berpikir dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka juga diserang moralnya dengan berbagai jenis gadget yang dilengkapi permainan dan aplikasi digital sehingga tidak akan ada sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan karena moral pendidiknya telah dirusak terlebih dahulu.
“Sebuah negara yang sumber daya manusianya telah dirusak, seperti apapun kekayaan sumber daya alamnya, tidak akan lagi mencapai kemakmuran. Maka Saya rasa, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan bahwa kemajuan teknologi yang terjadi di kota ini adalah sebuah teori konspirasi untuk menghancurkan negeri ini dimulai dari kota ini. Sebab tidak ada pendidikan karakter manusia yang berjalan beriringan dengan kemajuan teknologi ini.
“Kita boleh saja berbangga karena karena teknologi yang dimiliki kota ini jauh lebih hebat daripada kota lainnya di negeri ini, bahkan jauh lebih hebat dari kota-kota di negara tetangga. Kota ini sangat pintar. Hanya dengan mesin, kota ini dapat berjalan dengan begitu apik. Tapi, bagaimana dengan kualitas manusianya? Apakah manusia di kota ini sama pintarnya dengan kota ini sendiri? Apakah kita sama pintarnya dengan kota yang kita tinggali ini?
“Kita patut mempertimbangkan tentang adanya teori konspirasi yang bertujuan untuk menghancurkan kota ini sebagai awal kehancuran negeri ini. Kalaupun ternyata teori ini tidak pernah ada, toh tidak ada salahnya memperbaiki kembali kualitas sumber daya manusia yang telah bertahun-tahun rusak akibat kemajuan teknologi yang tidak terkontrol.”
Seluruh isi kelas berdiri dan bertepuk tangan secara meriah. Dosenku secara khusus datang ke depan kelas dan menyalamiku erat, lalu memberikan tiga kali tepukan di bahuku.
“Angkasa, kau sungguh-sungguh mengamati!” ujarnya sambil tersenyum.

Meskipun aku sendiri tidak tahu benar atau tidaknya teori konspirasi itu, aku berharap semoga belum terlambat untuk kami mengembalikan hal-hal positif yang hilang dari kota ini. Semoga masih sempat sebelum kota ini benar-benar menjadi titik mula kehancuran negeri yang kucintai ini.

Bandung
14 April 2015

Bukan Pertanyaan

Pagi itu, aku melangkahkan kakiku perlahan ke dalam kelas dan  mengambil kursi paling belakang seperti biasanya. Hanya saja kali ini dengan alasan berbeda. Kalau biasanya aku mengambil tempat itu karena tidak ingin diketahui guru saat curi-curi mendengarkan musik lewat headset yang kuselipkan dibalik jilbab, maka hari ini aku melakukannya karena menghindari teman-temanku. Yah, bukan contoh yang baik memang, tapi hal itu membantuku lebih efisien dalam mengerjakan soal yang ditugaskan. Tentu saja aku tidak menggunakannya saat guru menerangkan. Aku masih punya sopan santun.
Kuturunkan sedikit masker yang menutupi wajahku. Benda ini membuatku semakin sulit bernapas. Padahal masalah yang menimpaku bertubi-tubi beberapa minggu terakhir sudah cukup untuk membuatku sesak napas.
Teman-temanku menatapku. Kentara sekali kalau mereka ingin bertanya tentang penyakitku dan desas-desus lain tentangku. Ini yang aku tidak suka dari sekolah berasrama, saat kamu hilang beberapa hari saja, maka seisi sekolah akan tahu. Padahal aku tidak suka jika orang lain tau.
Aku mengabaikan tatapan mereka. Sesuatu yang sebenarnya tidak sulit mengingat aku sudah menghindari tatapan semacam itu sejak dua hari yang lalu saat aku baru tiba di asrama. Aku hanya perlu melakukannya lagi. Guru matematikaku masuk ke kelas.
Aku menarik napas lega sampai aku mendengar beliau bertanya, "Ria, apa kamu sudah sehat?"
Aku mengangguk dan berkata, "Sudah baikan, Bu. Alhamdulillah."
"Kenapa kamu masih pakai masker?"
Ah, haruskah masker ini dipertanyakan?
"Oh, ini Bu? Dokter bilang saya harus menghindari polusi udara dan debu, Bu. Jadi, saya masih pakai masker ini."
Bohong!
Masker ini bukan untuk melindungiku, tapi untuk melindungi orang-orang di sekelilingku dari bakteri yang kubawa. Aku akan mengotori mereka. Aku polutannya.
"Oh, begitu. Ya sudah. Kamu cepat sehat ya!"
Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meraih buku catatanku dan menyimak materi yang disampaikan.
-o0o-
Siang itu aku menunggu sampai kelas benar-benar sepi sebelum melangkah keluar dari kelas menuju masjid untuk sholat dzuhur. Petugas kedisiplinan sudah sejak tadi selesai menyisir koridor dan memintaku keluar dari ruangan.Tapi, aku masih menghindari semua orang. Belum siap bercerita tentang apa yang menimpaku akhir-akhir ini.
Beberapa temanku masih mencoba bertanya saat aku tiba di masjid.
"Kenapa pake masker, Ri?" tanya seseorang.
"Sakit apa sih? Lama banget pulangnya,” tanya orang disebelahnya.
"Katanya kamu mau diisolasi dari asrama ya, Ri?" tanya yang lain lagi.
Terus dan terus pertanyaan itu diulang. Tidakkah mereka sadar aku belum juga menjawabnya karena aku belum siap? Tidak bisakah mereka memahami dan berhenti bertanya?
"Aku nggak kenapa-kenapa kok," sahutku sambil menyunggingkan senyum sebisa mungkin.
Lagi-lagi aku berbohong.
Aku sakit. Penyakit menular dan ganas yang menyebabkan aku harus diisolasi dari asrama. Aku telah dipindahkan ke kamar terpisah yang berada di gedung asrama guru. Aku tidak bisa tinggal satu kamar dengan siapapun karena aku akan menulari orang-orang itu bahkan walaupun aku tidak melakukan hal selain bernapas. Bakteri itu akan menular melalui udara. Jika pertahanan tubuh mereka tidak cukup bagus maka mereka akan sakit seperti aku.
Mereka bertanya dengan begitu ringannya seakan-akan itu adalah pertanyaan yang sangat mudah kujawab. Padahal tidak setiap hari kamu diberitahu bahwa kamu menderita suatu penyakit yang sangat mudah menular dan salah sedikit kamu akan menulari teman-temanmu dengan penyakit itu.
Siang itu setelah sholat dzuhur, aku tidak kembali ke kelas. Aku meminta izin kepada perawat klinik untuk beristirahat disana. Aku bilang padanya bahwa kepalaku pusing. Perawat mempersilahkan aku untuk beristirahat dan berkata bahwa sangat wajar jika kepalaku pusing karena aku baru mulai mengonsumsi obat dengan efek samping cukup berat untuk tubuh. Mungkin perawat itu ada benarnya, tapi menurutku alasan sebenarnya adalah karena aku terlalu lelah menanggapi pertanyaan teman-temanku. Hanya itu.
-o0o-
Sorenya, aku kembali ke kamarku di gedung asrama guru. Setelah membersihkan diri, aku duduk di tepi tempat tidur dan membaca Al-Qur’an. Mencoba mencari ketenangan hati dengan ayat-ayatNya. Aku tidak berangkat ke masjid saat azan maghrib berkumandang. Hanya menghabiskan waktu di kamar itu dengan merenung dan berdoa.
Ingin sekali rasanya aku menangis, tapi entah mengapa mata ini sulit sekali berair. Mungkin karena sudah terlalu lama mendoktrin diri bahwa menangis adalah tindakan orang-orang lemah. Padahal, saat ini rasanya akan sangat lega jika bisa menangis.
Beberapa saat setelah sholat isya, aku mendengar pintu kamarku diketuk dan salam terdengar setelahnya. Segera kubuka pintu kamarku dan kutemukan Izah, sahabatku, di balik pintu.
“Ri, aku boleh masuk?” tanyanya lembut.
Aku mengangguk dan mempersilahkan dia masuk. Tubuh kecilnya memasuki kamarku dan duduk di atas karpet yang kugelar. Kurapihkan sajadah dan alat sholatku, lalu kusuguhkan makanan yang kumiliki. Setelah itu, aku ikut duduk bersamanya.
“Ada apa, Zah?” tanyaku. Aku sudah bersiap-siap untuk mendengar pertanyaan lagi dan menjawabnya dengan jawabanku yang biasa. Tapi, apa yang dilakukan Izah benar-benar diluar perkiraanku.
Izah tersenyum tulus. “Aku nggak akan tanya apa-apa, Ri. Kalau kamu mau menangis, menangislah. Menangis itu bagian dari hidup, bukan ciri orang lemah.”
Aku menatap wajahnya. Ia tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku pelan. “Apa boleh aku menangis?”
“Kenapa nggak boleh, Ri? Pasti kamu akan lega setelah menangis,” ujar Izah.
Dan akhirnya tangisku pecah.
Aku memeluknya erat dan menumpahkan semuanya, air mataku dan bebanku. Semua ceritaku mengalir begitu saja tanpa bisa kutahan. Malam itu air mataku tidak berhenti mengalir untuk waktu yang cukup panjang, membasahi jilbab biru yang dikenakan oleh Izah.
Sepanjang aku bercerita, Izah tersenyum sambil terus menepuk-nepuk pundakku seakan terus menguatkanku untuk melalui semuanya. Tidak ada kata-kata yang keluar darinya. Ia hanya mendengarkan.
Setelah ceritaku usai dan tangisku mereda, aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Benar apa yang Izah katakan. Menangis itu sungguh melegakan. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari kembali kesini, aku tersenyum karena aku memang ingin tersenyum, bukan untuk menutupi kesedihan.

Aku sadar, untuk bisa tersenyum ringan, yang kubutuhkan hanyalah senyuman tulus seperti yang Izah berikan, bukan pertanyaan.

Bandung
14 April 2015

Terima Kasih, Pak Rasyid!

Rheina menatap pusara keluarganya dengan wajah sendu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengalirkan airmata dalam diam. Ya, hanya dalam diam. Bukan pecahan tangis yang memekakkan telinga, atau bahkan raungan tak teredam tanda kehilangan.
Rheina gamang. Ia tak tahu apa tepatnya yang harusnya ia rasakan. Kadang, rasa sesal menyeruak dalam benaknya. Andai ia tak pernah memutuskan sekolah berasrama, pasti di malam naas itu ia sedang bersama keluarganya, berada di dalam mobil maut itu. Pasti.
Tapi terlepas dari itu, Rheina sadar ia bukan anak kecil yang bisa terus-menerus larut dalam kesedihan. Ia sudah dewasa. Dan sepinya hidup bukan alasan untuk menenggelamkan kedewasaannya. Meski ia tahu benar, inilah makna kesepian yang sebenarnya.

