Fifteen
16.16.00
Ran berjalan
bolak-balik dalam kantor detektif Kogoro Mouri. Wajahnya tampak gelisah dan dia
sepertinya sedang kebingungan.
Conan menatap Ran
sambil berpikir dengan wajah konyol. Apa
sih yang dia pikirkan? bocah itu bertanya dalam hati. Tadi, dia sudah coba
menanyakannya pada Ran. Namun, Ran hanya menjawab “tak ada apa-apa” sambil
memasang senyum yang dibuat-buat. Tak ketinggalan dengan wajah semerah tomat.
Jadi, bocah yang
sebenarnya pemuda tampan itu tak bertanya lagi. Hanya mencoba menerka-nerka
sendiri.
Kantor detektif
saat ini benar-benar kosong. Kogoro tak ada di rumah, melainkan di Poirot. Om
genit itu disuruh makan diluar oleh Ran ke Poirot karena sejak tadi pagi, gadis
itu belum masak. Sedangkan Conan, baru saja kembali dari menginap di rumah
Professor Agasa.
Sedang asyiknya
dia berpikir dalam kesunyian, tiba-tiba Ran berseru, “Conan!”
Conan menoleh
pada Ran dengan wajah polosnya. “Ada apa kak?” tanyanya.
“Emm.. Begini..
Itu..” gadis itu bergumam tak jelas. Conan masih sabar menunggu.
“Maksudku itu... Jadi...”
Ran masih terbata. Wajahnya kembali memerah dan kepalanya menunduk.
“Kenapa kak?”
tanya Conan lagi. Tak sabar, karena Ran tak juga bicara lancar.
“Kalau kau
Shinichi,” Conan menaruh perhatiannya penuh sambil berbicara dalam hati, sudah kuduga, dia pasti memikirkanku..
“kado apa yang ingin kau minta dariku?”
Hah? Kado? Conan terkejut mendengarnya. Lalu, dia
mengingat-ngingat. Ah, ya! Benar juga.
Ini kan tanggal 3 Mei, dan besok sepertinya hari ulang tahunku.
“Eh?” sahut Conan
pura-pura kaget. “Memangnya, Kak Shinichi ulang tahun?”
Ran mengangguk
tanpa mengangkat kepalanya. Sepertinya, wajahnya masih merah.
Conan
menimbang-nimbang sejenak sebelum memberikan jawaban. Apa ya, hadiah yang dia
minta dari Ran? Sangat banyak hal yang dia inginkan. Novel terbaru Nintaro
Shinmei, bola sepak baru, merchandise Sherlock Holmes di toko depan stasiun,
dan banyak barang lainnya.
Walaupun
sebenarnya, hal yang paling dia inginkan adalah segera kembali ke wujud semula,
menghancurkan organisasi hitam, dan melihat senyuman di wajah Ran. Tapi, dia
kan tak mungkin meminta itu pada Ran.
“Conan?” Ran
memanggil Conan karena anak itu tak juga menjawab pertanyaannya.
“Eh?” Conan
mendongak menatap Ran.
“Apa Conan?”
paksa Ran pada Conan. Kali ini, gadis itu menatap wajah Conan, sehingga rona di
wajahnya terlihat jelas.
“Mungkin,” Conan
mulai menjawab, “kalau aku jadi Kak Ran, aku akan menanyakannya langsung pada
Kak Shinichi.”
Ran terdiam
sejenak mendengar jawaban Conan. Tapi benar juga sih, seharusnya dia memang
menanyakan itu pada Shinichi. Tapi, ponsel pemikir bodoh itu nonaktif. Tak bisa
ditelepon, selalu mailbox. Bagaimana bisa Ran menghubunginya?
“Kak Ran!”
panggil Conan. Ran menoleh pada anak itu.
“Aku ke rumah
Professor ya? Boleh, ‘kan?” tanya Conan.
Ran mengernyitkan
keningnya, “lagi? Bukankah kau baru menginap disana?”
“Iya, sih. Tapi,
barangku ada yang tertinggal, Kak.” Conan mencoba beralasan.
Ran
menimbang-nimbang sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “baiklah.. Hati-hati ya,
Conan!”
Conan mengangguk
dan segera meninggalkan ruangan itu.
Ran menatap Conan
yang menghilang dibalik pintu. Tak lama kemudian, dia kembali berjalan
bolak-balik. Bingung apa yang harus ia berikan pada Shinichi, dan bagaimana
cara memberikannya.
