Great Detective (Chapter 3)
15.55.00
Naomi memasukkan surat
ke dalam tasnya.
Tiga minggu berlalu sejak Naomi pertama kali datang ke
kantor pusat FBI. Kemarin, Naomi mendapat telepon dari Pak James yang
memberitahukan kalau ia akan diterima menjadi agen FBI, apabila mendapat
persetujuan dari orang tua angkatnya. Karena itu, hari ini Naomi pergi lagi ke
kantor itu untuk mengambil surat
persetujuan orang tua yang sekarang berada dalam tasnya.
Ia mendesah pelan. Menebak-nebak apa reaksi kedua orang
tuanya bila tahu putri mereka menantang bahaya dengan menjadi agen Federal
Bureau of Investigations. Organisasi yang selalu berurusan dengan para penjahat
kelas dunia.
Begitu tersadar dari lamunannya, Naomi sudah berada di depan
pintu rumahnya. Naomi menarik nafas panjang. Ia harus mempersiapkan diri
menghadapi orangtuanya, terutama ibunya.
Ning… Nong…
Naomi memencet bel dengan lemas.
Srreett… Pintu terbuka.
Seseorang yang tak asing lagi bagi Naomi menyembulkan
kepalanya. Ia menyambut Naomi dengan wajah tersenyum. “Dari mana saja, Naomi? Ada kasus?” tanya wanita
itu.
Naomi menggeleng sambil melenggang masuk ke dalam rumahnya.
“Tidak, Bu. Aku hanya jalan-jalan. Sudah tiga minggu terakhir tidak ada kasus
yang harus kuselesaikan. Ayah mana, Bu?” tanya Naomi pada ibunya, Yukiko.
“Ayahmu? Dia mungkin sedang berusaha menyelesaikan novel
terbarunya di ruang kerja.” jawab Yukiko sambil menyalakan Televisi dan
menonton acara favoritnya.
Naomi mengacuhkan Yukiko yang makin serius menyaksikan acara
teater di televisi. Ia langsung menuju ruang kerja tempat ayahnya berada.
Tok… Tok… Tok…
Naomi mengetuk pintu perlahan.
“Masuk!” terdengar sahutan dari dalam ruangan.
Naomi membuka pintu dan melangkah memasuki ruangan yang
cukup luas itu.
Yusaku mendongakkan kepalanya. Mencoba mengalihkan perhatian
dari hal yang sedang dikerjakannya saat ini. Ia menatap wajah putrinya dan
berkata “Ada
apa, Naomi? Kau terlihat gelisah…”
Naomi menatap mata ayahnya sejenak. Lalu berkata, “Aku ingin
meminta izin ayah.” jawab Naomi to the point. Ia merasa tidak akan sanggup
menutupi hal apapun dari ayahnya. Karena, setiap ia berusaha berbohong, ayahnya
pasti lebih tahu kebohongannya. Mungkin itulah yang dinamakan naluri tajam
detektif.
Yusaku mematikan komputernya dan memperhatikan Naomi
sepenuhnya. Itulah yang paling Naomi suka dari ayahnya. Yusaku tidak pernah
cerewet dan selalu bersedia mendengarkan perkataan Naomi. Sekalipun belum tahu
apakah hal itu cukup penting atau tidak. (A/N : kalau bapak-bapak cerewet, apa
kata dunia??)
“Aku ingin meminta izin ayah untuk…” Naomi tergagap.
“Untuk?”
“Untuk…”
Yusaku masih tetap diam. Memberi waktu pada Naomi untuk
menenangkan diri.
“Untuk menjadi agen FBI…”
“…”
“…”
“…”
Hening. Tak ada suara apapun sampai…
“Tidak boleh!” pintu terbuka, Yukiko Kudo muncul dengan
seruan yang hampir bisa digolongkan teriakkan. “Itu berbahaya!” tambahnya lagi.
Naomi tetap diam. Ia tahu reaksi ibunya pasti akan seperti
ini. Sebelum Naomi membuka suara, Yusaku berujar, “Sudahlah, Yukiko! Lebih baik
kita mendengar dulu alasan Naomi sampai berani mengambil keputusan berbahaya
ini!” Yusaku meredam ketegangan itu dengan matanya yang menyiratkan kedamaian.