-oOo-

“Rhe!” panggil Arista lemah. Ia khawatir lantaran sahabatnya itu sekarang ini lebih banyak diam. Memang, ini hal yang cenderung wajar, melihat apa yang baru dialami oleh Rheina. Seluruh keluarganya mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobilnya masuk ke jurang yang cukup dalam. Seluruh penghuninya meninggal dunia, dengan jasad hancur dan sulit dikenali. Tapi, kewajaran tidak dapat meredam kekhawatirannya.
Rheina menoleh lemah. Berjuta masalah berkelebat di otaknya. Dari mulai tante dan omnya meributkan soal harta orangtuanya, rasa sakit dan merasa sendirian, sampai masalah beasiswanya yang akan dicabut oleh yayasan. Dalam satu tolehan pada Arista, Rheina mengekspresikan semuanya.
“Yaampun, Rhe. Muka lo pucet banget. Lo nggak enak badan?” tanya Arista.
Rheina menggeleng lemah. “Gue cuma lagi mikir kok, Ris,” jawabnya lemah. Semakin terdengar rapuh.
Arista merangkul pundak sahabatnya dan berkata, “Rhe, jangan mikir sendirian ah. Kalo misalnya lo punya sesuatu yang memberatkan lo, jangan pernah ragu bagi-bagi itu ke gue.”
Rheina terdian sejenak sebelum bergumam, “gue takut nggak bisa sekolah lagi, Ris”
“Lho? Kenapa, Rhe?” Arista mengernyitkan kening.
“Beasiswa gue sebentar lagi dicabut sama pemilik yayasan. Papa sama Mama udah nggak ada, jadi nggak bisa membiayai sekolah gue. Tante sama Om gue malah ngeributin harta peninggalan Mama sama Papa, nggak memikirkan kelanjutan pendidikan gue sama sekali.” Akhirnya keluh Rheina terucap juga, setelah selama ini berusaha ia tutupi dengan rapi.
“Lo kan bisa kerja sambilan, Rhe. Dan bisa nuntut Om dan Tante lo juga untuk membiayai pendidikan lo. Biar bagaimanapun, itu kan uang orangtua lo,” saran Arista.
Rheina menggeleng sambil tersenyum mengejek. “Gue udah pernah nyoba ngomong sama Om dan Tante, tapi hasilnya nihil, Ris. Masalah kerja part time, udah gue lakuin. Tapi itu cuma cukup buat kehidupan gue sehari-hari. Tau sendiri kan seberapa mahal biaya sekolah sekarang ini, bahkan meskipun gue pindah dari sekolah supermahal ini, hasil kerja part time gue tetep nggak cukup.”
“Kalo gitu, Rhe, satu-satunya cara adalah, kita harus bisa mencegah beasiswa lo dicabut. Atau, lo harus bisa dapetin beasiswa di instansi lain,” Arista kembali memberikan saran.
Rheina mulai tersenyum. Mungkin saja ini merupakan satu titik cerah baginya. “Tapi, gimana caranya, Ris?”
“Tenang, ikut gue!”

-oOo-

“Jadi, kalian mau meminta bantuan saya?”
Rheina dan Arista mengangguk bersamaan. “Iya, Pak,” sahut Arista. “Rheina kan siswi yang berprestasi, sangat disayangkan jika dia harus berhenti sekolah karena tersangkut masalah biaya. Maka, kami sangat berharap Bapak bisa membantu kami,” lanjut Arista.
Saat ini, dua gadis itu sedang berada di ruang tata usaha SMA Terpadu Pelita Bangsa, sekolah mereka. Berhadapan dengan kepala tata usaha, Pak Rasyid. Mereka berharap Pak Rasyid dapat membantu Rheina keluar dari masalahnya.
“Saya takut berjanji. Saya takut mengecewakan kalian berdua,” gumam Pak Rasyid. “Saya tahu Rheina anak yang berprestasi, tapi masalahnya saya dengar, yayasan sedang krisis. Jika sekolah ini ingin tetap bertahan, maka yayasan harus menarik semua beasiswa untuk sementara waktu.”
Rheina menunduk dalam-dalam. Sejak awal Arista membawanya kesini, ia tahu tak banyak yang bisa diperbuat Pak Rasyid. Biar bagaimanapun, Pak Rasyid bukan penentu keputusan, melainkan hanya pegawai yang dipekerjakan yayasan.
“Tapi, saya akan mencoba membantu kalian.” Mendengar kata-kata Pak Rasyid wakah Rheina dan Arista terangkat, dan mata mereka seakan berbinar.
“Benarkah, Pak?” tanya Rheina.
Pak Rasyid mengangguk. “Saya akan berusaha semaksimal mungkin.”
Rheina pun tersenyum, lalu mereka berdua mengucapkan terima kasih.

-oOo-

Rheina berkutat dengan seluruh materi di tangannya. Kemarin, Pak Rasyid memberitahunya bahwa beliau tidak bisa membantu mencegah yayasan menghentikan beasiswa untuk Rheina. Tapi, beliau memberikan sebuah formulir pengajuan beasiswa ke sebuah lembaga yang cukup terkenal di Indonesia.
Kata Pak Rasyid, formulir itu beliau dapatkan dari teman yang bekerja di lembaga tersebut. Dan jumlah formulir itu sendiri kabarnya sangat terbatas, dan tidak di share bebas.
Lembaga tersebut menawarkan beasiswa secara kesinambungan sampai mendapat gelar sarjana, di universitas dalam atau luar negeri. Tapi konsekuensinya, jika Rheina ingin mengajukan diri untuk menerima beasiswa ini, ia yang sudah kelas dua SMA, harus kembali duduk di bangku kelas satu.
Tentu saja mengulang satu tahun bukan masalah besar bagi Rheina. Asalkan, dia bisa sekolah sampai minimal mendapat gelar sarjana. Maka disinilah Rheina, berkutat dengan test material yang akan diujikan dalam serangkaian tes yang akan dimulai besok.
Arista belum tahu masalah ini. Rheina memilih untuk tidak memberitahu Arista terlebih dahulu. Nanti, kalau sudah pasti ia mendapatkan beasiswa ini, barulah ia akan memberitahu Arista. Biar bagaimanapun, mengajukan diri menjadi penerima beasiswa ini mengandung sebuah konsekuensi yang tidak ringan. Ia harus siap jika lembaga yang bersangkutan memintanya untuk meninggalkan kehidupannya.
Termasuk, berpisah dengan Arista. Rheina tidak ingin terlalu memusingkan Arista dengan masalah ini. Ia yakin, Arista juga punya banyak hal yang harus diurusnya, selain hanya memusingkan tentangnya.

-oOo-

Seminggu yang lalu, di hari dan jam yang sama, aku baru saja melepas kepergian sahabatku, Rheina. Dia pergi ke Inggris untuk memenuhi konsekuensinya sebagai salah satu penerima beasiswa dari sebuah lembaga yang cukup terkenal di Indonesia.
Kurang lebih sebulan yang lalu, dia datang padaku membawa surat konfirmasi dari lembaga bersangkutan, yang menyatakan bahwa dia berhak atas beasiswa pendidikan sekolah menengah selama tiga tahun di London International High School, lengkap dengan living cost-nya. Selain itu, Rheina juga berhak atas beasiswa kuliah di LSE (London School of Economics and Political Sciences), lengkap dengan living cost-nya.
Yah, aku merasa itu ganjaran yang wajar untuk Rheina, mengingat serangkaian tesnya memakan waktu nyaris enam bulan. Dan selama itu, Rheina tetap sekolah dengan bantuan biaya dari Pak Rasyid, orangtuaku dan beberapa teman lainnya.
Aku tahu tentang usaha Rheina sejak awal, meski Rheina memilih untuk tidak memberitahuku. Aku menghargai keputusannya untuk tidak berkata apapun padaku. Mungkin, dia tidak ingin memberatkanku, meski aku tak pernah merasa terberatkan. Di  bulan kedua tesnya, aku melihat dia benar-benar sudah kesulitan. Beasiswanya sudah dicabut, ia dipecat dari kerja part time-nya, Om dan Tantenya kabur membawa harta orangtuanya ke luar negeri, hanya menyisakan rumahnya yang dalam hitungan hari akan disita oleh bank. Jadi, aku memutuskan untuk membantunya dan behenti berpura-pura tidak tahu. Aku dan Pak Rasyid, kami bersama-sama berusaha menegakkan lagi sayap Rheina.
Tiga hari setelah Rheina terbang ke Inggris, Pak Rasyid dipindahtugaskan. Entah kemana, aku tidak tahu, atau setidaknya belum tahu.
Yang aku tahu, berkat bantuan Pak Rasyid, Rheina saat ini bisa kembali terbang di Britania Raya sana.

-oOo-

Tujuh tahun kemudian...
Bandara Soekarno-Hatta...

“Gue kangen, Ris.” Rheina memeluk Arista erat. Sangat erat. Sampai Arista heran bagaimana ia masih bisa bernafas dalam kondisi itu.
“Sama, Rhe, gue juga kangen banget sama lo. Udah lamaaaaaa banget kita nggak ketemu langsung. Lo cuma jadi screensaver doang di laptop gue,” jawab Arista.
“Sama, Ris. Lo juga kayak screensaver laptop. Ada, tapi nggak bisa gue sentuh.”
Arista mengencangkan pelukannya di tubuh Rheina. “Sekarang bisa disentuh kan, Rhe?”
“Aww!! Sakit, Ris...” sahut Rheina mengaduh dan mencoba melepaskan diri dari pelukan Arista.
Lalu, mereka berdua tertawa bersama.
Di tengah tawanya, tiba-tiba Rheina teringat sesuatu. “Ris, Pak Rasyid gimana kabarnya?”
Mendengar pertanyaan Rheina, tubuh Arista menegang. Ia tertunduk dalam dan meneteskan airmata perlahan. Rheina bingung dengan situasi ini, namun cepat-cepat mencernanya.
Rheina kembali memeluk Arista. Hangat. Kali ini bukan peluk erat kerinduan akan sahabat. Namun, peluk yang menenangkan hati yang tak tenang. Terluka karena kehilangan. Tanpa sadar, Rheina juga ikut menangis. Tanpa perlu Arista menjelaskan secara verbal, Rheina mengerti. Bahwa kepala Tata Usaha SMAnya, yang begitu baik membantunya hingga bisa seperti saat ini, telah beristirahat.

Dan bahkan, sampai waktu beliau tiba, Rheina dan Arista belum sempat berucap. Maka saat ini, di Bandara, pagi hari, Rheina tahu Pak Rasyid akan mendengarnya. Akan mendengar sebaris kalimat yang berisi ketulusan untuk membalas ketulusan beliau. Ditemani pelukan Arista, dan airmata yang tak bisa berhenti meleleh dari kelopak mata kedua gadis itu, Rheina menggumam perlahan, “terima kasih, Pak Rasyid...”

Serpong
18 November 2012

Four Seasons (Empat Musim)

Saat sebuah cerita berakhir di titik dimana ia dimulai.
Tinggal di negeri empat musim memiliki nilai tersendiri bagiku.
Aku bisa merasakan saat matahari membakar kulitku di musim panas, dedaunan menimpa puncak kepalaku saat aku menapaki jalur pejalan kaki di musim gugur, salju putih yang dingin menghujani mantel yang kukenakan di musim dingin, dan aku dapat menghirup aroma bunga-bunga yang bermekaran di musim semi.
Bukannya aku tidak suka tinggal di negeri dua musim. Apalagi negeriku memiliki kekayaan panorama yang tidak bisa dibandingkan dengan negeri manapun. Hanya saja, empat musim seakan benar-benar menggambarkan seperti apa manusia. Empat musim memiliki nyawa dan ungkapan perasaannya sendiri.
Musim panas mengungkapkan rasa benci. Kemarahan yang siap membakar siapapun yang masih berada dalam jarak pandangnya. Namun, rasa marahnya bukan rasa marah yang tanpa akhir. Ia akan mengakhirinya dan memulai perasaan yang baru.
Musim gugur. Ketika rasa bersalah mulai menghantui, hingga bahkan pepohonan menggugurkan keindahannya. Ia jatuhkan dedaunannya, sampai ia tak memiliki satupun lagi. Hanya tinggal batang kayu yang terlihat kosong dan rapuh.
Musim dingin. Kekosongan dan kesepian diterpa dingin yang menusuk.  Tapi jika ada kekuatan untuk bertahan, di tengah dingin itu boleh jadi ada perapian hangat tempat bernaung. Meski menemukan atau menciptakan perapian itu memerlukan usaha yang tidak sederhana.
Dan setelah begitu banyak perasaan bergejolak, musim semi memancarkan aura ketentraman. Hilang kebencian dan rasa sesal, tumbuh helai dedaunan baru, harapan baru. Aroma kehidupan terasa begitu nyata. Menyengat, namun menenangkan. Meski suatu saat akan kembali lagi ke musim gugur, namun keinginan untuk menanti datangnya musim semi kembali begitu kuat, mengalahkan ketakutan akan musim gugur.
Begitulah kisahku dengannya mengalir. Bagaikan empat musim dengan emosinya masing-masing. Tawa, tangis, rasa percaya, kegelisahan, keengganan, keraguan, penuh tanya, dan harapan tanpa alasan silih berganti menghinggapiku. Apakah dia sama?
Di negeri empat musim ini, aku menatap langit dan memanggil serpihan memori. Perlahan kupejamkan mata dan mulai tenggelam dalam kerinduan. Apakah negeri empat musimnya juga memiliki makna, dan menerawang perasaan yang tak sempat tersampaikan jelas?