Matanya berputar
di sekeliling ruang tengah. Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah benda yang
familier.
Benda yang
mebuatnya mau tak mau tersenyum geli, karena mengingat bagaimana dia
mendapatkannya.
Benda itu dia
dapatkan tiga tahun lalu. Ketika itu...
...
Tiga tahun yang lalu...
.
.
“Ran!” panggil Shinichi sambil melambaikan
tangannya ke wajah gadis itu.
Ran terkejut, “ah, iya, kenapa Shin?” gumamnya tak
jelas.
Shinichi mengerutkan kening. Ada apa dengan Ran
hari ini?
Tadi pagi, gadis itu datang kerumahnya dengan
senyum mengembang. Saat dia tanya kenapa, Ran malah memelototinya dengan seruan
kencang, “Astaga! Apa kau melupakannya, Shin?”
Setelah dia bertanya lagi apa yang dia lupakan,
Ran malah diam. Tidak berbicara sama sekali, dan wajahnya tampak murung. Apakah
yang Shinichi lupakan adalah hal yang penting untuk Ran?
“Kau ini kenapa sih sebenarnya? Tadi pagi
senyum-senyum tak jelas, tapi tiba-tiba jadi murung begitu tau aku melupakan
sesuatu,” keluh Shinichi.
“Kau benar-benar tak ingat ini hari apa?” tanya
Ran dengan sedikit berharap Shinichi mengingat hari apa itu.
Shinichi terdiam. Dia mulai beranalisis dalam
pikirannya. Kalau pagi tadi Ran begitu senang, tapi jadi murung begitu tahu aku
melupakan sesuatu, dan sesuatu itu berhubungan dengan hari. Mungkin saja itu...
“Aku ingat!” seru Shinichi bersemangat.
Ran memasang wajah ceria. “Benarkah?” tanyanya
meyakinkan.
Shinichi mengangguk dengan bersemangat. “Bagaimana
kalau kita merayakannya?” usul Shinichi.
Ran terlihat bingung. Sejak kapan Shinichi
bersemangat merayakan hari semacam ini? Biasanya dia hanya melewatinya seakan
ini bukan hari spesial. Tapi, mungkin saja Shinichi sudah berubah. Dan
lagipula, hari ini memang harus dirayakan, karena Shin berhutang sesuatu
padanya. Jadi, Ran mengangguk tak kalah semangat.
“Oke, kalau begitu... Bagaimana kalau kita pergi
malam ini ke restoran sushi di depan kantor pos blok 5. Kudengar disana
sushi-nya enak,” kata Shinichi.
“Ehmm, baiklah Shin,” jawab Ran sambil menundukkan
kepalanya. Mencegah agar Shinichi tak melihat rona merah di wajahnya.
“Oke, Ran. Aku akan menjemputmu jam tujuh tepat ya!”
“Oke, Ran. Aku akan menjemputmu jam tujuh tepat ya!”
.
.
.
.
“Dandanmu lama sekali, sih!” Shinichi meledek Ran
dengan tampang geli.
Saat ini mereka berdua sedang berjalan ke restoran
sushi depan kantor pos. Jarak tempat itu dari rumah Ran tak terlalu jauh, jadi
mereka berjalan kaki untuk menuju kesana.
“Diam kau!” omel Ran kesal dan jengkel.
Shinichi semakin geli menatap wajah Ran yang
sedang kesal. “Lagipula, benda apa itu yang kau bawa? Besar sekali. Peralatan
dandanmu ya?” ujarnya kembali meledek, sambil menatap kantong kertas yang
dibawa oleh Ran.
“Tentu saja bukan!” bentak Ran sudah mulai
benar-benar kesal.
Shinichi sadar, sekali lagi dia meledek gadis itu,
mungkin wajahnya akan dijadikan sasaran tendang. Jadi, dia memilih untuk diam,
sampai mereka tiba di depan pintu restoran sushi yang dimaksud. Namanya, Yuri
Sushi.
Ran yang kesal pada Shinichi, masuk duluan ke
restoran itu dan mengambil tempat duduk di sekitar lintasan sushi yang
berputar. Shinichi yang datang setelah Ran, mengambil tempat di sebelahnya.
Restoran itu tampak sepi. Hanya ada beberapa orang
di dalam sana selain mereka. Penerangannya remang-remang. Menimbulkan kesan
agak mewah di restoran sushi ini.
“Kau boleh ambil sushi mana saja yang kau mau,”
ujar Shinichi sambil merangkul bahu Ran dan menepuk-nepuknya perlahan.