Ia lalu menoleh pada putrinya, “Apa alasanmu, Naomi?”
Naomi menjawab dengan yakin dan mantap. “Aku ingin
mengungkap siapa yang berniat membunuh ayah kandungku. Siapa yang membakar
rumahku. Dan, aku ingin melanjutkan tekad ayahku untuk memberantas kelompok
berbaju hitam yang sangat berbahaya.”
“Tapi Naomi, ayah kandungmu kecelakaan pesawat…” sergah
Yukiko.
“Iya, memang.”
“Lalu, maksudmu ada seseorang yang sengaja membuat pesawat
itu terjatuh?” Yukiko masih mencoba membantah alasan Naomi. Sementara Yusaku,
diam dan mengawasi adu mulut diantara dua wanita dihadapannya.
“Kalaupun seandainya pesawat itu selamat, ayahku pasti akan
terbunuh dengan cara lain. Aku yakin akan hal itu setelah membaca semua file
yang ada di fashdisk ini…” Naomi menunjukkan bandul kalungnya.
“Ibu, Ayah, flashdisk ini berisi semua data tentang
organisasi tersebut. Hasil penyelidikkan ayah kandungku. Dan, aku sadar apa
alasan sebenarnya rumahku dibakar. Karena sang pembakar bermaksud memusnahkan
seluruh file yang telah dikumpulkan Ayah Ken sebagai agen FBI. Tak mereka
sangka, justru file itu sudah lebih dulu ku selamatkan.”
“Selamatkan?” Yusaku buka suara.
“Ya, apa ayah dan ibu ingat saat hari pertama kalian
mengadopsiku? Aku berkunjung ke rumah dulu, ‘kan ? Saat itu aku menemukan flashdisk ini di
meja kamar tidur Ayah Ken dan Ibu Keyko, kupikir benda ini akan menjadi
satu-satunya peninggalan ayah dan ibu kandungku yang akan selalu melekat pada
diriku.”
Naomi menghela nafas. “Aku baru menyadari betapa pentingnya
flashdisk ini saat dua tahun yang lalu aku membuka isinya menggunakan komputer
Ayah. Ternyata isinya adalah data-data tentang organisasi itu. Saat itu aku
bertekad, jika suatu saat nanti aku bertemu dengan orang yang mempunyai tujuan
sama dengan Ayah Ken, sebisa mungkin aku akan ikut. Walaupun aku tahu hal itu
cukup berbahaya.”
“Bukan hanya ‘cukup’ berbahaya, Naomi. Tapi ‘sangat amat’
berbahaya. Kau tidak akan pernah tahu hal kejam apa yang bisa mereka lakukan
terhadapmu.” kali ini Yukiko memberi pengertian dengan nada lembut.
“Aku memahaminya, Ibu, Ayah. Aku tahu konsekuensi apa yang
harus kutanggung jika aku mengambil keputusan ini. Aku juga sudah memikirkan
baik-baik. Aku bertekad untuk menjadi agen terselubung.”
Mata Yusaku dan Yukiko melebar. “Terselubung??” ucap mereka
hampir bersamaan.
“Ya. Aku akan menutupi identitas asliku di hadapan mereka.
Aku akan menjadi sosok misterius. Agen yang bersembunyi di balik topeng.
Seperti Kaito Kid, Ayah.” Naomi membujuk.
“Kau tahu desas-desus tentang Kaito Kid, Naomi?” tanya
Yusaku. Yukiko hanya diam dan tak berkomentar apapun.
Naomi mengangguk lemah. Ia mengetahui semua berita tentang
Kaito Kid. Karena, sebagai seorang detektif ia sangat berusaha mengungkap
identitas pencuri itu. Dan desas-desusnya, Kid… “Menurut kabar, Kaito Kid
dibunuh…” Naomi berkata sambil menundukkan kepala.
“Tepat.” Yusaku berkata tegas. “Apa kau siap berakhir
seperti itu? Bukan mustahil kalau orang yang membunuh Kaito Kid berasal dari
organisasi yang ingin kau selidiki itu.”