-o0o-

Kubaca headline surat kabar yang ada di hadapanku. Lagi-lagi tentang korupsi. Sudah terlalu biasa untuk saat ini sampai kadang aku muak sendiri. Aku hanya geleng-geleng kepala membacanya, sembari terus berharap generasiku akan memperbaiki semua kekacauan ini, dan bukan malah makin mengacaukannya.
Sedang fokus dengan artikel itu, tiba-tiba aku merasakan seseorang tengah berdiri di sebelah kananku. Kulirik sekilas, dan tidak heran ketika menemukan siapa yang ada disana.
“Can I read this newspaper?” dia bertanya dengan Bahasa Inggris, karena memang perpustakaan adalah Foreign Language Area.
“But, I’m reading it, Ardian,” jawabku sambil agak menjauhkan surat kabar itu darinya.
“Oh, come on, Nirmala, we can read it together, right?” katanya sambil menarik surat kabar yang tadi kujauhkan darinya.
“Please, Di. Can’t you just give me a private time even just for a while?” sahutku sambil memasang wajah sebal. Lalu, untuk yang kesekian kalinya kuputuskan untuk mengalah. “Okay, if you want to read this, just take it, now I’m not in a mood to read anything.” Kutinggalkan Ardian dengan surat kabar itu.
Ardian adalah teman sekelasku. Baru setengah tahun sekelas dengannya tapi hidupku rasanya seperti dihantui. Bagaimana tidak, dimanapun dan di berbagai kesempatan dia pasti selalu menggangguku. Pernah suatu hari dia melempariku balon-balon kecil berisi air saat aku sedang belajar untuk ulangan kimia di taman. Ya, aku tahu dia memang ahli kimia, maksudku dia memang ahli di setiap pelajaran, tapi bukan berarti lalu dia bisa seenaknya mengerjaiku.
Yang membuatku lebih sebal padanya adalah tingkahnya di kelas. Setiap pelajaran, yang dia lakukan hanya bermain-main dengan sketch book-nya, tapi dia tidak pernah absen menduduki peringkat tiga besar di kelas sejak kelas satu. Bahkan dia sering menjuarai berbagai kompetisi, dari mulai matematika, kimia, biologi, sampai yang tidak ada di kurikulum, yaitu astronomi.
Aku melangkah menjauhi meja tempat Ardian membaca tanpa menoleh lagi. Saat kakiku sampai di depan pintu keluar perpustakaan, bel tanda masuk berbunyi. Aku segera berjalan ke loker dan mengambil tasku disana. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, kuayunkan kakiku menuju kelas berikutnya. Matematika.

-o0o-

“Jadi menurut kamu, soal ini bisa dikerjakan dengan metode substitusi?”
“Iya, Di. Liat deh, kalau yang di dalam akar ini kita misalkan suatu variabel terus diturunin, dia bisa memuat bentuk kuadrat.”
“Tapi masih tersisa satu variabel lagi yang nggak kuadrat, Nirmala.”
Aku dan Ardian berdebat lagi. Entah yang keberapa kali hari ini. Yang kami perdebatkan adalah, apakah soal matematika integral di hadapan kami bisa dikerjakan dengan metode substitusi atau hanya dengan parsial. Herannya, kami kerap kali ada dalam satu kelompok diskusi yang sama meskipun seringnya kelompok itu bukan jadi kelompok diskusi, tapi kelompok debat.
“Udahlah, Di, Nir, ngapain sih kalian berdua ngeributin yang nggak penting? Kan Pak Don udah menjabarkan cara parsialnya secara lengkap barusan. Intinya, pertanyaan terjawab,” timpal Farhan, teman sekelompok kami yang lain. Sepertinya dia mulai lelah mendengarkan perdebatan kami.
“Tapi, Far, Nirmala itu udah membuat suatu pertanyaan yang harus dipertanggungjawabkan,” sahut Ardian. Aku hanya meringis mendengarnya, lalu memilih diam. Sepertinya kali ini lebih baik aku mengalah lagi, daripada Farhan jadi tidak nyaman dan anti sekelompok denganku.
“Jadi, Nirmala, apa pertanggungjawabanmu?” tanya Ardian yang terlihat belum mau mengakhiri perdebatan ini.
Belum sempat aku menjawab bahwa aku menyerah dan ingin menyudahinya, aku mendengar namaku dipanggil oleh Pak Don. Aku lalu beranjak dari tempat duduk dan menghampiri beliau.
“Nirmala, kamu dipanggil kepala sekolah,” ujar Pak Don.
Perasaanku jadi sedikit tidak enak. Sepertinya aku tahu atas alasan apa kepala sekolah memanggilku. Entah wajahku tampilannya seperti apa, tapi saat itu aku merasa kusut. Kulangkahkan kakiku gontai keluar dari kelas. Segala tentang perdebatanku tadi dengan Ardian menguap begitu saja. Sekejap, aku tenggelam dalam bayanganku, sudah seberapa burukkah masalah ini.

-o0o-

“Sebentar lagi pembagian rapor semester lima, Nirmala. Dengan nilai mata pelajaran kimia yang seperti itu, saya sedikit tidak yakin kamu bisa lulus.”
Suara kepala sekolah masuk ke dalam telingaku dan menusuk fikiranku. Empat semester terakhir, nilai kimiaku lulus dengan berkali-kali tes ulang. Dan saat naik kelas, kepala sekolah telah memperingatkanku bahwa ujian nasional dan ujian sekolah tidak ada tes ulangnya. Jadi jika aku mau lulus, aku harus lebih giat belajar.
Aku merasa sudah giat. Nilai-nilaiku meningkat, meskipun tidak jauh dari nilai nilai tuntas minimum. Setidaknya, jika ujian akhir semesterku bisa mencapai 60, semester ini aku akan lulus. Tapi, kalau kepala sekolah sampai memanggilku, berarti...
“Sebenarnya nilai ulangan harian dan ujian tengah semestermu lumayan, Nirmala. Tapi, ujian akhir semester menjatuhkan semuanya. Sepertinya, semester ini kamu harus ujian ulang lagi.”
Aku terkesiap. Kalau kepala sekolah bilang aku harus ujian ulang, berarti nilaiku tidak mencapai 60. Tiba-tiba kepalaku sakit. Mungkin saat ini wajahku bukan lagi kusut, tapi benar-benar amburadul.
“Memangnya kamu tidak belajar, Nirmala?”
Aku menunduk dalam-dalam. Ingatanku kembali pada sehari sebelum ujian kimia. Itu adalah hari dimana Ardian melempariku dengan balon-balon air, dan karena itu catatan kimiaku basah dan tintanya luntur. Malamnya, aku hanya belajar dengan handout yang diberikan guru, sedangkan semua catatanku lenyap.
“Saya belajar, Bu. Hanya saja, mungkin memang kurang maksimal.” Hanya jawaban itulah yang kemudian kuberikan. Setengah mati kutahan amarah yang rasanya sudah siap meledak.
“Ya sudah. Sebaiknya kamu belajar lebih dan lebih giat lagi. Saya ingin melihat kamu wisuda, Nirmala,” ujar kepala sekolah  dengan senyuman memotivasi.
“Doakan saya, Bu,” sahutku lemas.
Kubalikkan tubuhku dan aku mulai berjalan. Entah kemana, namun kuharap aku tak bertemu dengan Ardian. Karena jika sampai aku melihatnya. Aku tidak tahu separah apa aku akan menyalahkannya atas ini semua.

-o0o-

Saat aku kembali ke kelas matematika, hanya tinggal barang-barangku yang masih berada disana. Teman-teman sekelasku sepertinya sudah pindah ke kelas berikutnya.
Saat tubuhku sepenuhnya berada di dalam kelas, aku baru menyadari bahwa ternyata aku tidak sendirian. Di pojok belakang kelas ada seseorang yang paling tidak ingin kutemui. Ardian.
“Kenapa lo dipanggil kepala sekolah? Kena kasus?” tanyanya seenaknya. Aku masih menahan amarah yang rasanya benar-benar ingin kuledakkan. Kubenahi barang-barangku secepat aku bisa.
“Makanya, Nirmala, belajar yang rajin, jangan nakal,” ujarnya menambahkan karena aku hanya diam dan menganggapnya tak ada disana.
Saat dia mengucapkan kalimat terakhir, tanganku yang menggenggam buku matematika bergetar. Aku tidak kuat lagi menahan marah yang luar biasa, jadi aku hanya terduduk di atas kursi sambil menunduk. Air mataku mengalir deras, bukan lagi menetes. Ardian yang melihat tubuhku bergetar dari belakang, menghampiriku lalu duduk di depanku. Aku masih terus menangis dan enggan melihatnya, karena semakin aku melihatnya akan lebih banyak air mata yang keluar.
“Siapa, Nirmala?” tanyanya perlahan. “Siapa yang membuat kamu nangis?”
Dengan segenap kekuatan untuk menahan diri yang masih kumiliki, kuangkat wajahku dan kutatap matanya lekat. “Gue salah apa sih sama lo, Di?”
Ardian mengerutkan kening, tampaknya tak bisa berkata-kata.
“Gue tau lo cerdas, tapi apa harus selalu mempermasalahkan setiap omongan gue? Gue tau lo suka baca, tapi apa harus merebut semua yang lagi gue baca? Gue tau lo jago kimia, tapi apa harus lo ngeledek gue sampe buku catetan kimia gue basah, gue nggak bisa belajar, dan sekarang gue terancam nggak lulus? Empat semester, Di, gue harus tes ulang kimia. Saat semester kelima gue bener-bener berjuang untuk dapet nilai lebih baik, keisengan lo menghancurkan semuanya. Mungkin bagi lo, itu ‘cuma’ kimia, tapi bagi gue, itu tiket kelulusan, Di.”
Aku mendengar Ardian menghela nafas. Tapi, dia masih diam tak berbicara sepatah katapun. Seakan masih memberikan waktu untukku memuntahkan segalanya.
“Apa lo punya penjelasan kenapa lo selalu ganggu gue? Apa lo punya alasan yang bisa gue terima?” tanyaku menuntut jawaban.
Ardian terdiam. Selama beberapa detik yang terjadi hanyalah keheningan. Keheningan yang terdengar, karena begitu terasa lambat. Sampai akhirnya, Ardian menggeleng dan hanya berucap, “gue minta maaf ya, Nirmala,” lalu pergi meninggalkanku sendirian, tanpa aku tahu butuh waktu lama untukku kembali menemuinya setelah itu.

-o0o-

Esoknya, Ardian tidak ada di kelas. Aku tidak tahu kemana dia, tapi aku juga tidak mau bertanya. Aku masih merasa sangat marah padanya atas banyak hal. Terutama masalah nilai kimiaku.
Seharian ini di waktu luang, aku hanya menghabiskan waktuku di perpustakaan sendirian. Sesaat, aku merasa sepi juga tidak diganggu oleh Ardian hampir seharian ini. Namun kuyakinkan diriku untuk menikmatinya, karena tak selamanya aku bisa seperti ini.
Seminggu berlalu, dan aku masih tidak bertanya-tanya tentangnya. Tiga hari lagi pembagian rapor semester. Aku mulai membolak-balik buku kimia dan menyerap berbagai hal dari sana. Minggu pertama semester depan adalah hari ujian ulangku. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik.
Hari pembagian rapor tiba. Seperti yang biasa kulakukan saat bagi rapor, aku menjaga meja registrasi wali murid yang akan mengambil rapor. Pagi itu, aku sudah duduk disana sejak pukul tujuh pagi. Walaupun biasanya wali murid baru akan datang pukul delapan, kurasa tidak ada salahnya datang lebih awal.
Diluar dugaan, sudah ada seorang wali murid yang menunggu di depan meja debelum aku dan bahkan wali kelasku datang. Kuhampiri beliau, lalu kusalami.
“Pagi, Tante!” sapaku ramah.
“Pagi! Pembagian rapor dimulai jam berapa ya kira-kira?” tanya beliau.
“Biasanya jam delapan tante, tertulis di jadwal juga jam segitu,” jawabku.
“Haduh, bagaimana ya? Tante mengejar jadwal pesawat. Di tiketnya tertulis jam sembilan,” sahutnya lagi.
Aku lalu mengernyitkan kening mencoba mencari jalan keluar. Kuraih telepon genggamku dan ku telepon wali kelasku untuk memberitahukan masalahnya. Ternyata wali kelasku bersedia untuk datang lebih awal.
Sambil menunggu, aku banyak mengobrol dengan beliau. Setelah panjang lebar, aku baru sadar kalau aku belum bertanya beliau wali murid siapa.
“Maaf, Tante, kalau boleh tanya, Tante wali murid dari siapa?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.
“Kamu bisa panggil Tante Rina, Tante Ibunya Satria Ardian Mahdi, namamu siapa?”
Aku terkesiap mendengar nama Ardian. Sudah lebih dari seminggu dia tidak masuk sekolah. Awalnya memang aku senang karena tak ada yang menggangguku, tapi lama-kelamaan aku jadi merasa kehilangan. Dan sekarang, ibunya tepat berada di depanku.
“Dik, namamu siapa?” Tante Rina mengulangi pertanyaannya.
“Nama saya Nirmala Diana Sakura, Tante,” jawabku akhirnya setelah susah payah mengumpulkan suara.
“Oh, jadi kamu yang namanya Nirmala?” tanya Tante Rina lagi.
Aku bertanya-tanya apa maksudnya, sampai Tante Rina menyodorkan sebuah kotak terbungkus kertas kado rapi. Kuambil kotak itu. Kotak yang tak pernah kukira akan kudapatkan.