Mengalihkan perhatian Ran yang sedang mengedarkan pandangan ke sudut-sudut
tempat ini.
Ran yang awalnya kesal, sekarang memasang tampang
sumringah. “Benarkah?” tanyanya meyakinkan.
“Kenapa sih kau selalu berkata seperti itu setiap
aku ingin menyenangkanmu?” Shinichi sewot.
“Maaf, Holmes. Tapi, jarang sekali kau seperti
ini,” sahut Ran sambil mengangkat tangan kanannya dan membentuk huruf V dengan
jari tengah dan telunjuknya.
Shinichi tak menjawab apa yang Ran katakan. Dia
malah sibuk saling pandang dengan pelayan restoran.
Ran memergokinya. Gadis itu melirik sekilas pada
pelayan yang saling pandang dengan Shinichi. Mendapati bahwa pelayan itu
laki-laki, membuat Ran meringis. Apakah Shinichi itu suka laki-laki? pikirnya
dalam hati sambil tersenyum geli membayangkannya.
“Hei, malah senyum-senyum sendiri,” tegur
Shinichi. Ran menoleh memandang pemuda itu, dan tertawa semakin geli.
“Kenapa sih?” tanya Shinichi. Ran tertawa semakin
geli.
Saat Ran berhasil menguasai dirinya, dia berkata,
“aku melihatmu saling pandang dengan pelayan itu,” Ran menunjuk pelayan tadi,
“dan aku membayangkan, mungkin saja kau suka dengannya. Ehm, maksudku adalah,
kau suka laki-laki.” Ran masih tertawa. Tapi, tawanya teredam ketika...
“Enak saja!” bentak Shinichi. “Kau fikir, untuk
apa aku saling pandang dengan laki-laki itu?”
Ran terdiam. Apa Shinichi benar-benar marah
padanya?
“Tentu saja untuk menyiapkan ini!” Shinichi
melanjutkan. Pemuda itu menjentikkan jarinya ke atas.
Ran bingung. Ini? Ini apa maksudnya?
Tak sampai lima detik, lampu restoran itu padam
dan berganti dengan cahaya lilin yang satu persatu mulai menyala. Lalu, sebuah
nampan berisi kue yang dibawa oleh pelayan -yang tadi saling pandang dengan
Shinichi- menghampiri tempat duduk mereka.
Ran tercengang. Tapi, lebih tercengang lagi ketika
Shinichi meraba saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana.
Kotak itu terbungkus rapi dengan motif bungkusan kupu-kupu biru.
Bersamaan dengan itu, Shinichi menatap Ran, mengulurkan
kotak kecil itu, dan berkata perlahan, “selamat ulang tahun ke lima belas,
Ran!”
Hening.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Di detik ketujuh, tiba-tiba...
“HAHAHAHA!” Ran tertawa terbahak-bahak. Shinichi
dan semua pelayan yang telah menyiapkan pesta kejutan itu untuknya,
terheran-heran. Kenapa gadis itu tertawa?
Ran tertawa tanpa henti selama hampir satu menit.
Tepat ketika lampu restoran kembali dinyalakan, Ran meredakan tawanya.
“Kenapa kau tertawa, Ran?” Shinichi jengkel karena
kejutannya malah ditertawakan.
“Tentu saja aku tertawa, Shin. Karena, INI BUKAN
HARI ULANG TAHUNKU!”
Shinichi terkejut. “Tidak mungkin, Ran! Kalau ini
bukan hari ulang tahunmu, kenapa kau begitu sedih saat aku melupakannya?”
Ran setengah mati menahan tawa. Dia sudah curiga dari
awal kalau Shinichi tidak tahu ini hari apa. Sikapnya begitu mencurigakan.
Biasanya, dia tak pernah berminat untuk merayakan hari seperti ini. Tapi,
bagaimana bisa ada orang yang melupakan hari terpenting untuk dirinya sendiri?
“Aku sedih kau melupakannya, karena kau pernah
berjanji akan mentraktirku jika hari ini datang. INI ADALAH HARI ULANG TAHUNMU,
bodoh!” ujar Ran keras-keras.
Wajah Shinichi memerah menahan malu, karena
tiba-tiba semua orang dalam restoran itu memperhatikannya. Sial, bagaimana dia
bisa melupakan hari ulang tahunnya sendiri?
