Selasa, 14 Juni 2016

Great Detective (Chapter 1)

New York, Amerika Serikat

Pagi itu Naomi berjalan di trotoar kota New York. Sudah setahun ia tinggal di Negara ini. Tak pernah sedikitpun ia menginjakkan kaki di Jepang lagi. Rasa rindu itu mulai menyergap. Ia rindu pada kakaknya yang suaranya hanya bisa ia dengar melalui telepon. Itupun tak lama, karena biaya telpon international sangat mahal.
Sebenarnya Yukiko dan Yusaku masih sering berkunjung ke Jepang. Biar bagaimanapun mereka tidak bisa tenang jika putra sulungnya itu tinggal sendirian di Jepang dalam usia semuda itu walaupun ia telah dititipkan kepada Hiroshi Agasa, tetangga sebelah rumah mereka di Jepang. Tapi, Naomi tidak pernah ikut. Entah, karena alasan apa ia tidak diizinkan ikut oleh ibunya. Seperti saat ini. Ibu dan ayahnya sedang pergi mengunjungi Shinichi, dan lagi-lagi ia harus tinggal sendirian.
“Aaaaa………!!!!!!” teriakan panjang terdengar menggelegar membuyarkan lamunan Naomi tentang Jepang.
Naomi berlari mencari sumber suara itu. Dia berbelok ke jalan sempit diantara sebuah gedung dan sebuah kedai sederhana.
Dan ia sangat terkejut melihat mayat yang ada di hadapannya. Seorang laki-laki berkulit gelap, mati dalam keadaan berdiri dengan lutut agak tertekuk. Pisau tertusuk di dadanya, langsung menghujam jantungnya. Yang berteriak tadi adalah seorang wanita yang hendak membuang sampah dari kedai di sebelah gedung.
“Siapa yang melakukan ini?” tanya Naomi dalam bahasa Inggris pada wanita di depannya yang terduduk kaku.
“Steve… STEVE…!!!!” wanita itu berteriak. Wanita itu hendak memeluk mayat ketika Naomi mencegahnya.
“Jangan…!!!” teriak Naomi lantang. “Jangan rusak TKP sampai polisi datang.” Naomi lalu menarik tubuh wanita itu dan menelepon kepolisian setempat.
Sepuluh menit kemudian polisi tiba. Tim forensik langsung memeriksa mayat setelah mengambil gambar TKP. Sedangkan, Ervand Daender, Inspektur Kepolisian yang sudah sangat akrab dengan Naomi berkata dengan serius. “Korban adalah Steve Richardo, usia 27 tahun. Pekerjaan Direktur Utama sekaligus putra tunggal pemilik Hotel Raysky. Siapa yang pertama kali menemukan korban?”
“Wanita ini, Sir. Ketika ku interogasi, namanya adalah Adara  Christelle, usia 25 tahun, pekerjaannya pelayan kedai Croissant. Hubungannya dengan korban adalah mereka sepasang kekasih. Tetapi, rencananya mereka akan berpisah.” jawab Naomi. “Bagaimana perkiraan kematiannya ?” tanya Naomi pada Tim forensik.
“Sekitar satu jam yang lalu. Belum lama. Tapi, karena ditusuk di jantungnya, orang ini meninggal seketika.” Jawab tim forensik.
“Tapi, sepertinya kekakuannya menunjukkan bahwa ia telah dibunuh lebih dari tujuh jam yang lalu. Bagaimana perkiraan kematiannya bisa salah?” Inspektur Daender melontarkan protes.
“Karena, korban mati dalam keadaan berdiri.” Jawab Naomi dengan pandangan menerawang. Lalu, ia melanjutkan. “Biasanya, mayat itu kaku dalam posisi duduk atau terbaring. Berbeda jika situasinya adalah mati ketika melakukan olahraga berat. Protein akan cepat mengeras. Dan kekakuannya-pun akan sama dengan kematian tujuh jam yang lalu. Bisa saja ia mati dalam keadaan berdiri. Sepertinya anda pernah mendapat pelajaran seperti itu sebelum menjadi polisi, Inspektur.” ujar Naomi pada Inspektur Daender, yang sepertinya sedang menahan rasa malunya.
“Bagaimana analisamu, Naomi?” tanya Inspektur Daender yang sudah sangat memahami Naomi. Selama tinggal di Amerika, Naomi banyak membantu kepolisian setempat dalam memecahkan berbagai kasus.
