Never Late
16.17.00
...
Love comes to you
But, why you ignore it?
Even, try to throw it
So, you don’t get stuck in it...
...
Aku memandang
gadis itu lagi. Ya, lagi. Beberapa kali dalam hari ini.
Gadis itu.
Tenyata kalau dicermati, dia lumayan juga. Gadis yang tiba-tiba datang ke
rumahku, mengaku sebagai Kira kedua, dan menyerahkan dirinya. Lalu, kuhadiahi
sebuah ciuman standar.
Terkadang aku
berpikir, seandainya saja aku bukan Kira, dia bukan Kira kedua, dan kami
bertemu secara ‘normal’. Mungkin, kami bisa saja saling jatuh cinta. Dan
menjadi sepasang kekasih yang bahagia.
.
.
Apa? Bicara apa
aku ini? Ayo, Light, kau harus fokus. Dunia membutuhkanmu untuk mengenyahkan
para penjahat. Jangan bermain-main seperti ini.
aku mulai
mengedarkan pandangan, mencari death noteku. Setelah menemukannya, aku
meraihnya.
Kali ini aku
melihat Ryuk. Shinigami itu seperti sedang berpikir, atau diam-diam sedang
memperhatikanku?
“Dia cantik juga
ya..” komentar Ryuk.
“Siapa? Rem?”
tanyaku.
“Astaga, Light!
Yang benar saja. Maksudku tentu saja wanita itu. Kira kedua.” Ryuk memperjelas
kata-katanya.
“Memang, kuakui.”
aku terdiam sejenak, sambil mencerati nama-nama dalam death note. “Tapi, aku
tak mungkin jatuh cinta padanya. Aku tak mau gagal karena terhambat oleh hal
bernama wanita. Banyak orang yang gagal karena hal satu itu.” sahutku pada
Ryuk.
Dewa kematian itu
tersenyum licik dan sedikit mencurigakan. Tapi, aku sudah terbiasa dengan
senyuman itu. Jadi, aku sudah tak begitu memusingkannya.
Yang agak
mengganggu pikiranku saat ini adalah apa yang aku bayangkan tadi. Bertemu
secara ‘normal’? Saling jatuh cinta? Menjadi sepasang kekasih yang bahagia?
Apa-apaan aku ini. Apa aku sudah gila sampai berani memikirkan hal-hal itu?
“Light!” panggil
seseorang tepat ditelingaku. Aku menoleh padanya dengan malas.
“Apa?” jawabku
tak niat. Biasanya aku memang tak pernah niat jika berurusan dengan gadis ini.
“Ajak Misa
jalan-jalan yuk!” pintanya manja. Huh, gadis ini menyusahkan saja.
“Nanti. Aku
sibuk.” jawabku asal-asalan. Aku kembali mencoba terkonsentrasi pada death
note. Aku benar-benar harus memeriksa kejanggalan pada buku ini untuk menjebak
L.
Aku mengalihkan
pandanganku dari death note. Sedikit menerawangkan pikiranku ke suatu kejadian.
Pandanganku berhenti pada gadis itu. Wajahnya cemberut.
Entah mengapa,
melihat wajahnya cemberut seperi itu aku jadi ikut sebal. Apa sebaiknya aku
mengajaknya pergi? Kacau juga sih jika dia marah padaku dan pergi
meninggalkanku. Aku bisa kehilangan alat terbaikku. Biar bagaimanapun, aku masih
membutuhkan matanya.
“Apa kau sedang
berpikir untuk mengajak dia jalan-jalan, Light?” tanya Shinigami jelek di
sebelahku. Huh, sial. Apa Shinigami juga bisa membaca pikiran manusia?
“Mungkin, Ryuk.
Bagaimanapun, aku masih membutuhkannya.” jawabku perlahan. Ryuk meringis.
“Mungkin kau
punya alasan lain.” tambah setan itu. Ah, ya, secara harfiah Shinigami memang
setan, ‘kan? Jadi tak salah jika aku menyebutnya setan. Tapi apa yang dikatakan
Ryuk tadi lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. Apa aku punya
alasan lain? Entahlah aku sendiri tidak tahu.
Mungkin saja
alasanku sebenarnya adalah takut dibunuh oleh Rem jika aku menyakiti Misa.
Meskipun jika dia membunuhku dia juga akan mati, tapi tentu saja dia akan rela
mati demi Misa. Apalagi, saat ini Rem sedang memandangku dengan tatapan garang.