-o0o-

Belum sampai setengah tahun yang lalu aku mengenalmu, dan aku langsung tertarik. Begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Bagiku kau adalah gadis empat musim. Kenapa? Karena emosimu selalu tampak meski tak pernah kau ledakkan. Kadang kau tersenyum membawa aura musim semi, kadang kau marah membawa tegangnya musim panas, kadang kau hanya diam membawa sunyinya musim dingin, dan kadang kau terlihat begitu rapuh membawa keringnya musim gugur.
Aku selalu ingin berada di dekatmu, dan mengamati saat musim itu berganti. Hanya saja, mungkin aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku sungguh-sungguh minta maaf, aku memang salah. Jadi, meskipun kau tak bisa memaafkanku, izinkan aku memperbaiki banyak hal dengan kotak ini.
Nirmala Diana Sakura, di negeri dua musim ini aku tak bisa menemukan empat musim lain, maka saat kamu membuka kotak ini, aku telah berada di tempat dimana seharusnya aku berada. Negeri empat musim. Mengejar mimpiku, melepaskan apa yang seharusnya tak pernah ada. Karena bagaimanapun, empat musim di negeri dua musim tak semestinya kumiliki.

Air mataku menetes lagi. Walau entah telah berapa juta kali aku membaca ulang surat itu. Surat itu kuterima tujuh tahun yang lalu, di dalam sebuah kotak berisi dua buah buku, dan satu buah sketch book. Buku pertama berisi ringkasan kimia SMA lengkap, yang sepertinya adalah tulisan tangan Ardian, buku kedua berisi kliping artikel-artikel yang pernah kuperdebatkan dengan Ardian, termasuk artikel yang dulu pernah kami perebutkan di perpustakaan, dan sketch book-nya berisi lukisan wajahku dengan berbagai emosi. Ada wajahku yang sedang tersenyum dan bertuliskan ‘musim semi’, wajahku sedang diam tanpa ekspresi bertuliskan ‘musim dingin’, wajahku sedih dan menangis bertuliskan ‘musim gugur’, dan wajah marahku bertuliskan ‘musim panas’.
Dengan buku ringkasan itu, aku akhirnya bisa lulus sekolah dengan nilai diatas rata-rata, dan bahkan aku bisa mendaftar ke salah satu perguruan tinggi di Jepang.
Maka saat ini disinilah aku, terduduk di bangku taman menikmati angin musim gugur sambil mengenang kembali tentang masa lalu yang tak pernah bisa kuulangi.
Aku tak tahu dimana Ardian sekarang. Bahkan sejak awal aku tidak tahu ke negeri mana dia pergi. Seandainya ini hanya sebuah cerita, maka tentulah aku akan berharap tiba-tiba dia muncul disampingku agar aku bisa mengatakan semuanya. Tapi, sepertinya, bahkan jikapun ini hanya sebuah cerita, cerita ini takkan mudah untuk kami yang kini hanya seserpih memori.

-o0o-


Sebuah cerita akan berakhir di titik dimana dia dimulai. Maka, setelah delapan tahun berlalu sejak kejadian di kelas matematika, kami kembali dipertemukan disana dalam keadaan yang berbeda. Yang kuingat adalah kami saling berbalas senyum dan memandang penuh arti. Tidak ada kata-kata kerinduan, hanya tatapan namun rasanya sudah cukup untuk kami saling mengerti. Bahwa suatu hari, kami akan mengenang hari ini sebagai hari dimana kami kembali, memenuhi takdir yang seharusnya. Bahwa empat musim yang kumiliki, memang hanya untuknya.

