Kakak

16.33.00


“Mungkinkah aku egois? Egois karena tak membiarkan Kakak pergi meninggalkanku, dan karena aku ingin Kakak tetap hidup padahal Kakak tersiksa dengan penyakit yang tak ada obatnya ini?”
“Kakak sedang apa?”
“Sedang melihat bulan, Ren.”
Kutatap lekat wajah Kakak dan kutelusuri garis-garis halus di kedua pipinya. Namun, mata Kakak tampak begitu fokus dengan satu objek di langit sana.
“Kenapa Kakak serius banget?”
Kakak mengalihkan pandangan kearahku dan tersenyum. Senyumannya terlihat begitu tulus, namun tidak bisa menyembunyikan gurat-gurat kesedihan dan kelelahan yang terukir jelas.
“Karena Kakak kagum sama ciptaan Tuhan yang satu itu,” jawab Kakak ringan, lalu mengembalikan pandangannya ke langit.
“Apa kak? Bintang?” tanyaku polos.
Kakak menggelengkan kepala perlahan dan menatapku lekat. “Bukan bintang, Rena, tapi bulan.”
“Aku sih lebih kagum sama bintang kak, soalnya banyak dan cantik,” seruku sambil bergeser mendekati Kakak, menyejajarkan tubuhku dengan tubuh semampainya, lalu ikut memandangi langit.
Kakak menggeleng, lalu berkata, “Kalau bintang hilang satu, kita nggak akan merasakan efeknya, Ren. Tapi kalau yang hilang bulan, kita semua pasti tahu. Bulan memang cuma sendirian, tapi kecerahannya mengalahkan bintang-bintang yang muncul di langit malam. Meskipun sendirian, dia nggak kehilangan manfaat untuk bumi. Dia berarti.”
Aku mencoba mencerna kata-kata Kakak sambil mencoba membandingkan kecerahan bintang dan bulan yang sedang kupandangi. Cukup lama kami terdiam menikmati hening hingga aku kembali mendengar suara Kakak.
“Ren,” panggilnya. Aku menoleh tanpa menyahut.
Lalu Kakak melanjutkan, “Jika suatu hari nanti Kakak nggak bisa jagain kamu lagi, kamu harus percaya kalau Kakak akan terus berdoa agar Tuhan mengizinkan bulan itu menemani kamu, supaya kamu nggak sendirian.”
Aku meraih tangan Kakak, menggenggamnya, lalu menatapnya sambil tersenyum.
“Kakak jangan khawatir. Aku cuma butuh Kakak. Bagiku, Kakak adalah yang paling berarti yang aku punya.”
Kakak memelukku erat dan kurasakan air mataku mengalir ringan. Saat itu, usiaku tujuh tahun. Aku tidak begitu memahami apa yang sedang terjadi dan beban macam apa yang sedang Kakakku hadapi. Saat itu aku tak tahu bahwa menghabiskan malam memandangi bulan di balkon rumah bersama Kakak adalah momen yang akan kurindukan di malam-malam setelahnya. Bersama dengan waktu yang menjadikanku bertambah tua, aku memahami banyak hal yang sebelumnya bahkan tak pernah terpikir.
***
Sepuluh tahun kemudian...
“Gimana? Kelihatan jelas atau nggak?”
“Agak sulit, Res. Sepertinya polusi cahaya di daerah ini memang cukup tinggi.”
“Apa kamu yakin penyebabnya bukan cuaca?”
Aku mengangguk dan berujar, “Kalau penyebabnya cuaca, bintangnya nggak akan samar tapi justru tertutup awan.”
“Berarti kita sampai pada kesimpulan?”
“Bisa jadi. Tapi, kita tetap harus mencoba titik pengamatan lain.”
Aku membenahi teleskop dan seluruh perangkat pengamatan. Aresta membantuku merapikan data-data yang berserakan di atas meja. Kami baru saja meneliti polusi cahaya langit, objek penelitian kami. Penelitian ini adalah tugas akhir kami sebagai syarat kelulusan SMA.
“Habis ini kamu mau kemana?” tanya Aresta setelah barang-barang kami terkemas.
“Entahlah. Mungkin aku mau pulang saja,” jawabku.
Perlahan, aku merasakan rintikan air hujan membasahi tanganku. Aku dan Aresta memasukkan peralatan ke dalam bagasi dan bergegas masuk ke mobil.