Oh, baiklah, aku
akan ajak dia jalan-jalan.
“Misa!”
panggilku. Gadis itu menoleh dengan tatapan masih cemberut. “Mau jalan-jalan?”
tawarku. Meskipun aku yakin dia pasti mau dengan senang hati melakukannya.
Misa langsung
lari ke arahku dan memelukku. “Ah, Misa cinta pada Light.” serunya dalam
pelukanku. Gadis ini apa-apaan sih. Tapi, yah biarlah. Toh dia masih berguna
untukku.
.
.
Tunggu, getaran
apa ini. Mengapa dadaku terasa bergetar? Jantungku rasanya dipompa dua kali
lebih cepat. Apa, ini yang namanya...
TIDAK
Apa yang aku
pikirkan? Mana mungkin, ‘kan?
Aku dengan gadis
ini? Itu tak akan mungkin terjadi.
Lagipula, aku tak
mau dengan gadis yang senang memaksaku seperti ini. Aku tak sebodoh itu.
Perlahan, Misa
melepaskan pelukannya. Aku merasa ada yang hilang. Merasa ada yang salah dalam
diriku. Rasanya ada dua kubu yang berteriak dalam diriku. Otak dan hatiku.
Lama aku menatap
Misa. Menunggu peperangan otak dan hatiku selesai. Namun akhirnya, otakku
memenangkan pertarungan itu. Dan aku bersyukur, karena aku melakukan suatu hal
yang benar.
...
When you doing that,
you think that’s true..
Whatever your heart says,
your brain always win the battle..
It scream, that you may not feel love..
And you listen it..
...
Terbayang apa
yang kukatakan pada L, sebelum dia dibunuh oleh Rem.
Siapapun jika dicintai sedalam itu, pasti akan
luluh juga.
Benarkah? Apa
saat ini aku sudah luluh pada gadis itu?
Memang, gadis itu
sangat tulus mencintaiku. Bahkan, dia rela mengorbankan nyawanya demi aku. Ya.
Hanya demi aku yang bertujuan memanfaatkannya.
Apa aku sudah
keterlaluan?
.
.
TIDAK
.
.
Ya, aku tak
keterlaluan sama sekali. Itu pilihannya kalau dia mau mengorbankan nyawanya.
Itu keputusannya. Aku tak memaksanya sedikitpun. Sama sekali tak pernah
memaksanya. Bahkan aku melarangnya. Tapi dia tetap melakukannya. Itu salahnya.
Itu hanya
SALAHNYA.
Bukan salahku.
Otakku terus
meneriakkan hal itu. Namun, hatiku berkata lain. Dia berkata bahwa aku harus
memikirkan perasaannya sesekali. Dan, aku harus membiarkan diriku lepas dari
segala yang berhubungan tentang Kira.
Hatiku bilang,
setiap malam yang kuhabiskan dengannya tak ada artinya tanpa secuil perasaan.
Meskipun segala dari diriku milik Misa, tapi aku harus belajar mencintainya.
Aku harus melupakan ambisiku sesaat.
Tapi, lagi-lagi
otakku memenangkan perdebatan itu. Dengan ataupun tanpa cinta, toh aku tetap
bersama Misa.
Aku tetap
menghabiskan malam-malam diatas ranjang dengannya. Jadi, untuk apa cinta?
Aku tak
membutuhkannya sama sekali.
Yang aku tahu,
aku sudah menyenangkan hatinya, dan dia tak akan pernah berkhianat dari Kira.
Sejauh ini, aku
sudah bisa membuat L terbunuh oleh Rem. Tapi, saat ini ada orang asing bernama
N yang mengajakku kerjasama untuk menangkap Kira.
Herannya, dia tahu
bahwa L sudah mati. Padahal, kami yang mengetahui kematian L sudah berjanji
untuk tutup mulut.
Mengingat itu,
aku jadi ingat ayah, dan apa yang Ryuk katakan. “Manusia pemakai death note
memang tak pernah akan hidup bahagia. Namun, ayah Light, karena dia tidak
menggunakannya, mungkin dia akan bahagia. Setidaknya, dia memiliki keyakinan
yang terbukti, bahwa anaknya bukan Kira.”
Ya, mungkin
ayahku akan bahagia. Memikirkan itu, sedikit banyak aku juga memikirkan
kematianku. Bagaimana ya jadinya nanti?