Serpong
3 Oktober 2013

Kakak


“Mungkinkah aku egois? Egois karena tak membiarkan Kakak pergi meninggalkanku, dan karena aku ingin Kakak tetap hidup padahal Kakak tersiksa dengan penyakit yang tak ada obatnya ini?”
“Kakak sedang apa?”
“Sedang melihat bulan, Ren.”
Kutatap lekat wajah Kakak dan kutelusuri garis-garis halus di kedua pipinya. Namun, mata Kakak tampak begitu fokus dengan satu objek di langit sana.
“Kenapa Kakak serius banget?”
Kakak mengalihkan pandangan kearahku dan tersenyum. Senyumannya terlihat begitu tulus, namun tidak bisa menyembunyikan gurat-gurat kesedihan dan kelelahan yang terukir jelas.
“Karena Kakak kagum sama ciptaan Tuhan yang satu itu,” jawab Kakak ringan, lalu mengembalikan pandangannya ke langit.
“Apa kak? Bintang?” tanyaku polos.
Kakak menggelengkan kepala perlahan dan menatapku lekat. “Bukan bintang, Rena, tapi bulan.”
“Aku sih lebih kagum sama bintang kak, soalnya banyak dan cantik,” seruku sambil bergeser mendekati Kakak, menyejajarkan tubuhku dengan tubuh semampainya, lalu ikut memandangi langit.
Kakak menggeleng, lalu berkata, “Kalau bintang hilang satu, kita nggak akan merasakan efeknya, Ren. Tapi kalau yang hilang bulan, kita semua pasti tahu. Bulan memang cuma sendirian, tapi kecerahannya mengalahkan bintang-bintang yang muncul di langit malam. Meskipun sendirian, dia nggak kehilangan manfaat untuk bumi. Dia berarti.”
Aku mencoba mencerna kata-kata Kakak sambil mencoba membandingkan kecerahan bintang dan bulan yang sedang kupandangi. Cukup lama kami terdiam menikmati hening hingga aku kembali mendengar suara Kakak.
“Ren,” panggilnya. Aku menoleh tanpa menyahut.
Lalu Kakak melanjutkan, “Jika suatu hari nanti Kakak nggak bisa jagain kamu lagi, kamu harus percaya kalau Kakak akan terus berdoa agar Tuhan mengizinkan bulan itu menemani kamu, supaya kamu nggak sendirian.”
Aku meraih tangan Kakak, menggenggamnya, lalu menatapnya sambil tersenyum.
“Kakak jangan khawatir. Aku cuma butuh Kakak. Bagiku, Kakak adalah yang paling berarti yang aku punya.”
Kakak memelukku erat dan kurasakan air mataku mengalir ringan. Saat itu, usiaku tujuh tahun. Aku tidak begitu memahami apa yang sedang terjadi dan beban macam apa yang sedang Kakakku hadapi. Saat itu aku tak tahu bahwa menghabiskan malam memandangi bulan di balkon rumah bersama Kakak adalah momen yang akan kurindukan di malam-malam setelahnya. Bersama dengan waktu yang menjadikanku bertambah tua, aku memahami banyak hal yang sebelumnya bahkan tak pernah terpikir.
***
Sepuluh tahun kemudian...
“Gimana? Kelihatan jelas atau nggak?”
“Agak sulit, Res. Sepertinya polusi cahaya di daerah ini memang cukup tinggi.”
“Apa kamu yakin penyebabnya bukan cuaca?”
Aku mengangguk dan berujar, “Kalau penyebabnya cuaca, bintangnya nggak akan samar tapi justru tertutup awan.”
“Berarti kita sampai pada kesimpulan?”
“Bisa jadi. Tapi, kita tetap harus mencoba titik pengamatan lain.”
Aku membenahi teleskop dan seluruh perangkat pengamatan. Aresta membantuku merapikan data-data yang berserakan di atas meja. Kami baru saja meneliti polusi cahaya langit, objek penelitian kami. Penelitian ini adalah tugas akhir kami sebagai syarat kelulusan SMA.
“Habis ini kamu mau kemana?” tanya Aresta setelah barang-barang kami terkemas.
“Entahlah. Mungkin aku mau pulang saja,” jawabku.
Perlahan, aku merasakan rintikan air hujan membasahi tanganku. Aku dan Aresta memasukkan peralatan ke dalam bagasi dan bergegas masuk ke mobil.
Aresta adalah teman sekelasku. Saat ini kami duduk di bangku kelas 3 SMA Pelita Bangsa, sebuah sekolah Internasional di kawasan Jakarta Selatan. Dia temanku yang cukup dekat. Alasan terkuat aku bisa berteman dekat dengan Aresta adalah walaupun dia perempuan, dia tidak pernah berusaha bertanya tentang hidupku yang memang tak ingin kuceritakan. Selain itu, Aresta mengenalkanku pada jilbab, selembar kain yang membawa ketenangan bagi batinku.
Aresta mengemudikan sedan putihnya dengan hati-hati. Sepanjang perjalanan, seperti biasanya kami bercerita tentang sekolah. Ia mengantarku sampai ke depan rumah.
“Makasih ya, Res!” ujarku sambil meraih payung di dashboard dan bersiap melangkah turun dari mobil.
“Kok kamu nggak pernah ajak aku main ke rumah kamu sih, Ren?” tanya Aresta sebelum tanganku sempat menyentuh pintu.
Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. Aku memang tidak pernah membiarkan seorang pun temanku main ke rumahku. Aku tidak mau ada yang tahu kondisi rumahku yang kacau oleh Tante Rheina dan teman-temannya. Kakak juga melarangku mengajak teman ke rumah karena dia tidak mau ada yang melihat kondisinya.
Akhirnya, aku hanya berkata, “Lain kali aja ya, Res. Udah larut, nanti kamu dicariin orangtuamu, lho.”
Aresta mengangguk bosan dan membiarkanku berlalu. Kutatap mobilnya berbalik arah dan pergi dari teras depan rumahku. Setelah mobilnya benar-benar hilang dari pandangan, aku hanya bisa bergumam, “Maaf ya, Res. Ini demi Kakak.”
***
Aku melangkah masuk  ke dalam rumah. Pemandangan pertama yang terlihat di hadapanku adalah Tante Rheina yang sedang bermesraan dengan kekasihnya. Aku melangkah malas ke dalam kamarku dan berusaha mengabaikan mereka berdua. Kukunci pintu kamarku dan kuletakkan semua barang-barangku di atas meja.
Aku lalu berjalan ke arah pintu yang menghubungkan kamarku dengan kamar kakakku, dan membuka pintu itu. Kutatap kakakku yang kurus kering berbaring di ranjang. Dia sedang menatap kosong dan tak melakukan apa-apa.
Melihatnya dengan kondisi seperti itu selalu membuatku ingin menangis. Tapi lima tahun menghadapi keadaan yang sama, membuatku sedikit bisa menahan air mata.
“Kak,” panggilku lembut.
Kakakku menoleh padaku dan tersenyum. “Bagaimana pengamatannya?”
“Menyenangkan, Kak. Andai Kakak disana,” ujarku lagi.
Tangan kurusnya meraih tanganku dan menggenggamnya. Kondisi kakak saat ini benar-benar sangat buruk, seakan tidak bisa lebih buruk lagi dari ini.
Enam tahun yang lalu, kakak mengonsumsi narkoba jenis hasish (ganja cair) yang menggunakan jarum suntik. Kakak melakukannya lantaran Ayah dan Ibu, yang bahkan tidak pernah memberi perhatian padanya sama sekali, terus-terusan memaksanya kuliah di jurusan yang tidak dia inginkan.
Setelah hampir setengah tahun menjadi pemakai, Kakak ketahuan Ibu dan dikirim ke tempat rehabilitasi. Setelah Kakak kembali, Ayah dan Ibu berubah menjadi lebih memperhatikan aku dan Kakak.  Aku merasa saat itu benar-benar hari-hari yang luar biasa menyenangkan.
Namun, tak berselang lama, Kakak divonis HIV dan Ibu yang mendengarnya terkena serangan jantung sampai akhirnya meninggal. Ayah yang seorang pelaut tetap harus bekerja sebagai pelaut untuk menghidupi kami. Jadi aku dan Kakak dititipkan kepada Tante Rheina.
Meskipun kami tetap tinggal di rumah yang sama, sejak kedatangan Tante Rheina rumah kami benar-benar terasa seperti neraka. Tante sering membawa teman-temannya dan membuat keributan. Kadang ia juga membawa kekasihnya dan bermesraan seakan tidak ada yang melihat mereka. Karenanya, aku dan Kakak jarang sekali ada di rumah. Setiap Ayah menelepon, Tante Rheina selalu menjawab dengan meyakinkan, aku diancam untuk tidak memberitahukan apapun kelakukannya pada Ayah. Karena selama ini Tante Rheina tidak pernah melakukan kekerasan secara langsung kepada kami dan kami tetap mendapatkan makanan dan keperluan yang cukup, aku akhirnya memilih untuk diam saja.
Tiga tahun yang lalu, Kakak mulai terjangkit AIDS. Tubuh kakak tergerogoti oleh berbagai gejala penyakit, sehingga Kakak harus tetap di rumah dan tidak bisa beraktivitas. Sejak itulah aku lebih sering di rumah menemani Kakak. Semakin hari, tubuh Kakak semakin ringkih saja. Aku tidak tega melihatnya.
“Ren,” panggil Kakak membuyarkan lamunanku. “Kakak sayang kamu.”
Aku tersenyum. “Aku juga sayang Kakak,” balasku, dan kami saling bertatapan penuh arti.
Kami sadar bahwa yang bisa kami lakukan hanya saling menyayangi dan saling menguatkan. Karena aku tanpa Kakak, atau Kakak tanpa aku, pasti takkan sanggup melalui ini semua.
***
 “Rena!”
Aku menoleh dan mendapati Aresta sedang berlari di koridor untuk mengejarku. “Kenapa, Res?” tanyaku saat akhirnya dia sampai di hadapanku.
“Aku mau main ke rumah kamu,” ujarnya bersemangat.
Aku menggeleng. “Nggak bisa sekarang, Res. Aku sibuk. Ada yang mau aku kerjain bareng kakakku.”
“Ayolah, Ren. Sebentar aja deh.” Setelah semalam gagal memohon, kali ini Aresta sepertinya tidak berniat untuk berhenti.
Namun, aku tetap pada pendirianku. “Nggak bisa sekarang, Res.”
Aresta menghela nafas. “Ya udahdeh, tapi aku boleh antar kamu pulang, ‘kan?”
Aku berjalan sambil berpikir. Aresta masih mengikutiku, berusaha mengimbangi langkah kakiku yang semakin cepat.
“Iya boleh. Sekalian kita bicarakan lagi masalah penelitian kita ya,” jawabku akhirnya.
Kami berdua melangkah menuju mobil Aresta. Dan dimulailah percakapan ringan kami yang biasa, tanpa aku tahu apa yang menungguku bukanlah sesuatu yang ringan.
***
 “Yakin nih, Ren, aku nggak boleh masuk?”
Aku melemparkan tatapan galak ke Aresta. “Tadi katanya cuma antar pulang,” keluhku. Enak saja dia berusaha mengakaliku.
Aresta mengeluarkan ekspresi polosnya sambil berkata, “Yah kan udah terlanjur disini, apa salahnya kalau...”
PRANG!!!
Kami menoleh mendengar suara sesuatu yang pecah dari dalam rumah. Aku panik dan bergegas masuk ke dalam. Ruangan pertama yang kutuju tentunya kamar Kakak. Aresta turun dan mengikutiku masuk ke dalam. Aku sudah tidak peduli kalaupun dia akhirnya masuk, karena yang aku pikirkan saat ini hanya Kakak.
Yang pertama kulihat saat memasuki kamar adalah tubuh Kakak yang tergeletak di lantai dan kejang-kejang dengan gelas pecah tidak jauh darinya. Aku langsung menghampiri tubuh Kakak dan memangku kepalanya. Aresta muncul dari pintu dan terbelalak ketika matanya sampai pada Kakak.
“Rena, ayo bawa dia ke rumah sakit!” sahut Aresta sedikit berteriak, menunjukkan bahwa dia juga panik.
Aku memasang wajah bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa.
Melihat aku yang tidak juga bergerak, Aresta menambahkan, “Jangan buang waktu, Ren!"
Aresta menghampiriku dan membantuku mengangkat tubuh Kakak.
Kami mengangkat tubuh Kakak yang sebenarnya sangat ringan dan mungkin saja kuat aku angkat sendirian jika tidak dalam keadaan panik seperti ini. Setelah tubuh Kakak masuk ke mobil, aku dan Aresta ikut masuk. Kami pergi ke rumah sakit terdekat.
Di sepanjang perjalanan aku memeluk kakak dan membisikkan kata-kata yang sama di telinga Kakak berulang-ulang.
“Aku mohon Kak, bertahanlah! Aku nggak sanggup kalau Kakak nggak ada.”
***
Aku berada di ruang ICU, menatap tubuh Kakak yang terbaring lemah. Dokter bilang kami membawanya kesini tepat waktu. Terlambat sedikit saja, mungkin dia tidak bisa lagi diselamatkan. Aku menggenggam tangan Kakak yang masih tetap kurus dan kukecup lembut.
Setelah itu, aku beranjak ke luar ruangan. Di koridor, aku menemukan Aresta duduk sambil bersandar ke tembok dan memejamkan matanya. Aku menghempaskan tubuhku di sebelahnya. Aresta menoleh memandang wajahku yang entah seperti apa rupanya. Matanya tidak melukiskan apapun selain pertanyaan. Banyak pertanyaan yang mungkin dia sendiri tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.
“Makasih ya, Res,” ucapku tulus.
Aresta tersenyum dan menjawab, “Sama-sama, Ren.”
Dia meraih tanganku dan menggenggamnya sangat erat. "Aku nggak tau apa yang menimpa kamu, Ren. Tapi, aku nggak meminta penjelasan. Kalau kamu nggak mau cerita, aku nggak maksa," ujar Aresta.
Beberapa saat kami hanya menikmati kesunyian. Kupejamkan mataku dan kusandarkan kepalaku ke pundak Aresta. Berikutnya, tanpa sadar kepercayaanku padanya menuntun lidah ini mengucap segalanya dan mengalirlah seluruh cerita tentang aku, Kakak, dan keluarga kami.
***
Entah sudah berapa lama aku terdiam saat kurasakan seseorang menyentuh bahuku. Bisa jadi ternyata aku sudah berjam-jam tidur. Aku menoleh dan menemukan ternyata suster yang menyentuh bahuku.
“Maaf, apakah Anda keluarga dari Renita?” tanya suster tersebut.
“Iya, Suster. Saya Renata, adiknya. Ada apa?” aku balik bertanya.
“Sejak tadi Renita seperti memanggil seseorang, mungkin dia mencari Anda.”
Setelah mendengar kalimat terakhir suster itu, aku bangkit dan menuju ruangan Kakak. Sekilas kulihat waktu sudah berlalu empat jam sejak aku duduk di bangku itu dan Aresta sudah pamit pulang. Aku kembali melangkahkan kaki ke dalah ruang ICU tempat Kakak dirawat. Benar saja, sejak masuk ke ruangan itu, aku bisa melihat bibir Kakak sedikit bergerak-gerak.
Kuhampiri ranjang tempat Kakak berbaring. Kuraih tangannya dan kurasakan tangannya sedikit bergetar dalam genggamanku. Setetes airmata turun dari matanya yang tetap terpejam, membasahi pipinya yang tirus.
“Kak, Rena disini,” bisikku lirih. Sebisa mungkin kutahan airmataku agar tidak jatuh. Kakak tidak boleh melihatku menangis.
“Apa yang Kakak rasain? Sakit?” tanyaku. Tangan Kakak yang berada dalam genggamanku perlahan bergerak meraih jariku. Sangat perlahan, hingga mungkin aku tak akan tahu seandainya saja tangan itu tak kugenggam.
“Sakit banget, Kak?” tanyaku lagi. Tangan Kakak kembali bergerak dengan pola yang sama namun lebih kuat dari sebelumnya.
Kurasakan pipiku basah oleh airmata. Sia-sia saja aku menahan kesedihan karena melihat orang yang paling kusayangi di dunia ini menderita. Mungkinkah aku egois? Egois karena tak membiarkan Kakak pergi meninggalkanku, dan karena aku ingin Kakak tetap hidup padahal Kakak tersiksa dengan penyakit yang tak ada obatnya ini?
“Aku sayang Kakak,” ucapku tulus, mungkin akan menjadi yang terakhir kali didengarnya di dunia. “Dan karena itu, aku nggak mau Kakak tersiksa menahan diri tetap hidup dengan penyakit ini demi aku. Aku ikhlas melepas Kakak kalau memang Kakak mau pergi. Kakak nggak perlu khawatir, aku bisa menghadapi semuanya.”
Genggaman tangan kakak semakin kuat di tanganku seiring dengan kalimat panjang yang mengalir dari lidahku.
“Aku percaya walaupun nggak terlihat, Kakak akan tetap ada di sampingku, memperhatikaku, memastikan bahwa aku baik-baik saja.”
Bersamaan dengan kalimatku berakhir, genggaman tangan Kakak melemah. Kudengar Kakak menghela nafas panjang, sebelum akhirnya nafas terakhirnya berhembus dan alat di sampingnya memperlihatkan sebuah garis lurus.
Kulepaskan genggaman tanganku, lalu kuselimuti wajah Kakak. Airmataku mengalir di sepanjang jalanku keluar dari ruang ICU dan memanggil suster yang menangani Kakak. Setelah bertemu Suster, aku menunjuk ruangan Kakak tanpa berkata apapun, hanya terus menangis. Yang selanjutnya kuingat adalah wajah Suster yang terlihat bingung dan semuanya terasa gelap.
***
Perlahan kubuka mataku dan kukerjapkan. Hal pertama yang kusadari adalah aku sedang terbaring di atas ranjang di sebuah ruangan asing yang aromanya seperti rumah sakit. Hal berikutnya, Aresta sedang menungguiku tepat di sisi kanan tempat tidur. Lalu, ingatan-ingatan lain mulai merasukiku dan saat aku mulai Kakak telah meninggal, aku mulai menangis lagi.
Di tengah tangisku, Aresta bangkit dari sofa dan menghampiriku.
“Sudahlah, Ren, kakak kamu pasti udah tenang di alam sana,” ujarnya sambil menatapku lembut.
Dia menyodorkan sebuah sapu tangan padaku, dan aku mengulurkan tangan untuk menerimanya. Aku sadar, Aresta benar. Lagipula, bukankah aku sudah mengikhlaskan kepergian Kakak karena aku nggak mau lihat Kakak menderita dengan AIDS itu? Jadi, aku berusaha menghentikan tangisku.
“Aku harus kabari Ayah dan Tante Rheina,” sahutku.
Aresta menatapku dengan cara yang menurutku sedikit aneh. Lalu, dia berkata, “Ini udah lewat tiga hari sejak kakak kamu meninggal, Ren. Kakak kamu udah dikubur.”
Aku tidak menjawab pernyataannya, hanya menatap kosong ke satu titik.
“Gini ya, Res, rasanya terlalu sayang sama seseorang?” ujarku sambil tersenyum sedih. Karena Aresta tidak berkata apapun, aku melanjutkan, “Karena nggak tega lihat orang yang aku sayang menderita, aku harus bisa ikhlas saat dia pergi tinggalin aku kayak gini, walaupun aku sedih, walaupun aku sakit, aku harus ikhlas.”
Aresta menatapku lekat. Ditatap seperti itu mau tidak mau aku menatapnya balik. Seakan mengalirkan langsung setiap kata-katanya ke dalam pikiranku, dia berujar, “Bukan cuma kamu yang bisa menyayangi seseorang. Kamu udah merasakan betapa kehilangan orang yang disayangi itu rasanya nggak enak, apa kamu akan terus berlarut-larut dalam kesedihan dan membiarkan orang-orang yang menyayangi kamu kehilangan kamu? Mungkin kamu ada, Ren, kamu hidup, tapi tanpa semangat, apa artinya?”
Aresta tidak melepaskan matanya dari mataku dan aku tidak menyahuti ucapannya, hanya mencerna dengan baik.
Aku tahu Aresta ada benarnya. Setiap manusia di dunia ini pasti mati, termasuk aku nantinya. Lagipula, sebelumnya aku sudah berkata pada Kakak bahwa aku ikhlas Kakak pergi. Tidak ada alasan untukku berlama-lama larut dalam kesedihan. Yang harus kulakukan adalah berjuang dan menjalani hidupku sebaik-baiknya. Buktikan kalau aku benar-benar menyayangi Kakak dan tak mau melihatnya kecewa.