Aresta adalah teman sekelasku. Saat ini kami duduk di bangku kelas 3 SMA Pelita Bangsa, sebuah sekolah Internasional di kawasan Jakarta Selatan. Dia temanku yang cukup dekat. Alasan terkuat aku bisa berteman dekat dengan Aresta adalah walaupun dia perempuan, dia tidak pernah berusaha bertanya tentang hidupku yang memang tak ingin kuceritakan. Selain itu, Aresta mengenalkanku pada jilbab, selembar kain yang membawa ketenangan bagi batinku.
Aresta mengemudikan sedan putihnya dengan hati-hati. Sepanjang perjalanan, seperti biasanya kami bercerita tentang sekolah. Ia mengantarku sampai ke depan rumah.
“Makasih ya, Res!” ujarku sambil meraih payung di dashboard dan bersiap melangkah turun dari mobil.
“Kok kamu nggak pernah ajak aku main ke rumah kamu sih, Ren?” tanya Aresta sebelum tanganku sempat menyentuh pintu.
Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. Aku memang tidak pernah membiarkan seorang pun temanku main ke rumahku. Aku tidak mau ada yang tahu kondisi rumahku yang kacau oleh Tante Rheina dan teman-temannya. Kakak juga melarangku mengajak teman ke rumah karena dia tidak mau ada yang melihat kondisinya.
Akhirnya, aku hanya berkata, “Lain kali aja ya, Res. Udah larut, nanti kamu dicariin orangtuamu, lho.”
Aresta mengangguk bosan dan membiarkanku berlalu. Kutatap mobilnya berbalik arah dan pergi dari teras depan rumahku. Setelah mobilnya benar-benar hilang dari pandangan, aku hanya bisa bergumam, “Maaf ya, Res. Ini demi Kakak.”
***
Aku melangkah masuk  ke dalam rumah. Pemandangan pertama yang terlihat di hadapanku adalah Tante Rheina yang sedang bermesraan dengan kekasihnya. Aku melangkah malas ke dalam kamarku dan berusaha mengabaikan mereka berdua. Kukunci pintu kamarku dan kuletakkan semua barang-barangku di atas meja.
Aku lalu berjalan ke arah pintu yang menghubungkan kamarku dengan kamar kakakku, dan membuka pintu itu. Kutatap kakakku yang kurus kering berbaring di ranjang. Dia sedang menatap kosong dan tak melakukan apa-apa.
Melihatnya dengan kondisi seperti itu selalu membuatku ingin menangis. Tapi lima tahun menghadapi keadaan yang sama, membuatku sedikit bisa menahan air mata.
“Kak,” panggilku lembut.
Kakakku menoleh padaku dan tersenyum. “Bagaimana pengamatannya?”
“Menyenangkan, Kak. Andai Kakak disana,” ujarku lagi.
Tangan kurusnya meraih tanganku dan menggenggamnya. Kondisi kakak saat ini benar-benar sangat buruk, seakan tidak bisa lebih buruk lagi dari ini.
Enam tahun yang lalu, kakak mengonsumsi narkoba jenis hasish (ganja cair) yang menggunakan jarum suntik. Kakak melakukannya lantaran Ayah dan Ibu, yang bahkan tidak pernah memberi perhatian padanya sama sekali, terus-terusan memaksanya kuliah di jurusan yang tidak dia inginkan.
Setelah hampir setengah tahun menjadi pemakai, Kakak ketahuan Ibu dan dikirim ke tempat rehabilitasi. Setelah Kakak kembali, Ayah dan Ibu berubah menjadi lebih memperhatikan aku dan Kakak.  Aku merasa saat itu benar-benar hari-hari yang luar biasa menyenangkan.
Namun, tak berselang lama, Kakak divonis HIV dan Ibu yang mendengarnya terkena serangan jantung sampai akhirnya meninggal. Ayah yang seorang pelaut tetap harus bekerja sebagai pelaut untuk menghidupi kami. Jadi aku dan Kakak dititipkan kepada Tante Rheina.