Ran melihat wajah Shinichi yang memerah. Gadis itu
lalu mengambil sebuah kotak berukuran sedang dari kantong kertas yang dibawanya
sejak tadi. “Selamat ulang tahun ke lima belas, Shinichi!” katanya dengan
senyuman tulus.
Shinichi mengatur emosinya agar rasa malunya tak
diekspresikan secara berlebihan. Lalu, perlahan meraih kotak yang disodorkan
oleh Ran.
Dia menimbangnya sejenak. Enteng sekali. Pantas Ran tidak merasa keberatan membawanya.
Shinichi membukanya dengan sabar. Di dalamnya,
terdapat sebuah topi ala Holmes berwarna coklat. Pemuda itu mengeluarkan topi
itu dari kotaknya, dan meraba-rabanya.
Dia memperhatikan setiap detail dari topi itu, dan
menemukan sesuatu yang unik di bagian kanan bawah topi. Terjahit rapi sebuah
nama di bagian itu. Shinichi Kudo. Begitu tulisannya.
Shinichi memandang Ran yang kini wajahnya memerah.
Dia berusaha mengabaikan rasa malunya. “Ran,” panggilnya, “terima kasih ya!”
ucap Shinichi sambil tersenyum.
“Ya, Shin. Sama-sama!” balas Ran, juga dengan
senyuman manisnya. Pipinya terasa panas, tapi dia mencoba mengabaikannya.
Shinichi mencoba memakai topinya dan menanyakan
pada Ran apakah dia pantas mengenakan topi itu. Ran menjawab bahwa dia sangat
mirip Holmes dengan memakai topi itu.
Di tengah obrolan mereka, Shinichi berkata sesuatu
sambil menatap Ran dengan sungguh-sungguh.
“Ran, meski ini bukan ulang tahunmu, maukah kau
menyimpan ini untukku?” Shinichi menyodorkan kotak kecil yang dibungkus kertas
motif kupu-kupu biru itu pada Ran.
Ran memandang kotak itu sejenak. Namun, akhirnya
mengambil kotak itu sambil mengangguk yakin.
...
Tralala..
Trilili.. Trululu..
Ponsel Ran
berdering lama. Tapi, gadis itu tak mengangkatnya lantaran masih tenggelam
dalam mimpinya.
Namun, di
detik-detik terakhir sebelum deringnya mati, gadis itu berhasil bangun dan
meregangkan ototnya. Meskipun tetap terlambat untuk mengangkat ponsel yang
berdering.
Tangannya refleks
meraih ponsel itu, tepat ketika deringnya mati. Dia melihat jam di ponselnya.
Dan sangat terkejut ketika ponselnya menunjukkan bahwa saat itu adalah tanggal
4 Mei pukul satu dinihari.
Yang dicarinya
pertama kali adalah Conan. Namun, tampaknya anak itu kembali menginap di rumah
Professor Agasa. Sedangkan Ayah, mungkin dia menginap di Poirot.
Ran menghela
nafas panjang, dan menyandarkan kepalanya ke sofa. Rupanya, tadi ia tertidur
dan memimpikan kejadian tiga tahun yang lalu.
Tepat tiga tahun
yang lalu.
Sial, dia belum
membeli kado apapun untuk Shinichi.
Ran memandang
sekeliling. Matanya berhenti pada sebuah kotak kecil yang terbungkus dengan
kertas bermotif kupu-kupu biru.
Ya, dia tetap
menyimpan kotak itu tanpa membukanya. Karena Shinichi hanya memintanya untuk
menyimpan, bukan membuka.
Dia terdiam dan
melamun selama beberapa saat, memikirkan apa yang akan dia beli. Sampai sebuah
suara kembali terdengar.
Tralala..
Trilili.. Trululu..
Ah, ya. Gadis itu
lupa soal panggilan tak terjawab di ponselnya. Dia melihat caller ID
pemanggilnya. Dan disana tertulis nama orang itu.
Tanpa fikir
panjang, Ran mengangkatnya. “Halo, Shinichi!”
“Ah, Ran. Kau
sulit sekali dihubungi,” keluh Shinichi lewat ponsel..
“Maaf, Shinichi.
Aku tertidur.”
“Ya sudahlah.
Sekarang sebaiknya kau bukakan aku pintu. Di luar lumayan dingin.” Ran
terkesiap. Bukakan pintu? Jangan-jangan...
Ran segera
berlari ke arah pintu dan membukanya. Disana berdiri sesosok pemuda yang sangat
ditunggunya. Dia mengenakan baju santai dengan jaket cokelat, dan memakai topi
Holmes yang pernah Ran berikan padanya.