Jadi, demi Kakak yang telah melalui hidupnya dengan berat untuk tetap berada di sampingku, dan demi Aresta, sahabat terbaikku, saat itu aku tersenyum.

Serpong
4 Maret 2014

Unrequited Love

Ketika langit terbelah
Keegoisan bagai tercurah
Tiada lagi asa tertutup kerah
Dan tak pernah ada cinta berbuah

Andai tawa tertutup air mata
Wajah murung tampak biasa
Tertutup cadar nista kelana
Mata nanar hanyalah rupa

Aku tersentak bagai tak berkawan
Hanya karena cinta tak bertuan
Ketika cahaya tertutup awan
Hatiku rasa tertutup keriasauan

Jika saja mentari mampu kugapai
Kan kutukar sejuta cita dengan lunglai
Dan fikiran seakan terbengkalai
Hanya karenamu yang selalu jadikanku lalai

Neira menatap ulang tulisannya dalam secarik kertas. Kertas itu sekarang tak tampak lagi seperti kertas. Karena selain basah dengan air mata, kertas itu memang hanya kertas bekas coretan matematika. Untungnya kelas sedang kosong, jadi tak ada yang tahu ia menangis. Sejenak tatapan Neira kosong. Dia mencoba merenungi kembali apa yang terjadi tadi pagi. Ketika Rama menghampirinya dan memperkenalkan Fia sebagai pacar barunya.
Oke. Tak harus diulang-ulang lagi, Neira sudah cukup sadar kalau dia adalah sahabat Rama. Sejak dulu hingga sekarang. Bahkan, mereka telah berjanji untuk selalu bersama dan saling menjaga apapun yang terjadi.
Namun, tak ada satupun yang mampu membatasi sejauh mana perasaan Neira bergerak. Ia tak bisa memungkiri perasaannya terhadap Rama tak hanya sebatas sahabat. Rasa sayang itu ada pada tempat yang tak seharusnya. Neira telah… Jatuh cinta pada Rama sejak pertama kali mereka bertemu.
Ketika itu…
Neira berlari sepanjang lorong dengan gesit. Meski sekolah itu masih cukup sepi, namun ia merasa sangat terlambat untuk mengurus surat pindahnya ke sekolah itu. Pasalnya, 20 menit lagi bel tanda masuk sekolah berbunyi.
Sedang asik-asiknya berlari, tiba-tiba langkahnya tertahan. Sepersekian detik berikutnya, Neira sadar bahwa tali sepatunya belum terikat dengan baik. Namun, tentunya sangat terlambat untuk mencegahnya terjatuh.
Map dan berkas-berkas di tangan Neira berhamburan. Neira menutup matanya, bersiap menerima hantaman keras di tubuhnya akibat terjatuh. Tapi, alih-alih hantaman, yang ia rasakan adalah tubuhnya ditunjang oleh sesosok lain yang tak dikenalnya. Kaget, Neira berdiri. “Siapa lo?” tanyanya spontan.
Neira berfikir bahwa makhluk di hadapannya ini akan menjawab dengan lebih kasar. Tiba-tiba, laki-laki dihadapannya tersenyum, menghempaskan jauh-jauh prasangka Neira. Laki-laki itu berjongkok dan memunguti semua map dan berkas-berkas yang tadinya dibawa Neira. Reaksi yang sangat diluar dugaan.
Laki-laki itu lalu menyodorkan semua yang telah dipungutnya dan tersenyum.
Dengan perlahan dan agak ragu-ragu, Neira mengambil semua barang-barangnya dan berusaha memberikan senyum termanisnya yang saat itu sangat terlihat aneh. “Ma… Maka… Makasih…” ucap Neira tulus, tanpa melepaskan gagapnya.
Laki-laki itu lalu mengulurkan tangan. “Rama…”
Neira menyambutnya dengan cepat. “Neira…”
Sejenak mereka hanya nsaling menatap. Bola mata Neira yang hitam bertemu dengan bola mata Rama yang agak cokelat. Dalam warna teduh itu, Neira menemukan kedamaian. Tepat saat itu, jantungnya terasa dua kali lebih cepat dalam bekerja. Sampai-sampai, Neira mengira setiap orang akan mendengar detak jantungnya.
“Hei…” tegur Rama, sambil menyibakkan tangannya di depan wajah Neira.
“Ya?” sahut Neira kaget.
“Lagi buru-buru?” tanya Rama.
Neira tersadar dan langsung mengecek kembali map di tangannya. “Ya. Gue lagi buru-buru” jawabnya. “Duluan ya!” pamit Neira. Tanpa tahu setelah itu mereka akan jadi semakin dekat dan akhirnya menjadi sahabat.
Tentu saja Neira masih ingat. Dia tak mungkin bisa melupakan hal yang sangat penting dalam hidupnya itu.
Dia tak lupa, bahwa setelah itu ternyata mereka sekelas. Dan mereka ternyata duduk semeja. Atau ketika di hari pertama sekolah dan hari pertama mereka saling kenal Rama langsung meminta nomor handphone-nya. Obrolan-obrolan akrab mereka sampai pada hal yang sangat pribadi. Saat-saat Rama memintanya menjadi sahabat.
Tentu saja dia tak mampu melupakan saat-saat itu. Tapi, dari semua hal dan kenangan indah itu, hal yang paling tak bisa dilupakan Neira adalah sikap playboy Rama.
Rama yang berganti-ganti pacar semudah berganti sandal. Dan apa yang dirasakan Neira setiap kali Rama memperkenalkan pacar barunya. Rasa sakit yang amat menusuk itu takkan pernah Neira lupakan.
Hampir setiap Rama memperkenalkan pacarnya pada Neira, setelahnya Neira menangis. Dan pada saat Rama melihatnya, dia hanya bertanya pada Neira dengan tampang tanpa dosa. Seakan-akan ia tak pernah membuat Neira menangis.
Padahal nyatanya, hampir setiap butir air mata yang Neira teteskan adalah karena Rama. Karena sikap laki-laki bodoh itu.
“Neira…” panggil Rama lembut kepada sahabatnya. “Lo kenapa?” sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Rama. Pertanyaan yang sama yang diajukannya setiap Neira terlihat murung.
Neira hanya menggeleng lemah. “Cewek lo mana?” tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan. Neira paling tidak suka ketika Rama menanyakan keadaannya. Karena, itu artinya dia akan selalu berbohong pada Rama. Pasalnya, dia tak pernah merasa baik-baik saja ketika Rama menanyakan keadaannya.
“Di kelasnya, Ra. Dia itu baik banget deh. Kayaknya, gue sama dia akan bertahan lumayan lama.” jawab Rama dengan nada semangat. Namun, sudut matanya terlihat khawatir.
“Bagus lah, Ram. Gue harap lo sama Fia langgeng. Gue udah jenuh liat lo ganti-ganti pacar terus.” walaupun gue harap orang yang beruntung itu gue… lanjut Neira dalam hati.
Rama hanya tersenyum tipis. “Lo sendiri, Ra?” tanya Rama.
“Gue? Emang gue kenapa?’ Neira mengerutkan kening tak mengerti.
“Lo nggak pingin apa punya pacar?” Rama memperjelas maksud pertanyaannya.
“Emang harus ya?”
“Nggak harus sih, Ra. Tapi, emang lo nggak ngerasa kesepian?” lagi-lagi Rama bertanya. Dan ini mulai membuat hati Neira panas.
Untungnya, Neira mampu menguasai dirinya. Dia lalu menggeleng perlahan. “Gue kan punya lo. Sahabat gue dari pertama kali masuk SMA ini. Gue nggak akan merasa kesepian, Ram.” dia lalu tersenyum.
“Emangnya lo nggak suka sama seorang cowok, Ra?” pertanyaan yang satu ini membuat dada Neira terasa sesak. Haruskah dia menjawab jujur atau…
“Ada.” akhirnya dia memilih jujur.
“Siapa?” tanya Rama lagi. Entah mengapa, hari ini Rama sangat mirip reporter.
“Seseorang bodoh yang selalu ada di samping gue, tapi seakan dia nggak pernah melihat gue sebagai seorang cewek biasa.” jawab Neira memilih jujur. Namun dengan kata-kata yang berputar-putar sehingga Rama tak mengerti sama sekali siapa orang itu.
Alhasil, Rama hanya mengangguk-angguk tak jelas. “Kejar cinta lo, Ra.” ujarnya seraya menepuk bahu Neira. “Gue ke kelas Fia dulu ya. Mau pacaran.” pamit Rama sambil senyum-senyum. Lalu sosoknya menghilang di balik pintu kelas.
“Gue nggak akan mengejarnya, Ram. Karena gue saat ini sangat takut terjatuh…” gumam Neira perlahan. Neira membalikkan tubuhnya dan menatap jauh ke depan.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Minerva Glass. Bahwa, cinta itu nol. Dan, berapapun waktu yang terbuang untuk angka nol, semua hanya akan sia-sia. Dan terasa sia-sia juga perasaan Neira terhadap Rama. Selama apapun Neira mencintai Rama, yang didapatkannya hanyalah penyesalan dan rasa sakit.
-o0o-
“Nama saya Revan, pindahan dari SMA 26 Bandung.” ujar seorang siswa pindahan memperkenalkan diri. Semua mata tertuju pada Revan, kecuali sepasang bola mata hitam yang sejak tadi terus menatap komik yang telah dimanipulasinya dengan buku sejarah.
“Nah, Revan.” panggil Bu Sitta. “Kamu bisa duduk di sebelah Neira.”
Sepasang bola mata hitam itu menoleh meninggalkan dunia komiknya. Melihat sesosok laki-laki berjalan gontai ke kursi di sebelahnya.
Bahkan saat Revan telah mendarat di kursinya, mata itu tetap tak lepas memandanginya.
“Woy!” Plakk! Revan berseru sambil menampar pipi Neira pelan.
“Eh, sakit tau.” Neira meringis.
“Makanya jangan ngelamun aja. Ngapain sih ngeliatin gue kayak gitu? Gue jadi takut deh sama lo.” ujar Revan.
“Ngapain lo takut sama gue? Emangnya bakal gue makan apa?” tanya Neira.
“Nggak tau ya… kalo lo termasuk…”
“Neira! Revan! Kalian tidak menghargai saya ya.” teriak Bu Sitta. “Kalau kalian merasa keberatan mengikuti pelajaran saya, silahkan keluar sekarang juga!” tambahnya.
Seisi kelas sontak terdiam. Tak terkecuali Neira dan Revan.
Namun, ketegangan itu tak berlangsung lama, karena Revan berdiri dari kursinya dan membungkuk. “Maaf, Bu!” ucapnya sungguh-sungguh.
Semua penghuni kelas itu berbalik menatap Revan. Termasuk Bu Sitta. Dan, sedetik kemudian beliau tersenyum, lalu berkata, “baik, saya maafkan. Tapi, lain kali tolong hargai keberadaan saya disini.”
Revan duduk kembali. Neira menatapnya dengan pandangan tidak percaya. “Kenapa?” tanya Revan, merasa tak nyaman diperhatikan sedetail itu  oleh Neira.
Neira hanya menggeleng dan memperhatikan ke depan. Tak ingin insiden kemarahan Bu Sitta terulang lagi.
-o0o-
“Nama gue Neira.” ujar gadis itu seraya menyodorkan tangan untuk berkenalan.
“Harusnya sih lo udah tau nama gue, karena tadi pagi gue udah nyebutin nama kenceng-kenceng di depan kelas. Tapi, kalau lo nggak denger karena terlalu sibuk baca komik, nama gue Revan.” jawab Revan panjang lebar.
Neira meringis ngeri mendengar Revan berbicara. Baru kali ini ditemuinya laki-laki secerewet Revan. “Whatever!” itulah kata-kata yang akhirnya dipilih Neira sebelum dia melenggang ke kantin.