Meskipun kami tetap tinggal di rumah yang sama, sejak kedatangan Tante Rheina rumah kami benar-benar terasa seperti neraka. Tante sering membawa teman-temannya dan membuat keributan. Kadang ia juga membawa kekasihnya dan bermesraan seakan tidak ada yang melihat mereka. Karenanya, aku dan Kakak jarang sekali ada di rumah. Setiap Ayah menelepon, Tante Rheina selalu menjawab dengan meyakinkan, aku diancam untuk tidak memberitahukan apapun kelakukannya pada Ayah. Karena selama ini Tante Rheina tidak pernah melakukan kekerasan secara langsung kepada kami dan kami tetap mendapatkan makanan dan keperluan yang cukup, aku akhirnya memilih untuk diam saja.
Tiga tahun yang lalu, Kakak mulai terjangkit AIDS. Tubuh kakak tergerogoti oleh berbagai gejala penyakit, sehingga Kakak harus tetap di rumah dan tidak bisa beraktivitas. Sejak itulah aku lebih sering di rumah menemani Kakak. Semakin hari, tubuh Kakak semakin ringkih saja. Aku tidak tega melihatnya.
“Ren,” panggil Kakak membuyarkan lamunanku. “Kakak sayang kamu.”
Aku tersenyum. “Aku juga sayang Kakak,” balasku, dan kami saling bertatapan penuh arti.
Kami sadar bahwa yang bisa kami lakukan hanya saling menyayangi dan saling menguatkan. Karena aku tanpa Kakak, atau Kakak tanpa aku, pasti takkan sanggup melalui ini semua.
***
 “Rena!”
Aku menoleh dan mendapati Aresta sedang berlari di koridor untuk mengejarku. “Kenapa, Res?” tanyaku saat akhirnya dia sampai di hadapanku.
“Aku mau main ke rumah kamu,” ujarnya bersemangat.
Aku menggeleng. “Nggak bisa sekarang, Res. Aku sibuk. Ada yang mau aku kerjain bareng kakakku.”
“Ayolah, Ren. Sebentar aja deh.” Setelah semalam gagal memohon, kali ini Aresta sepertinya tidak berniat untuk berhenti.
Namun, aku tetap pada pendirianku. “Nggak bisa sekarang, Res.”
Aresta menghela nafas. “Ya udahdeh, tapi aku boleh antar kamu pulang, ‘kan?”
Aku berjalan sambil berpikir. Aresta masih mengikutiku, berusaha mengimbangi langkah kakiku yang semakin cepat.
“Iya boleh. Sekalian kita bicarakan lagi masalah penelitian kita ya,” jawabku akhirnya.
Kami berdua melangkah menuju mobil Aresta. Dan dimulailah percakapan ringan kami yang biasa, tanpa aku tahu apa yang menungguku bukanlah sesuatu yang ringan.
***
 “Yakin nih, Ren, aku nggak boleh masuk?”
Aku melemparkan tatapan galak ke Aresta. “Tadi katanya cuma antar pulang,” keluhku. Enak saja dia berusaha mengakaliku.
Aresta mengeluarkan ekspresi polosnya sambil berkata, “Yah kan udah terlanjur disini, apa salahnya kalau...”
PRANG!!!
Kami menoleh mendengar suara sesuatu yang pecah dari dalam rumah. Aku panik dan bergegas masuk ke dalam. Ruangan pertama yang kutuju tentunya kamar Kakak. Aresta turun dan mengikutiku masuk ke dalam. Aku sudah tidak peduli kalaupun dia akhirnya masuk, karena yang aku pikirkan saat ini hanya Kakak.
Yang pertama kulihat saat memasuki kamar adalah tubuh Kakak yang tergeletak di lantai dan kejang-kejang dengan gelas pecah tidak jauh darinya. Aku langsung menghampiri tubuh Kakak dan memangku kepalanya. Aresta muncul dari pintu dan terbelalak ketika matanya sampai pada Kakak.
“Rena, ayo bawa dia ke rumah sakit!” sahut Aresta sedikit berteriak, menunjukkan bahwa dia juga panik.
Aku memasang wajah bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa.
Melihat aku yang tidak juga bergerak, Aresta menambahkan, “Jangan buang waktu, Ren!"
Aresta menghampiriku dan membantuku mengangkat tubuh Kakak.
Kami mengangkat tubuh Kakak yang sebenarnya sangat ringan dan mungkin saja kuat aku angkat sendirian jika tidak dalam keadaan panik seperti ini. Setelah tubuh Kakak masuk ke mobil, aku dan Aresta ikut masuk. Kami pergi ke rumah sakit terdekat.