Untuk beberapa
lama, kecanggungan menyergap mereka. Tak ada satupun yang memulai pembicaraan.
Sampai akhirnya,
Ran tersadar terlebih dahulu. Dia menampar Shinichi cukup keras.
“Aw! Kau ini
apa-apaan sih, bodoh?” omel Shinichi.
“Kau yang bodoh!
Kemana saja kau? Aku menunggumu kembali, Shinichi! Dan sekarang, kau kembali di
saat yang tidak tepat,” balas Ran dingin.
Shinichi terdiam.
Ran tak berbicara apapun, memberi waktu untuk Shinichi berbicara.
Kemudian,
Shinichi memegang bahu Ran dengan kedua tangannya. “Maaf kalau kau
menungguku...” ucapnya lirih.
Ran merasakan
guliran air di pipinya.
“Lagipula,”
Shinichi mulai berbicara lagi, “kenapa aku datang disaat yang tidak tepat?”
“Kar- karena,”
Ran terbata menjawabnya, “a- aku belum me- nyiapkan ka- kado ulang ta-hun-mu.”
Selesai menjawab
itu, Ran menunduk dalam-dalam. Shinichi tak mengatakan apa-apa. Dia hanya
tersenyum menatap gadis di hadapannya.
“Kalau begitu,
apa aku boleh minta sesuatu?” tanya Shinichi.
Ran mengangkat
wajahnya. Akhirnya secara tak langsung dia bisa menanyakan apa keinginan
Shinichi.
“Apa itu?” Ran
balik bertanya.
“Mau kau ambilkan
kotak yang kuberikan padamu tiga tahun yang lalu?”
Ran mengernyitkan
kening, walaupun akhirnya tetap mengangguk dan bergegas mengambil kotak kecil
yang dibungkus kertas bermotif kupu-kupu biru.
Setelah berhasil
mendapatkannya, dia kembali ke tempat Shinichi, dan mengulurkannya. “Ini!”
katanya.
“Bukalah, Ran...”
pinta Shinichi.
Ran agak heran,
kenapa Shinichi tahu kalau kotak itu belum dibuka? Tapi, yasudahlah. Dia kan
detektif, mungkin saja mengetahui hal itu dari deduksinya.
Ran membuka
bungkus kotak itu perlahan. Setelah seluruh bungkusnya terlepas, tampak sebuah
kotak berwarna hitam. Dan, Ran juga membukanya.
Dia melihat
sebuah kotak berbentuk hati berwarna hitam. Gadis itu membukanya, dan terdengar
dari dalam kotaak itu sebuah lagu klasik yang cukup familier. Fur Elise milik
Ludwig Van Beethoven.
Lagu itu mengalun
dengan instrumen yang terdengar seperti biola, mungkin.
Hadiah itu
mungkin hanya sebuah kotak musik. Tapi, Ran sangat kaget ketika kotak itu mengeluarkan
semacam sinar yang memantul di diniding.
Rupanya, kotak
musik ini memiliki proyektor kecil.
Semburat merah
terasa mengaliri wajah Ran ketika dia melihat yang memantul di dinding dari
proyektor itu adalah foto-fotonya dengan Shinichi.
“Kau suka?” tanya
Shinichi.
Ran mengangguk
tersenyum. Rupanya hadiah dari Shinichi ini sangat indah.
“Dan yang kuminta
untuk kado ulang tahunku adalah...” Shinichi memberi jeda sejenak untuk
menimbulkan kesan dramatis, “aku ingin berdansa denganmu diiringi lagu ini.”
Lagu Fur Elise
masih mengalun dari kotak musik itu.
Ran mengangguk.
“Baiklah Shinichi. Di dalam?”
Tanpa menjawab, Shinichi
menarik Ran masuk ke dalam, mengambil alih kotak musik itu dan meletakannya di
atas meja ruang tengah.
Pemuda itu
kemudian berlutut dihadapan Ran sambil berkata, “mau berdansa denganku, Tuan
Putri?”
...
Empat jam yang lalu...
.
.
“Ayolah, Ai! Kau pikir aku bisa tahan melihat dia
seperti itu?”
“Tapi ini belum sempurna Shinichi. Kalau kau
meminumnya, hanya akan bertahan selama enam jam. Setidaknya, biarkan aku
menyelesaikannya sampai bertahan 24 jam.”