Tapi, tangan Revan menahannya. “Temenin gue yuk!” ajak Revan.
“Kemana?” tanya Neira.
“Keliling sekolah ini. Gue kan belum terlalu hafal seluk-beluknya. Hitung-hitung lo Bantu gue lah. Daripada lo nyamperin pacar lo itu.” sahut Revan sambil menunjuk ke arah Rama. “Lagian dia juga pergi tanpa menengok ke arah lo sama sekali tuh.” tambahnya.
“Dia bukan pacar gue.” sahut Neira.
“Masa sih? kayaknya tadi sepanjang pelajaran, mata lo nggak pernah lepas dari dia deh. Gue perhatiin, lo ngeliatin dia terus. Kalau lo bukan pacarnya, berarti lo penggemar rahasianya dong? Atau…”
“Dia sahabat gue…” potong Neira. “Dan, kalau lo masih mau gue temenin keliling sekolah, sebaiknya lo nggak perlu ikut campur urusan gue.” Neira memanas.
“Iya, tante… Gitu aja ngambek.” ledek Revan.
Neira meninggalkan Revan dengan sebal. Namun, Revan mengikutinya. Dan, akhirnya mereka mengelilingi sekolah bersama-sama, dengan Neira sebagai pemandunya.
-o0o-
“Jadi, lo suka sama sahabat lo sendiri?” tanya Revan dengan nada serius. Dua minggu setelah ia resmi menjadi murid SMA Pertiwi.
Neira yang sedang membaca komik Detektif Conan favoritnya mendongak. “Maksudnya?”
“Maksud gue kan jelas, lo suka sama Rama, ‘kan?” tanya Revan.
“Yaiyalah.” jawab Neira santai sambil kembali membaca komiknya. “Kalau gue nggak suka sama Rama, gue nggak akan mau jadi sahabatnya.”
“Bukan suka yang kayak gitu. Maksud gue, suka sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lebih tepatnya lagi, jatuh cinta.” Revan ngotot.
Kali ini Neira benar-benar mendongak sampai menutup komiknya. “Lo bercanda ya?” tanyanya balik.
“Apa untungnya gue bercanda?” Revan mengerutkan kening. “Gue serius, Neira.”
“Kenapa juga lo bisa berfikiran kayak gitu?”
“Gue nggak buta, Neira.” jawab Revan. “Gue cukup tau, kalau cara lo ngeliat Rama itu beda. Ada sesuatu yang lebih disana.” lanjutnya.
“Nggak usah sok psikolog deh, Van.” sergah Neira. “Gue tegasin sekali lagi, dan untuk yang terakhir kalinya. Gue nggak suka sama Rama!” bentaknya begitu keras. Berusaha menahan perih hatinya karena sekali lagi harus membohongi perasaannya sendiri.
Revan diam. Dia lalu berjalan menjauhi Neira. Mencoba membiarkan Neira sendiri. Namun, baru beberapa langkah dia berbalik menatap Neira. “Gue yakin,” gumamnya perlahan, namun masih terdengar oleh Neira. Revan lalu melanjutkan, “suatu saat nanti, lo sendiri yang akan membuktikan kalau ucapan gue benar.” dan Revan pun pergi.
Neira menatap Revan menjauh dengan jantung berdebar. Detik-detik kebohongannya terulang lagi. Dia lalu membuka lagi komiknya yang tadi sempat tertutup, dan mulai membaca dengan serius. Mencoba meninggalkan dunia nyatanya yang memperburuk suasana hati, dan memasuki dunia komik yang mendebarkan namun menyenangkan itu.
Dia terus membaca sampai seseorang memegang bahunya. Sontak dia berbalik. “Rama?” ucapnya meyakinkan.
“Cie yang baca komik, serius banget sih.” goda Rama.
“Yah, Ram. Lo kayak nggak tau gue aja sih. Gue kan suka banget komik yang satu ini. Ngomong-ngomong, lo ada perlu apa sama gue?” tanya Neira.
“Emangnya kalau gue mau ngobrol sama sahabat gue sendiri harus pake keperluan dulu ya?”
“Bukan gitu, Ram. Gue heran aja, biasanya kan jam segini lo di kelasnya Fia.” jawab Neira jujur, dan sedikit menahan sakit hati mengucapkan nama Fia.
“Gue udah putus kali sama Fia.” ujar Rama.
Dahi Neira berkerut. Namun tak bisa berbohong, hati Neira bersorak senang. “Kok bisa?” tanya Neira dengan aksen serius.
“Habisnya, dia itu cemburuan.”
“Lho, kan lo sendiri yang bilang waktu itu kalau dia pengertian. Nggak konsekuen banget sih lo.” maki Neira.
“Waktu itu belum kelihatan aslinya, Ra.” sahut Rama. “Daripada ngomongin Fia, gue mau tanya sama lo, gimana ya cara yang unik buat nembak cewek? Gue mau nembak Irsha nih..”
Gubrakk!! Atap kelas itu terasa jatuh di atas kepala Neira. Dan tentu saja air mukanya berubah. Semua sakit hati, amarah, serba salah, kecewa, dan cinta tergabung jadi satu di wajahnya.
Neira menjawab singkat, “cari aja cara sendiri.” lalu berlari meninggalkan Rama yang terdiam dengan wajah bingung. Dan juga meninggalkan sesosok laki-laki yang berwajah prihatin, namun tersenyum puas.
Neira berlari entah kemana. Ia tak tahu arah mana yang ia tuju. Yang ia tahu sekarang hanyalah mencoba menenangkan diri dan lagi-lagi menabahkan hati. Ternyata benar apa yang ia ungkap tempo hari. Cinta itu nol, dan seberapa lamapun waktu terbuang untuk angka nol, hanya akan menjadi sia-sia. Dan seberapa banyakpun airmata yang terbuang untuk angka nol itu, tetap tak bisa mengubah nol itu menjadi sesuatu yang bernilai.
Tapi, meski Neira tahu tangisnya sia-sia, ia tetap menangis. Karena, baginya tangis mungkin takkan menyelesaikan masalah. Tapi, mampu mengurangi perih hati akibat masalah itu. Tangis akan melegakan hati. Jadi ia menangis sepuas-puasnya di tempat itu. Tempat yang saat itu tak dikenalnya. Dan bahkan, Neira tak menyadari sepasang bola mata yang menatapnya dari kejauhan.
Setelah cukup lama menangis di tempat itu, Neira merasa seseorang melangkah mendekatinya. Dia pun berbalik. “Revan?” matanya melebar karena terkejut.
Revan hanya dian dan tak berkata apa-apa. Lalu, ia menyodorkan sebuah sapu tangan ke hadapan Neira. Selama beberapa detik, mereka berdua hanya diam.
Neira lah yang lebih dulu tersadar dan langsung mengambil sapu tangan itu “Kok lo ada disini?” tanyanya.
“Nanti malam ada accara nggak?” tanya Revan seolah tak memedulikan pertanyaan Neira.
Neira memasang tampang sewot. Tapi, Revan berkata lagi, “gue akan jelasin semuanya nanti malam. Makanya, gue tanya lo ada acara nggak?”
Neira menggeleng.
“Oke, nanti malam jam tujuh di Cafetaria ujung Jalan Merpati.” ujar Revan lalu berlari meninggalkan Neira.
“Kenapa sih tu cowok?” tanya Neira pada diri sendiri.
-o0o-
Neira berlari di sepanjang Jalan Merpati. Bergegas menuju cafetaria tempat ia dan Revan janjian. Dan, sepuluh menit kemudian, Neira tiba di depan cafetaria. Dia memang tidak telat, karena biasa tepat waktu. Namun rupanya Revan telah mendahuluinya. “Udah lama, Van?” tanya Neira ketika menghampiri Revan.
“Belum kok. Baru sebentar.” jawabnya sopan. “Yuk, ikut gue.” ajaknya, lalu menarik tangan Neira ke dalam cafeteria.
Mereka duduk di sebuah meja yang agak terpencil dari tempat duduk lainnya. Nyaris tak terlihat karena berada di sudut. Pelayan menghampiri meja mereka. “Mau pesan apa, Mas?” tanyanya menatap Revan.
“Lo mau makan apa, Ra?” tanya Revan ke Neira.
“Terserah lo deh, Van.” jawabnya pasrah. Yang lebih penting baginya saat ini bukanlah makan, tapi mencari tahu apa maksud Revan mengajaknya kemari malam minggu begini. Kesannya kan seperti… Kencan. Tapi…
“Nggak usah mikir macam-macam, Ra. Gue ngajak lo kesini untuk ngasih tau lo sesuatu yang sangat penting.” Revan telah selesai memesan makanaan dan pelayan pun telah meninggalkan mereka. Neira menatap Revan dalam-dalam.
 “Tapi daripada gue kasih tau, mending juga lo yang liat sendiri.” lanjut Revan. Neira masih tak mengerti, namun memutuskan untuk diam saja.
Bahkan sampai pelayan datang, Neira masih tetap diam saja. Dan dia sama sekali tak tahu apa yang dia makan. Yang dia tahu, rasanya cukup enak.
Namun, ketika matanya mengedar ke arah jam tiga, dia tak bisa diam lagi. Dilihatnya lekat-lekat sosok berkemeja biru yang sedang bercengkerama bersama seorang wanita. Sosok itu Rama. Tak terasa mata Neira berembun, hendak menjatuhkan airmata. Saat…
“Gue nggak ngajak lo kesini untuk nangis. Lagipula, ini belum seperempatnya dari apa yang akan gue tunjukkin ke lo. Jadi lebih baik lo simpen dulu tu airmata.” ucap Revan datar. Lalu melanjutkan kegiatan makannya.
“Mereka pergi…” gumam Neira lirih.
“Oh, jadi sudah dimulai ya?” ujar Revan. “Ayo, Ra. Gue nggak mau melewatkan detik-detik kebejatan dia terungkap.” Revan menyelipkan uaang seratus ribu di bawah piring, lalu menarik Neira keluar dari cafetaria. Neira hanya menurut pasrah.
-o0o-
Motor Rama melaju dengan cepat, namun sepertinya Revan tak mau kalah membuntutinya. Rupanya, Revan benar-benar cerdas. Meski membuntuti, ia benar-benar menjaga jarak dengan motor Rama agar tak dicurigai.
Revan sepertinya tidak takut kehilangan jejak Rama. Mungkin karena dia sudah tau pasti rute yang dituju oleh Rama.
Rama berhenti di sebuah rumah. Revan menyembunyikan diri di pertigaan yang tidak terlalu jauh dari rumah itu. Neira sama sekali tak mengenal wanita itu, jadi ia hanya menyaksikan kejadian itu dengan seksama, sambil mencoba menguatkan hati.
Tanpa di duga, Rama mencium pipi wanita itu dengan hangat. Membuat Neira makin meringis.
Setelah wanita itu menutup pintu, Rama kembali melaju. Dan kali ini menuju tengah kota. Neira tak bisa lagi berkonsentrasi. Hatinya terlalu sakit untuk memperhatikan dimana Rama turun.
“Ra…” panggil Revan menyadari tatapan kosong Neira.
“Apa, Van?” sahut Neira tanpa ekspresi.
“Ini diskotek.” ujar Revan perlahan. Mereka berdua menyaksikan Rama merangkul dua wanita sekaligus dan melihatnya mengenggak minuman keras. Neira mencengkeram bahu Revan ketika Rama mulai mengeluarkan jarum suntik secara sembunyi-sembunyi, namun tampak jelas dari tempat mereka sembunyi.
Dan ketika jarum itu menusuk lengan Rama, Neira memejamkan mata dan berkata, “bawa gue pergi, Van. Gue mohon…”
Dan sepeda motor Revan langsung melaju meninggalkan tempat maksiat itu. Revan sadar, telah membuat wanita di belakangnya ini sangat shock, tapi itu lebih baik, daripada ia harus terus-terusan melihat gadis itu memendam perasaan pada orang yang tak layak.
-o0o-