Mungkin,
kematianku akan menjadi seseuatu hal yang menarik. Dan terpampang di halaman
depan koran, ‘KIRA SANG PENYELAMAT TUTUP USIA’.
“HAHAHAHAHA!!”
tawaku membahana. Mengundang tatapan aneh Ryuk padaku. Tapi, aku
mengabaikannya. Toh dia memang selalu aneh.
...
Actually, you’re doing big mistakes
And you hear the devil whisper
You will be destroyed,
caused by your think..
...
Hari ini, aku
akan menyongsong kemenangan besarku.
Ya, Near pasti
akan tertipu dengan apa yang kurencanakan bersama Kira gadungan itu.
Dia PASTI akan
kalah.
“Light!” ya
ampun, wanita itu lagi? Apa dia tidak bosan menggangguku. Bahkan di hari
kemenanganku.
“Ada apa?’”
sahutku setengah hati. Kalau saja aku mengusirnya, akupun tidak akan
mendapatkan kerugian apapun. Toh dia sudah tak memiliki mata Shinigami lagi.
Jadi, apa gunanya untukku?
“Hati-hati ya...”
sahutnya lemah. Tunggu dulu, lemah? Sejak kapan wanita ini jadi lemah lembut?
Misa
menghampiriku perlahan. Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat di
bibirku. Dia menciumku.
Yah, biasanya sih
juga begitu. Dia menciumku sebelum aku berangkat. Pasti selalu begitu.
Tapi, ada yang
berbeda dengan ciumannnya hari ini. Rasanya sangat lembut, dan terlalu lama.
Oh, tidak. Nafasku habis.
Buru-buru aku
menarik bibirku dari bibirnya. “Aku berangkat ya...” aku mengatakannya tanpa
semangat. Seakan aku takkan bisa mengatakan itu lagi padanya.
Ah, bicara apa
aku? Aku pasti akan menang. Dan aku akan bisa mengatakan itu padanya. Kapanpun.
Aku berjalan
mendekati pintu keluar. Membayangkan berjuta kemungkinan tentang kemenanganku.
Namun, tiba-tiba
aku merasakan sesuatu merapat ke tubuhku. Rasanya hangat.
Misa memelukku.
Sangat erat sampai aku seakan tak bisa beranjak dari sana. Dia mengunciku dalam
rengkuhannya.
Otakku mengatakan
agar aku segera pergi. Namun, hatiku berkata untuk tetap tinggal.
Aku berpikir
keras. Dan untuk saat itu, aku berbalik dan memeluknya dengan erat juga. Entah
apa yang merasuki pikiranku. Saat itu aku benar-benar tak ingin pergi. Meski
untuk mengejar kemenanganku. Rasanya, aku selalu ingin merasakan pelukan itu.
Dalam waktu yang
cukup lama kami terdiam dalam keadaan
seperti itu.
Detik berikutnya,
otakku kembali menguasai tubuhku. Aku segera melepaskan pelukan itu dan
berbalik untuk pergi.
Tapi, aku berani
bertaruh, aku sempat melihat air yang menggumpal disudut matanya.
...
SIAL!
Aku sudah
memanggil setiap orang untuk menuliskan nama keparat itu. Tapi mengapa tak ada
yang menjawabnya.
Ah, aku lupa,
mereka semua telah kuhabisi. Dan Misa telah melupakan semua ingatannya tentang
death note.
Aku mencoba
berpikir. Siapa yang bisa kuminta untuk menuliskan nama Nate River di death
note ini?
Oh, ya. Ryuk
pasti bisa melakukannya. “Ryuk! Bunuh mereka. Selamatkan aku.”
Aku sempat
melihat Ryuk menuliskan sebuah nama. Tapi dari kata-kata Ryuk selanjutnya, aku
tahu nama yang ia tulis adalah namaku.
Tamatlah aku!
Tiba-tiba saja,
di benakku terbayang wajah Ayah, Ibu, Sayu, dan... Misa.
Entah memgapa
wajah itu menjadi salah satu wajah yang kubayangkan. Aku jadi ingat sesuatu.
Aku jadi ingat
pelukan dan ciuman yang dia berikan tadi pagi. Ternyata, itu memang yang
terakhir untuk kami. Ternyata itu memang sekali seumur hidup aku memenangkan
hatiku untuk mendekap Misa dalam pelukanku.