Lagi-lagi Naomi mengangguk. Kali ini dengan mantap. “Aku
siap, Ayah. Aku bukan tipe orang yang plin-plan dalam mengambil keputusan. Aku
bukan pengecut. Aku bertekad menegakkan kebenaran, dan tekadku bukan tekad yang
akan sirna karena ketakutan yang berlebihan. Aku tak akan pernah menakutkan
hal-hal yang belum tentu akan terjadi.” matanya menatap tajam mata Yusaku dan
Yukiko secara bergantian.
“Hmm…” Yusaku manggut-manggut sambil bergumam tak jelas.
“Kau memang pantas jadi anakku.” ujar Yusaku sambil menepuk
bahu Naomi. Seulas senyum terkembang di bibir Naomi. Naomi tahu, kalau ayahnya
sudah berkata begitu tandanya…
“Kemarikan suratnya!” perintah Yusaku.
Yusaku membaca surat
itu dengan cermat dan teliti. Tak melewatkan satu hurufpun. Ia lalu mengambil
pulpen dan menandatangani surat
itu.
Yukiko protes. “Ayah! Anak kita akan berada dal;am bahaya!”
Naomi menunduk pasrah. Ibunya memang agak sulit dibujuk.
Yusaku meraih tangan Yukiko seolah meyakinkan. “Aku percaya
pada Naomi. Kalau kau benar-benar menyayanginya, percayalah padanya dan biarkan
ia menggapai tekadnya.” kata Yusaku.
Mata Yukiko masih menyiratkan ketidak setujuannya.
“Kenichi dan Keyko pasti akan sangat bangga padanya. Jangan
halangi dia, Yukiko.” Yusaku kembali meyakinkan.
“…”
“…”
Diam. Tak ada suara. Seakan memberi waktu pada Yukiko untuk
berpikir.
“Baiklah!” Yukiko memecah keheningan. “Aku akan
mengizinkanmu, putriku. Dengan catatan, kau harus benar-benar menjaga dirimu.”
Ia mengambil pulpen dan menandatangani surat
yang dibawa Naomi.
“Tenanglah, Ibu, Ayah. Aku akan menjaga diriku.” Naomi
berjanji dengan sungguh-sungguh.
Yukiko meletakkan surat
itu di meja kerja Yusaku. Ia lalu mulai bicara, “Apa kau akan menggunakan
keahlianmu itu?”
Dahi Naomi berkerut. “Keahlian?”
“Ya, keahlian yang kau pelajari dari guruku. Pesulap itu.”
“Oh, Kuroba-sensei. Ya, mungkin aku akan menggunakannya. Aku
juga akan menggunakan keahlian yang ibu ajarkan.”
Sementara dua wanita itu mulai mengobrol, Yusaku kembali
menyalakan komputernya dan berkutat dengan novel yang hendak dirampungkannya.
“Keahlian yang mana?” tanya Yukiko. Terlalu banyak hal yang
ia ajarkan kepada Naomi. Ia ingin mengalihkan perhatian Naomi dari kesedihannya
dengan cara membuatnya sibuk. Tak hanya sekolah, tapi juga les-les diluar
sekolah. Dari klub karate, les piano, klub sulap, dan kegiatan lainnya. Bahkan,
ia juga mengajarkan Naomi akting. Tapi, sayangnya Naomi tak berminat.
“Menyamar…” jawab Naomi sambil melemparkan senyuman dingin.
“Oh, itu. Tapi, kurasa kau bahkan lebih handal dariku,
Naomi.” ujar Yukiko masih tetap dengan gayanya yang centil.
“Ya, tentu saja.” Naomi menjawab menirukan suara Yukiko.
Sangat mirip.
“Tuh kan .
Kau bisa meniru suara orang lain tanpa alat. Kau lebih hebat, Naomi.”
“Ya. Dan berbeda dari ibu, aku bisa menyamar dengan sekejap
mata. Seperti ini…” sosok Naomi menghilang. Dan dari tempatnya berdiri, tampak
seorang remaja laki-laki seusia Naomi. Shinichi Kudo.
“Ah, ya! Kapan terakhir kau bertemu Shinichi?” tanya Yukiko
santai. Ia sudah terbiasa melihat penyamaran sekejap Naomi, jadi ia tidak
terlalu kagum.