Revan dan Neira duduk berdampingan di kursi Taman Jalan Merpati. Neira yang saat ini fikirannya sangat campur aduk, mencoba mendengarkan cerita Revan dengan sisa-sisa kesadarannya.
“Cewek yang di cafetaria sama Rama adalah adik gue. Dan rumah itu adalah rumah gue.” Revan mengawali cerita.
Neira menoleh perlahan. Mulai serius mendengarkan cerita Revan.
“Awal gue tau aslinya Rama adalah malam minggu kemarin, gue ditugasin nyokap untuk membuntuti adik gue yang pergi sama orang yang belum dikenal asal-usulnya. Terus, gue ngikutin adik gue sesuai perintah nyokap.
“Ternyata, yang ketemu sama adik gue itu Rama. Tapi, waktu itu gue nggak tau kalau Rama itu bejat seandainya aja nggak ada Fia.”
“Fia?” Neira mengerutkan kening.
“Iya, Fia. Pacarnya Rama waktu itu. Jadi, Fia memergoki Rama selingkuh. Jadilah Fia minta putus malam itu. Tapi, karena adik gue masih polos, dia percaya aja kata-kata Rama yang bilang kalau sebenarnya dialah pacar Rama satu-satunya.
“Malam itu, gue curiga banget sama Rama. Kalau dia bisa selingkuh kayak gitu, bukan mustahil kalau dia memang tukang mainin cewek. Akhirnya malam itu, gue ngikutin Rama sampai ke diskotek. Tapi, sumpah, gue sama sekali nggak tau kalau ternyata dia pecandu.”
“Terus kenapa lo masih biarin adik lo deket sama Rama?” tanya Rama memotong cerita Revan.
“Gue yang minta sama adik gue untuk malam ini berpura-pura udah maafin Rama. Tapi, setelah ini, dia harus jauhi Rama.”
“Kenapa lo melakukan itu?” tanya Neira lagi.
“Buat lo…” ujar Revan perlahan. “Supaya lo tau kalau lo mencintai orang yang salah.”
Neira baru hendak berbicara ketika Revan melanjutkan ucapannya. “Gue tau, Ra kalau lo suka sama Rama. Gue liat saat lo nangis denger Rama mau nembak Irsha, gue liat tatapan lo ke Rama yang berbeda, gue liat perhatian lo ke dia yang nggak biasanya. Gue nggak buta dan bisa liat semua itu.
“Tapi, gue juga nggak buta soal kejahatan Rama. Dan gue mau lo juga membuka mata lo dan liat kalau dia itu bukan orang baik-baik. Dia jahat, Ra. Dia suka mainin perasaan cewek, dia suka ke diskotek, dia biasa minum minuman keras, dia pecandu, dia…”
“Gue tau dia jahat!” bentak Neira. “Tapi, apakah karena dia jahat terus gue bisa lupain dia? Nggak, Van. Perasaan gue ke Rama bukan perasaan picik yang butuh alasan. Dan ketika alasan itu hilang perasaan itu juga akan hilang. Nggak kayak gitu, Van. Gue tulus sama dia.” air mata Neira mengalir dengan deras, tak tahan sejak tadi tersendat.
“Gue tau, Ra. Gue tau lo tulus. Tapi, dia nggak layak mendapatkan ketulusan lo. Lo bisa melakukan sesuatu untuk bisa membuang jauh-jauh perasaan lo. Ungkapkan itu, Ra. Ungkapkan perasaan lo ke Rama, tapi jangan minta dia jadi pacar lo. Bilang kalau Rama bukan orang yang cukup baik untuk mendampingi lo. Lakukan itu, Ra. Dan gue yakin, akan lebih mudah untuk lo menjalani semuanya.” kata-kata itu mengakhiri ucapan Revan.
Neira bersandar di bahu Revan dan mengeluarkan semua airmata yang ingin ia keluarkan. Agar besok, ketika ia akan mengakhiri semuanya, tak ada lagi air mata tersisa untuk dikeluarkan.
Revan menggenggam tangan Neira dan mencoba menguatkannya. Lalu tangan yang satu lang merangkul Neira untuk tenggelam dalam pelukannya.
-o0o-
“Ram, gue mau ngomong sama lo.” Neira menghampiri meja Rama dan mengucapkan kata-kata itu.
“Yaudah, ngomong aja kali, Ra.” ujar Rama santai.
“Tapi nggak disini. Di belakang sekolah.”
“Sekarang?” tanya Rama.
“Ya sekaranglah, masa besok.” jawab Neira, lalu menggandeng Rama menuju ke belakang sekolah.
“Mau ngomong apa sih?” tanya Rama ketika mereka sampai.
“Gue mau ngomong ini, mungkin untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”
Rama diam. Memberi kesempatan Neira melanjutkan ucapannya.
“Sejak pertama kali kita bertemu, gue…” Neira mulai terbata. “Gue suka sama lo!” teriaknya. “Gue jatuh cinta sama lo.” ujar Neira sambil menunduk.
“Oh ya?” Rama tersenyum memamerkan giginya. “Kalau gitu, lo mau nggak jadi pacar gue?” tanya Rama.
Saat ini Neira benar-benar hampir goyah. Jadi pacar Rama adalah hal yang paling diinginkannya sejak dulu sekali. Tapi, sekarang ketika kesempatan itu terbuka lebar haruskah ia…
“Maaf, Neira nggak bisa jadi pacar lo?” sahut sebuah suara dari belakang Neira.
Neira berbalik. “Revan?”
“Heh, banci! Nggak usah ikut campur deh. Emangnya Neira punya alasan untuk nolak gue?” tanya Rama percaya diri.
“Sangat banyak.” jawab Revan santai. Lalu dia melanjutkan. “Alasan pertama, lo suka mainin cewek, salah satunya adik gue.”
“Adik lo?” Rama terlihat bingung.
“Prita adik gue.” wajah Rama langsung pucat.
“Alasan kedua,” kali ini Neira langsung yang berbicara. “Lo suka pergi ke diskotek, terus lo suka minum-minuman keras, terus lo pecandu.” mendengar kata terakhir itu, Rama langsung mencekik Neira dan merogoh pisau lipat di saku celananya. Dia lalu menarik Neira mendekat.
“Lo maju selangkah aja, gue akan bunuh dia!” ancam Rama.
Neira nyaris menangis. Tapi herannya, Revan tersenyum sumringah. Dan penyebabnya…
Grepp!! Rama disergap dari belakang oleh dua orang polisi dan Neira bebas. Refleks, ia langsung berhambur ke pelukan Revan.
“Saudara Rama, anda ditahan atas tuduhan keterkaitan jaringan narkotika dan percobaan pembunuhan.” ujar salah satu polisi yang menyergap Rama dengan suara sangar.
Rama tak bersuara sedikitpun wajahnya pucat pasi. Dia digiring dengan tangan diborgol oleh dua orang polisi yang tadi.
Neira masih memeluk Revan erat sambil menangis, dan Revan balik memeluknya. Tak peduli meski nanti bajunya terendam oleh airmata Neira.
-o0o-
Sebulan kemudian…
Neira keluar dari ruang sidang sebagai saksi. Orangtua Rama mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang telah Rama lakukan terhadapnya.
Dan sebagai seorang pengacara, ayah Rama berusaha memperingan hukuman bagi anaknya, meski ia sama sekali tak menolak anaknya dihukun.
Ia sangat menyadari dampak kesibukannya dan istrinya hingga tak sempat memperhatikan Rama. Apalagi selama ini ia terlalu memanjakan Rama.
Persidangan Rama akan jadi persidangaan yang cukup panjang karena pihak terdakwa benar-benar berupaya untuk memperingan hukuman Rama.
Neira juga sejujurnya merasa tak tega melihat Rama terkurung dalam jeruji besi. Tapi, mau bagaimana lagi. Itu adalah konsekuensi dari perbuatannya.
Selain Neira, Revan juga diundang sebagai saksi. Dan saat ini, mereka tengah berjalan beriringan keluar dari Gedung Pengadilan.
Sepanjang jalan itu mereka berbincang-bincang.
“Mungkin ini yang terbaik ya, Ra.” Revan mengawali pembicaraan.
“Ya, dengan begini, kita jadi bisa banyak belajar dari pengalaman. Terutama orang tua Rama.” sahut Neira.
“Ya, semoga setelah suatu saat nanti Rama keluar dari penjara, dia akan menjadi manusia yang lebih baik dan berubah.”
“Ya, gue juga jadi banyak belajar. Ternyata selama gue jadi sahabatnya Rama, gue belum mengenalnya dengan baik. Masih banyak sisi dirinya yang nggak gue tau. Malah lo, yang baru sebentar banget kenal sama dia, bisa buka sisi gelapnya dengan sukses. Iri gue sama lo.”
Revan tersenyum tipis. “Ya, gue fikir ini juga bagus buaat lo sih.”
“Bagus apa?” tanya Neira.
“Yah, dengan nggak adanya Rama, kayaknya lo akan jauh lebih mudah untuk melupakan dia.” ujar Revan.
“Sebenarnya nggak ngaruh juga sih. Sekarangpun, perasaan gue ke Rama udah nggak kayak dulu. Kali ini gue murni sayang sebagai temen.”
“Berarti, lo udah siap membuka hati lo dong?” tanya Revan.
“Emang harus ya? Gue rasa, gue jauh lebih nyaman kayak gini.”
“Hidup kita nggak akan terasa berwarna kalau nggak ada cinta.” komentar Revan.
“Huh, cinta ya?” remeh Neira. “Gue setuju kok sama Holmes, cinta itu adalah sesuatu yang emosional dan segala sesuatu yang emosional itu bertentangan dengan logika.”
“Emang cinta butuh logika?” tanya Revan sambil menarik tangan Neira untuk berbelok di sebuah taman. “Lagipula,” lanjutnya, “Holmes bukan orang yang tak pernah tertarik pada seorang wanita. Bahkan, beliau tak bisa memungkiri kekagumannya pada Iryn Adler, satu-satunya wanita yang diakui Holmes. Dan, sampai sekarang, tak ada yang bisa membuktikan bahwa manusia bisa hidup tanpa cinta.”
Mereka berhenti di sebuah kursi dan duduk berdampingan.
“Gue juga percaya kata-kata Minerva Glass, kalau…”
“Cinta itu nol.” Revan memotong ucapan Neira. “Selama apapun waktu yang terbuang untuk angka nol hanya akan sia-sia, dan sebanyak apapun kau menambahkannya, tak akan pernah bertambah.”
Neira terpaku.
“Ayolah, Ra. Cinta itu memang nol. Tapi, lo nggak boleh lupa kata-kata Shinichi, nol adalah awal mula dari suatu keberhasilan. Tanpa angka nol, tak akan ada kesuksesan. Lo jangan nerima persepsi itu setengah-setengah.” ujar Revan.
“Lo baca juga?” tanya Neira.
Revan mengangguk. “Gue suka banget Detektif Conan. Lo fikir darimana ide gue untuk ngikutin Rama dari jauh? Tentu aja dari komik itu.” Revan menghela nafas. “Dan, Neira. Angka nol itu nggak akan jadi permulaan keberhasilan tanpa diungkapkan. Jadi yang paling penting, ketika lo jatuh cinta sama seseorang, coba lo ungkapkan. Perasaan yang lo pendam itu cuma akan bikin lo tambah sakit hati, dan lo bisa aja frustasi sampai bunuh diri.”
Neira terdiam. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum sambil berkata, “kalau gitu gue bakal ungkapin deh.”
Revan menoleh.
“Van,” panggil Neira. “Kalau cinta itu nol dan nol adalah awal keberhasilan, mau nggak lo mengawali semua keberhasilan itu sama gue?”
Revan mengangguk, “ini tau yang gue tungguin dari tadi.” sahut Revan sambil tersenyum dan merangkul Neira.

Mulai saat ini, ia berjanji, tak akan lagi menjadikan perasaannya menjadi Unrequited Love--- cinta tak terungkap.

Jakarta
28 April 2011