Bukan Pertanyaan
16.54.00
Pagi itu, aku melangkahkan kakiku perlahan ke dalam kelas
dan mengambil kursi paling belakang
seperti biasanya. Hanya saja kali ini dengan alasan berbeda. Kalau biasanya aku
mengambil tempat itu karena tidak ingin diketahui guru saat curi-curi
mendengarkan musik lewat headset yang
kuselipkan dibalik jilbab, maka hari ini aku melakukannya karena menghindari
teman-temanku. Yah, bukan contoh yang
baik memang, tapi hal itu membantuku lebih efisien dalam mengerjakan soal yang
ditugaskan. Tentu saja aku tidak menggunakannya saat guru menerangkan. Aku
masih punya sopan santun.
Kuturunkan sedikit masker yang menutupi wajahku. Benda ini
membuatku semakin sulit bernapas. Padahal masalah yang menimpaku bertubi-tubi
beberapa minggu terakhir sudah cukup untuk membuatku sesak napas.
Teman-temanku menatapku. Kentara sekali kalau mereka ingin
bertanya tentang penyakitku dan desas-desus lain tentangku. Ini yang aku tidak
suka dari sekolah berasrama, saat kamu hilang beberapa hari saja, maka seisi
sekolah akan tahu. Padahal aku tidak suka jika orang lain tau.
Aku mengabaikan tatapan mereka. Sesuatu yang sebenarnya
tidak sulit mengingat aku sudah menghindari tatapan semacam itu sejak dua hari
yang lalu saat aku baru tiba di asrama. Aku hanya perlu melakukannya lagi. Guru
matematikaku masuk ke kelas.
Aku menarik napas lega sampai aku mendengar beliau bertanya,
"Ria, apa kamu sudah sehat?"
Aku mengangguk dan berkata, "Sudah baikan, Bu. Alhamdulillah."
"Kenapa kamu masih pakai masker?"
Ah, haruskah
masker ini dipertanyakan?
"Oh, ini Bu? Dokter bilang saya harus menghindari
polusi udara dan debu, Bu. Jadi, saya masih pakai masker ini."
Bohong!
Masker ini bukan untuk melindungiku, tapi untuk melindungi
orang-orang di sekelilingku dari bakteri yang kubawa. Aku akan mengotori
mereka. Aku polutannya.
"Oh, begitu. Ya sudah. Kamu cepat sehat ya!"
Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meraih buku catatanku
dan menyimak materi yang disampaikan.
-o0o-
Siang itu aku menunggu sampai kelas benar-benar sepi sebelum
melangkah keluar dari kelas menuju masjid untuk sholat dzuhur. Petugas
kedisiplinan sudah sejak tadi selesai menyisir koridor dan memintaku keluar
dari ruangan.Tapi, aku masih menghindari semua orang. Belum siap bercerita
tentang apa yang menimpaku akhir-akhir ini.
Beberapa temanku masih mencoba bertanya saat aku tiba di
masjid.
"Kenapa pake masker, Ri?" tanya seseorang.
"Sakit apa sih? Lama banget pulangnya,” tanya orang
disebelahnya.
"Katanya kamu mau diisolasi dari asrama ya, Ri?"
tanya yang lain lagi.
Terus dan terus pertanyaan itu diulang. Tidakkah mereka
sadar aku belum juga menjawabnya karena aku belum siap? Tidak bisakah mereka
memahami dan berhenti bertanya?
"Aku nggak kenapa-kenapa kok," sahutku sambil
menyunggingkan senyum sebisa mungkin.
Lagi-lagi aku berbohong.
Aku sakit. Penyakit menular dan ganas yang menyebabkan aku
harus diisolasi dari asrama. Aku telah dipindahkan ke kamar terpisah yang
berada di gedung asrama guru. Aku tidak bisa tinggal satu kamar dengan siapapun
karena aku akan menulari orang-orang itu bahkan walaupun aku tidak melakukan
hal selain bernapas. Bakteri itu akan menular melalui udara. Jika pertahanan
tubuh mereka tidak cukup bagus maka mereka akan sakit seperti aku.