Ternyata, begini
rasanya detik-detik terakhir kematian.
Ya. Hanya tinggal
20 detik lagi.
.
19
.
Aku akan mati
dengan cara yang memalukan. Dan akan dikenang sebagai penjahat.
.
16
.
Padahal, aku
ingin setiap orang mengenangku sebagai pahlawan disaat aku mati.
.
13
.
Tapi mungkin saat
ini, itu hanya tinggal impian. Terkadang aku berharap agar aku tak pernah
menemukan death note.
.
10
.
Setidaknya saat
ini aku belum mati dan masih bisa menggapai cita-citaku. Juga tak kehilangan
ayah.
.
9
.
Tak perlu
terlibat denga L dan Near sialan itu. Dan tak perlu bertemu dengan Ryuk yang
jelek itu.
.
8
.
Meski itu artinya
mungkin aku takkan bertemu Misa Amane.
.
7
.
Ah, memikirkan
gadis itu membuat kematian ini terasa semakin sakit.
.
6
.
Kuharap dia akan
menemukan orang yang bisa mencintainya dengan tulus, dan dapat menerimanya apa
adanya.
.
5
.
Tidak seperti aku
yang hanya selalu memanfaatkannya dan mengecewakannya.
.
4
.
Sebentar lagi, Light! Sebentar lagi kau akan
merasakan apa yang kau lakukan pada para penjahat itu, sebuah suara menggema dalam pikiranku, dan
detik berikutnya semua berlanjut.
.
3
.
Dan apa yang kau lakukan terhadap orang-orang
lainnya yang begitu menghargaimu.
.
2
.
Kau mengkhianati mereka, hanya untuk death note
milik Shinigami. Untuk membuat dunia yang takkan mungkin tercipta.
.
1
.
Dan kini kau merasakan, bagaimana Shinigami
mengkhianatimu. Dalam detik terakhir,
.
Semuanya gelap dan terasa mengulitimu. Itulah
sesuatu bernama kematian...
“Manusia pemakai death note takkan pernah hidup
bahagia. Dan jangan harap dia bisa diterima di surga ataupun neraka.”
...
One day, you know that she always love you
And at that moment,
you will realize, that you always love her too
...
Semua terasa
begitu cepat bagiku.
Aku telah mati.
Itu hal pertama yang kusadari.
Sekujur tubuhku
masih merasakan sakit yang sangat menusuk. Mungkin ini yang Ryuk katakan tidak
akan ada di surga ataupun neraka. Karena sekarang, aku entah berada dimana.
Aku terus menahan
sakit. Kulihat kebawah, tubuhku sudah tak lagi berbentuk tubuh. Sekarang hanya
tinggal api menyala. Mungkin ini penyebab rasa sakitku.
Aku terus
berusaha menahan rasa sakit itu. Aku tak akan memohon ampun pada Tuhan. Karena
aku tahu, itu takkan merubah apapun. Tak akan membuat Tuhan mengampuniku dan
melemparkanku ke surga.
Di tengah rasa
sakit yang luar biasa, aku mengedarkan pandangan. Yang kutahu, ini adalah
kawasan makam. Ya, aku sangat yakin sekali.
Kalau ini makam,
mungkin saja aku masih di bumi.
Aku mencerna
kembali apa yang kualami. Tak pernah diterima di surga ataupun neraka? Mungkin
saja aku di bumi.
Tak lama
kemudian, mataku menangkap seorang wanita yang kukenal memakai pakaian hitam
rapi.
Wanita itu
mendekati tempatku berada. Aku ingin menghampirinya, namun rasanya kaki ini
terkunci. Belum lagi tubuhku yang seperti tersayat-sayat.
Wanita itu sampai
pada tempatku. Dia meletakkan sesuatu di kakiku. Serangkai bunga krisan.
Aku menatap
bagian bawah kakiku. Ternyata kakiku berada tepat di sebuah nisan. Tapi, nisan
siapa? Mungkinkah nisanku?
“Light!” panggil
wanita itu sambil menatap nisan di kakiku. Berarti itu memang nisanku.
“Mengapa kau harus
pergi secepat ini?” ujarnya. “Kau tahu kan kalau aku sangat mencintaimu? Aku
rasanya tak ingin hidup tanpamu.”
Bodoh! Apa yang
kau katakan, hah? Tak ingin hidup tanpaku? Jangan gila Misa. Aku mencoba
menyuarakan itu, namun suaraku tak keluar sama sekali.