Pertengkaran dua anak kecil ini terdengar dari
rumah Professor Agasa. Benar-benar sangat mengganggu. Sampai-sampai, Professor
memilih untuk ke kamarnya dan memasang musik keras-keras.
“Aku tidak peduli! Aku ingin sekarang! Aku tak
bisa membiarkannya uring-uringan lebih lama lagi,” bujuk Shinichi lagi.
“Tidak!” Ai tetap mempertahankan pendiriannya.
“Besok ulang tahunku, Ai. Setidaknya, aku harus
ada di sampingnya. HARUS.”
Ai tersentak. Besok ulang tahun Shinichi? Benar
juga ya. Gadis itu pasti sedang sedih memikirkan Shinichi. Apa sebaiknya aku
menuruti Shinichi? Aku pun tidak tega melihat kesedihan di wajah gadis itu.
“Oh, baiklah... Anggap saja ini hadiah dariku.”
Shinichi tersenyum, “terima kasih, Ai!”
“Ya. Tapi ingat ya, hanya bertahan enam jam. Jadi,
kau harus berhati-hati.”
“Siap, Bos!” Shinichi meraih kapsul itu. Pergi ke
kamar mandi, dan segera menenggaknya.
...
Ran terbangun
karena sinar matahari yang mencolok matanya. Di sebelahnya, Conan tertidur
pulas. Rupanya anak itu sudah pulang.
Ran meregangkan
tubuhnya dan terbangun dari sofa, tempat dia tertidur.
Ayahnya tak
terlihat. Mungkin masih di Poirot. Nanti, dia harus menyusulnya dan memarahinya
karena tak kembali semalaman.
Tiba-tiba, Ran
mengingat apa yang terjadi semalam, dan tersenyum-senyum sendiri.
Dia dan Shinichi
berdansa sepanjang malam itu. Tapi, tiba-tiba di tengah dansa, tubuh Shinichi
menegang. Tak lama kemudian, Ran merasakan tengkuknya digigit, dan tiba-tiba
merasa mengantuk. Kemudian dia tertidur.
Sebenarnya dia
heran. Kenapa bisa begitu?
Tapi, rasa
herannya itu tertutup dengan kebahagiaan yang tak akan dilupakannya.
Ran menatap kotak
musik yang sekarang tak lagi berdentang tersebut. Dia menangkap sesuatu yang
berbeda. Di atas kotak itu, dia menemukan selembar kertas.
Dia pun segera
meraih kertas itu.
Kau tahu? Ini ulang tahun terbaikku.
Dan mungkin satu-satunya hari ulang tahun yang
kuingat.
Dan, Ran, aku tahu aku memang bodoh, jadi jika kau
lelah, berhentilah menungguku...
Ran menatap
barisan huruf di kertas itu. Berhenti menunggunya? Mana mungkin?
Jadi, Ran mencari
ponselnya dan segera menghubungi Shinichi. Tapi, ponselnya tidak aktif. Gadis
itu menghela nafas. Dasar! Disaat penting seperti ini malah tak bisa dihubungi.
“Kak Ran!”
panggilan seseorang menyapa telinganya.
“Semalam Kak
Shinichi keluar dari sini dengan terburu-buru,” ujar Conan.
Tiba-tiba
terbesit sebuah ide di kepala Ran. “Ya, Conan. Dia memang habis dari sini.”
Conan tak
membalas lagi perkataan Ran. Dia berbalik dan bergegas menuju kamar mandi.
“Tunggu, Conan!”
Ran memanggil dan mencegah Conan pergi.
“Apa aku boleh
minta tolong?” tanya Ran.
“Tentu saja!”
jawab Conan dengan wajah polosnya.
“Jika Shinichi
menghubungimu, katakan padanya bahwa aku akan dengan senang hati menunggu
seseorang yang bodoh. Walau si bodoh itu entah kapan akan kembali. Bisa kau
melakukannya?”
Mendengar itu,
wajah Conan tiba-tiba menjadi panas. Tapi, akhirnya dia menjawab, “dengan
senang hati, Kak. Aku pasti menyampaikannya.”
Ran tersenyum
puas dan menghilang dibalik pintu kamarnya.
Yah, setidaknya,
Shinichi lega karena Ran sudah tidak kebingungan lagi seperti kemarin.
Tapi, sepertinya,
dia masih akan tetap sedih dan menangis, karena memutuskan untuk menunggu
seseorang yang sebenarnya ada di dalam rengkuhannya.
-Fin-
0 Comments