Di sepanjang perjalanan aku memeluk kakak dan membisikkan kata-kata yang sama di telinga Kakak berulang-ulang.
“Aku mohon Kak, bertahanlah! Aku nggak sanggup kalau Kakak nggak ada.”
***
Aku berada di ruang ICU, menatap tubuh Kakak yang terbaring lemah. Dokter bilang kami membawanya kesini tepat waktu. Terlambat sedikit saja, mungkin dia tidak bisa lagi diselamatkan. Aku menggenggam tangan Kakak yang masih tetap kurus dan kukecup lembut.
Setelah itu, aku beranjak ke luar ruangan. Di koridor, aku menemukan Aresta duduk sambil bersandar ke tembok dan memejamkan matanya. Aku menghempaskan tubuhku di sebelahnya. Aresta menoleh memandang wajahku yang entah seperti apa rupanya. Matanya tidak melukiskan apapun selain pertanyaan. Banyak pertanyaan yang mungkin dia sendiri tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.
“Makasih ya, Res,” ucapku tulus.
Aresta tersenyum dan menjawab, “Sama-sama, Ren.”
Dia meraih tanganku dan menggenggamnya sangat erat. "Aku nggak tau apa yang menimpa kamu, Ren. Tapi, aku nggak meminta penjelasan. Kalau kamu nggak mau cerita, aku nggak maksa," ujar Aresta.
Beberapa saat kami hanya menikmati kesunyian. Kupejamkan mataku dan kusandarkan kepalaku ke pundak Aresta. Berikutnya, tanpa sadar kepercayaanku padanya menuntun lidah ini mengucap segalanya dan mengalirlah seluruh cerita tentang aku, Kakak, dan keluarga kami.
***
Entah sudah berapa lama aku terdiam saat kurasakan seseorang menyentuh bahuku. Bisa jadi ternyata aku sudah berjam-jam tidur. Aku menoleh dan menemukan ternyata suster yang menyentuh bahuku.
“Maaf, apakah Anda keluarga dari Renita?” tanya suster tersebut.
“Iya, Suster. Saya Renata, adiknya. Ada apa?” aku balik bertanya.
“Sejak tadi Renita seperti memanggil seseorang, mungkin dia mencari Anda.”
Setelah mendengar kalimat terakhir suster itu, aku bangkit dan menuju ruangan Kakak. Sekilas kulihat waktu sudah berlalu empat jam sejak aku duduk di bangku itu dan Aresta sudah pamit pulang. Aku kembali melangkahkan kaki ke dalah ruang ICU tempat Kakak dirawat. Benar saja, sejak masuk ke ruangan itu, aku bisa melihat bibir Kakak sedikit bergerak-gerak.
Kuhampiri ranjang tempat Kakak berbaring. Kuraih tangannya dan kurasakan tangannya sedikit bergetar dalam genggamanku. Setetes airmata turun dari matanya yang tetap terpejam, membasahi pipinya yang tirus.
“Kak, Rena disini,” bisikku lirih. Sebisa mungkin kutahan airmataku agar tidak jatuh. Kakak tidak boleh melihatku menangis.
“Apa yang Kakak rasain? Sakit?” tanyaku. Tangan Kakak yang berada dalam genggamanku perlahan bergerak meraih jariku. Sangat perlahan, hingga mungkin aku tak akan tahu seandainya saja tangan itu tak kugenggam.
“Sakit banget, Kak?” tanyaku lagi. Tangan Kakak kembali bergerak dengan pola yang sama namun lebih kuat dari sebelumnya.
Kurasakan pipiku basah oleh airmata. Sia-sia saja aku menahan kesedihan karena melihat orang yang paling kusayangi di dunia ini menderita. Mungkinkah aku egois? Egois karena tak membiarkan Kakak pergi meninggalkanku, dan karena aku ingin Kakak tetap hidup padahal Kakak tersiksa dengan penyakit yang tak ada obatnya ini?
“Aku sayang Kakak,” ucapku tulus, mungkin akan menjadi yang terakhir kali didengarnya di dunia. “Dan karena itu, aku nggak mau Kakak tersiksa menahan diri tetap hidup dengan penyakit ini demi aku. Aku ikhlas melepas Kakak kalau memang Kakak mau pergi. Kakak nggak perlu khawatir, aku bisa menghadapi semuanya.”