“Kau tahu?
Rasanya, aku ingin menyusulmu.”
Bayangan Misa
yang mati karena bunuh diri nyaris membuatku menangis. Bukan menangis karena sakit
sekujur tubuhku, tapi menangis karena hatiku rasanya sakit. Itupun, jika hatiku
masih ada.
Aku melihat air
menetes dari pelupuk matanya. Dan tanpa sadar, mungkin saat ini aku juga
menangis. Hanya saja, sulit merasakannya ditengah api yang membakar tubuhku.
Semua kilasan
masa-masa bersama Misa membuatku menyesal. Mengapa aku tak pernah mempedulikan
perasaanku padanya. Malah seringkali aku mengingkarinya.
Padahal, kalau
saja sejak dulu aku mengikuti kata hatiku, mungkin semua tak akan jadi seperti
ini. Mungkin saat ini aku dan Misa hidup bahagia. Memiliki seorang anak.
Ya, kali ini aku
tak akan membantahnya lagi. Bahwa aku menginginkannya. Aku menginginkan
kehidupan normal yang bahagia dengannya. Tanpa ada Shinigami. Tanpa ada death
note. Tanpa ada L, Near, atau Mello.
Aku menginginkan
itu. Karena, “aku mencintaimu, Misa.” kata-kata itu terucap dari mulutku, dan
tampaknya terdengar oleh Misa. Karena Misa menoleh mencari-cari sumber suara
itu.
Tapi akhirnya,
dia menghela nafas panjang dan tersenyum. “Mungkin hanya bayanganku.” katanya.
Lalu, dia melanjutkan, “tapi, aku juga mencintaimu, Light. Dan akan selalu
mencintaimu.” dan saat mendengar itu, rasanya sakit di sekujur tubuhku hilang.
Tergantikan oleh sakit tak tertahankan di dadaku.
...
But, it was late
Because you and her has been separated by time and
space...
...
Sakit di tubuhku
tak juga hilang. Namun, itu terobati karena Misa setiap hari selalu datang ke
makamku.
Entah mengapa,
tubuhku tak juga habis terbakar. Padahal rasanya sudah terlalu lama aku
merasakan sakit itu. Mungkin dalam ukuran manusia di sekitarku, sudah setahun.
Suatu hari, aku
mencari seseorang yang kuharapkan datang ke tempatku. Namun, sampai matahari
tenggelam, aku tak menemukannya. Apa mungkin dia telah melupakanku?
Keesokan paginya
aku menemukan hal yang berbeda. Tanah di sebelah makamku digali, dan sesosok
mayat dibenamkan di dalamnya. Di nisan itu tertulis nama yang kukenal. Misa
Amane.
Aku tersentak
melihat nama itu. Mungkinkah dia mati?
Membayangkan
saat-saat terakhirnya melahirkan sensasi tersendiri dalam hatiku. Rasanya
sangat buruk membayangkan dia merintih kesakitan karena kematian.
Tapi, Misa juga
menggunakan death note. Mungkinkah dia juga akan mengalami apa yang kualami?
Itu malah
membuatku semakin khawatir. Bagaimana Misa dapat bertahan dalam hukuman ini?
Sedangkan aku saja sudah merasa sampai batasku. Aku berharap, Misa tak
mengalami apa yang kualami.
Sialnya, apa yang
aku perkirakan terjadi. sehari setelah dia dimakamkan, aku melihat dia berdiri
di atas makamnya. Keadaannya mungkin sama dengan keadaanku sekarang. Karena dia
juga pemakai death note.
Dia sepertinya
merintih kesakitan. Namun rintihannya tak terdengar. Aku menunggu sampai ia
melihatku. Dan saat itu datang. Dia melihatku.
Kami hanya saling
tatap. Dan rasanya, itu mengurangi rasa sakitku. Dia pun tampaknya berhenti
merintih.
Mungkin sudah
terlambat mengatakannya. Tapi, aku sangat mencintaimu, batinku dalam hati.
Entah mengapa,
tapi aku mendengar sesuatu dari batinku sendiri. Aku juga mencintaimu Light. Dan akan selalu melakukannya. Aku
melihat senyum Misa dibalik rasa sakitnya. Diam-diam aku pun tersenyum.
Lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali, ‘kan?
Meskipun,
terlambat itu rasanya sakit.
-Fin-
0 Comments