“Entahlah, Bu! Aku merindukannya.” Shinichi Kudo itu
berbicara dengan nada suara Naomi.
“Naomi, jangan bertindak seolah-olah putraku itu wanita! Aku
agak… geli dan merasa aneh!” Yusaku memotong obrolan ibu dan anak itu.
“Hahahahaha…” Yukiko dan Naomi sontak tertawa.
*
“Huh, jadi juga akhirnya…” Naomi menarik nafas lega.
Dipandanginya kostum yang baru saja ia rampungkan. Kostum
itu berupa legging hitam panjang yang dilapis dengan anti peluru dan pelindung
lutut, kaus berwarnya putih berbahan menyerap keringat, jaket anti peluru hitam
yang dirangkap D-pad (yang ia minta dari FBI), sebuah topeng hitam putih yang
menutupi wajah bagian sekitar mata dan hidung.
Naomi coba memakai baju itu. Agak panas memang. Tapi, jika
dipakai pada malam hari mungkin akan biasa saja. Rambut hitamnya yang agak
keriting dan panjang sepinggang dia ikat ke atas.
Perlahan ia pandangi sosok dirinya di cermin. Keren. Itu
kata pertama yang terlintas di benaknya.
“Sekarang, aku tinggal memperbanyak jumlah” gumamnya
perlahan.
saat ini, Naomi benar-benar siap. Ia siap 100% untuk
melindungi identitasnya. Untuk menjaga agar dirinya tidak ketahuan, Naomi telah
menyiapkan sebuah topeng penyamaran yang akan dikenakannya. Topeng dengan wajah
Keyko Nagishi…
*
“Naomi, kau harus dilatih dulu!”
“Maksudnya? Aku belum bisa ikut beroperasi?”
“Yap tepat. Aku bilang kau berbakat jadi sniper bukan
berarti kau telah menjadi sniper handal. Tembakanmu itu belum tepat 100%. Kau
harus dilatih agar tembakanmu tidak ada kemungkinan meleset. Sempurna.”
Naomi dan Akai berdebat di Room J kantor pusat FBI. Naomi
memaksa ikut dalam penjebakan organisasi hitam yang akan dilaksanakan besok
malam. Tapi, Akai berpendapat seharusnya Naomi lebih sabar dan mau dilatih agar
tembakannya tak ada satupun yang meleset.
“Baiklah Akai-sensei. Latihlah aku!” Naomi menyerah.
“Oke. Aku akan melatihmu. Tapi mungkin tak akan lama. Sebab,
sebentar lagi aku akan menyelam, Naomi!”
“Lalu, siapa yang akan melatihku kalau bukan kau?”
“Ada
sniper yang lainnya. Mereka juga cukup hebat.”
“Tapi, kurasa kau yang paling hebat. Dan yang nantinya akan
menembakkan silver bullet tepat di jantung boss organisasi itu.”
“Semoga…”
Mereka kembali diam. Dan terhanyut dalam pikiran
masing-masing.
“Naomi!” Akai lebih dulu memanggil.
“Hm?”
“Panggil aku Shuichi saja.”
“Tapi, itu kan
tidak sopan.”
“Ya sudah, panggil aku Kak Shuichi.”
Naomi diam. Pintu tiba-tiba terbuka.
“Dan aku Kak Jodie.” Jodie Starling tiba-tiba menyeruak
masuk. Naomi agak terkejut, tapi hanya sejenak.
“Mmm… Baiklah Kak Jodie, Kak Shuichi…” jawab Naomi dengan
senyum termanisnya.
To Be Continued…
Chapter 4 Dibalik
kisah Golden Apple
Sudah lebih dari
setahun sejak Naomi resmi menjadi agen FBI dan mendapatkan pelatihan khusus
sniper. Sejak menjadi agen, Naomi jarang pulang ke rumah. Mungkin hanya tiga
hari sekali. Sekadar untuk mengganti pakaian. Suatu hari, Naomi telah
dibolehkan bertugas sebagai Sniper Hare. Hari pertama tugas, Naomi langsung
dihadapkan dengan baku
tembak dibalik teater Golden Apple…
0 Comments