Genggaman tangan kakak semakin kuat di tanganku seiring dengan kalimat panjang yang mengalir dari lidahku.
“Aku percaya walaupun nggak terlihat, Kakak akan tetap ada di sampingku, memperhatikaku, memastikan bahwa aku baik-baik saja.”
Bersamaan dengan kalimatku berakhir, genggaman tangan Kakak melemah. Kudengar Kakak menghela nafas panjang, sebelum akhirnya nafas terakhirnya berhembus dan alat di sampingnya memperlihatkan sebuah garis lurus.
Kulepaskan genggaman tanganku, lalu kuselimuti wajah Kakak. Airmataku mengalir di sepanjang jalanku keluar dari ruang ICU dan memanggil suster yang menangani Kakak. Setelah bertemu Suster, aku menunjuk ruangan Kakak tanpa berkata apapun, hanya terus menangis. Yang selanjutnya kuingat adalah wajah Suster yang terlihat bingung dan semuanya terasa gelap.
***
Perlahan kubuka mataku dan kukerjapkan. Hal pertama yang kusadari adalah aku sedang terbaring di atas ranjang di sebuah ruangan asing yang aromanya seperti rumah sakit. Hal berikutnya, Aresta sedang menungguiku tepat di sisi kanan tempat tidur. Lalu, ingatan-ingatan lain mulai merasukiku dan saat aku mulai Kakak telah meninggal, aku mulai menangis lagi.
Di tengah tangisku, Aresta bangkit dari sofa dan menghampiriku.
“Sudahlah, Ren, kakak kamu pasti udah tenang di alam sana,” ujarnya sambil menatapku lembut.
Dia menyodorkan sebuah sapu tangan padaku, dan aku mengulurkan tangan untuk menerimanya. Aku sadar, Aresta benar. Lagipula, bukankah aku sudah mengikhlaskan kepergian Kakak karena aku nggak mau lihat Kakak menderita dengan AIDS itu? Jadi, aku berusaha menghentikan tangisku.
“Aku harus kabari Ayah dan Tante Rheina,” sahutku.
Aresta menatapku dengan cara yang menurutku sedikit aneh. Lalu, dia berkata, “Ini udah lewat tiga hari sejak kakak kamu meninggal, Ren. Kakak kamu udah dikubur.”
Aku tidak menjawab pernyataannya, hanya menatap kosong ke satu titik.
“Gini ya, Res, rasanya terlalu sayang sama seseorang?” ujarku sambil tersenyum sedih. Karena Aresta tidak berkata apapun, aku melanjutkan, “Karena nggak tega lihat orang yang aku sayang menderita, aku harus bisa ikhlas saat dia pergi tinggalin aku kayak gini, walaupun aku sedih, walaupun aku sakit, aku harus ikhlas.”
Aresta menatapku lekat. Ditatap seperti itu mau tidak mau aku menatapnya balik. Seakan mengalirkan langsung setiap kata-katanya ke dalam pikiranku, dia berujar, “Bukan cuma kamu yang bisa menyayangi seseorang. Kamu udah merasakan betapa kehilangan orang yang disayangi itu rasanya nggak enak, apa kamu akan terus berlarut-larut dalam kesedihan dan membiarkan orang-orang yang menyayangi kamu kehilangan kamu? Mungkin kamu ada, Ren, kamu hidup, tapi tanpa semangat, apa artinya?”
Aresta tidak melepaskan matanya dari mataku dan aku tidak menyahuti ucapannya, hanya mencerna dengan baik.
Aku tahu Aresta ada benarnya. Setiap manusia di dunia ini pasti mati, termasuk aku nantinya. Lagipula, sebelumnya aku sudah berkata pada Kakak bahwa aku ikhlas Kakak pergi. Tidak ada alasan untukku berlama-lama larut dalam kesedihan. Yang harus kulakukan adalah berjuang dan menjalani hidupku sebaik-baiknya. Buktikan kalau aku benar-benar menyayangi Kakak dan tak mau melihatnya kecewa.

Jadi, demi Kakak yang telah melalui hidupnya dengan berat untuk tetap berada di sampingku, dan demi Aresta, sahabat terbaikku, saat itu aku tersenyum.

Serpong
4 Maret 2014

You Might Also Like

0 Comments