Mereka bertanya dengan begitu ringannya seakan-akan itu
adalah pertanyaan yang sangat mudah kujawab. Padahal tidak setiap hari kamu
diberitahu bahwa kamu menderita suatu penyakit yang sangat mudah menular dan
salah sedikit kamu akan menulari teman-temanmu dengan penyakit itu.
Siang itu setelah sholat dzuhur, aku tidak kembali ke kelas.
Aku meminta izin kepada perawat klinik untuk beristirahat disana. Aku bilang
padanya bahwa kepalaku pusing. Perawat mempersilahkan aku untuk beristirahat
dan berkata bahwa sangat wajar jika kepalaku pusing karena aku baru mulai
mengonsumsi obat dengan efek samping cukup berat untuk tubuh. Mungkin perawat
itu ada benarnya, tapi menurutku alasan sebenarnya adalah karena aku terlalu
lelah menanggapi pertanyaan teman-temanku. Hanya itu.
-o0o-
Sorenya, aku kembali ke kamarku di gedung asrama guru.
Setelah membersihkan diri, aku duduk di tepi tempat tidur dan membaca
Al-Qur’an. Mencoba mencari ketenangan hati dengan ayat-ayatNya. Aku tidak
berangkat ke masjid saat azan maghrib berkumandang. Hanya menghabiskan waktu di
kamar itu dengan merenung dan berdoa.
Ingin sekali rasanya aku menangis, tapi entah mengapa mata
ini sulit sekali berair. Mungkin karena sudah terlalu lama mendoktrin diri
bahwa menangis adalah tindakan orang-orang lemah. Padahal, saat ini rasanya
akan sangat lega jika bisa menangis.
Beberapa saat setelah sholat isya, aku mendengar pintu
kamarku diketuk dan salam terdengar setelahnya. Segera kubuka pintu kamarku dan
kutemukan Izah, sahabatku, di balik pintu.
“Ri, aku boleh masuk?” tanyanya lembut.
Aku mengangguk dan mempersilahkan dia masuk. Tubuh kecilnya
memasuki kamarku dan duduk di atas karpet yang kugelar. Kurapihkan sajadah dan
alat sholatku, lalu kusuguhkan makanan yang kumiliki. Setelah itu, aku ikut
duduk bersamanya.
“Ada apa, Zah?” tanyaku. Aku sudah bersiap-siap untuk
mendengar pertanyaan lagi dan menjawabnya dengan jawabanku yang biasa. Tapi,
apa yang dilakukan Izah benar-benar diluar perkiraanku.
Izah tersenyum tulus. “Aku nggak akan tanya apa-apa, Ri.
Kalau kamu mau menangis, menangislah. Menangis itu bagian dari hidup, bukan
ciri orang lemah.”
Aku menatap wajahnya. Ia tersenyum sambil menepuk-nepuk
pundakku pelan. “Apa boleh aku menangis?”
“Kenapa nggak
boleh, Ri? Pasti kamu akan lega setelah menangis,” ujar Izah.
Dan akhirnya tangisku pecah.
Aku memeluknya erat dan menumpahkan semuanya, air mataku dan
bebanku. Semua ceritaku mengalir begitu saja tanpa bisa kutahan. Malam itu air
mataku tidak berhenti mengalir untuk waktu yang cukup panjang, membasahi jilbab
biru yang dikenakan oleh Izah.
Sepanjang aku bercerita, Izah tersenyum sambil terus
menepuk-nepuk pundakku seakan terus menguatkanku untuk melalui semuanya. Tidak
ada kata-kata yang keluar darinya. Ia hanya mendengarkan.
Setelah ceritaku usai dan tangisku mereda, aku merasakan
kelegaan yang luar biasa. Benar apa yang Izah katakan. Menangis itu sungguh
melegakan. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari kembali kesini, aku
tersenyum karena aku memang ingin tersenyum, bukan untuk menutupi kesedihan.
Aku sadar, untuk bisa tersenyum ringan, yang kubutuhkan hanyalah
senyuman tulus seperti yang Izah berikan, bukan pertanyaan.
Bandung
14 April 2015
0 Comments