“Entahlah, ada terlalu banyak poin yang aneh dalam kasus ini. Pertama, korban mati dalam keadaan setengah berdiri, lututnya tertekuk hampir terduduk. Tidak benar-benar berdiri seperti kata tim forensik. Kedua, bekas seperti lilitan tali halus di perutnya. Ketiga, mayat berbau harum parfum. Keempat, tidak terlihat bekas keringat pada tubuh korban. Harusnya, jika ia memang benar-benar dibunuh ketika melakukan olahraga berat, ada bekas keringat di satu tempat yang rentan keringat. Di tempat panas seperti ini, sulit untuk mengeringkan keringat dengan cepat. Dan, kelima aku menemukan ini di TKP…” ujar Naomi sambil mengeluarkan beling dari saku jaketnya. Naomi tak berminat untuk mengatakan keanehan lain yang dirasa lebih penting, karena takut kalau si pelaku masih berada di sekitar TKP dan mendengarnya. Tentang celana korban…
Inspektur Daender dan tim forensik mengamati benda yang ada di tangan Naomi yang diselimuti sarung tangan. Sedangkan Ramon, Reserse kepolisian New York masih menahan Adara Christelle sambil memeriksa alibinya sejam yang lalu. “Apa itu Naomi?” tanya Inspektur.
“Aku tidak tahu pasti. Tapi, pasti pecahan ini tadinya berbentuk sebuah botol yang cukup besar. Terlihat dari bentuk lengkungan ini.” Naomi terdiam beberapa saat. Ia lalu menghampiri Reserse Ramon. Diam-diam Naomi memperhatikan Miss Christelle. Ia tampak tenang. Tapi, Naomi justru merasa kalau wanita ini terlalu tenang. Sesuatu yang terlalu wajar justru mencurigakan. Itulah prinsip Naomi.
“Bagaimana Alibinya, Sir?” tanya Naomi pada Reserse Ramon setelah Miss Christelle diperiksa oleh tim forensik.
“Alibinya sangat kuat. Sejak sejam yang lalu ia ada di dalam kedai Croissant. Dia sedang bersama koki lainnya, hingga ia memutuskan untuk membuang sampah di TKP. Para koki memastikan alibinya. Dan baru saja pegawaiku melaporkan bahwa alibinya sempurna. Lima menit sebelum kau menelepon kami, ada fax dari pengirim tak dikenal di kedai Croissant itu. Dan saat itu, Christelle masih berada di dalam kedai.” Reserse Ramon menjelaskan pada Naomi.
Naomi merasa ini bukan kasus biasa. Jadi, ia memutuskan untuk menyimpan analisis sementaranya dalam otak. Ia lalu mengangguk pada Reserse Ramon.
Naomi berkeliling di sekitar TKP. Ia berusaha mencari sesuatu yang berbeda dari biasanya. Atau, sedikit saja yang janggal. Tapi, karena ia tidak mengenal daerah itu, ia tidak mendapat petunjuk apa-apa. Hanya ada beberapa pertanyaan Mengapa? yang sedari tadi menggema di otaknya.
Reserse Ramon berlari dengan agak terburu-buru menghampiri Inspektur Daender. “Inspektur, kami sudah menemukan tiga orang lain selain Miss Christelle yang memiliki motif untuk membunuh korban. Satu diantara mereka memiliki alibi yang sangat kuat.” lapor Reserse Ramon.
“Panggil tiga orang itu kesini!” perintah Inspektur Daender.
Naomi tetap diam. Ia mencoba mencari rantai penghubung diantara fakta-fakta yang terkumpul.
Akhirnya, ia memutuskan untuk sarapan di kedai croissant tempat Miss Christelle bekerja sambil sedikit mengorek informasi, sementara wanita itu masih dimintai keterangan terkait kasus itu.
“Hei, kau tahu kenapa gerobak sampah itu berkeliling lebih pagi?” tanya seseorang pada kasir yang sedang sepi pengunjung. Pengunjung kedai itu hanya beberapa orang. Mungkin karena mendengar ada yang terbunuh. Mereka jadi takut atau tidak ingin berurusan dengan polisi.
“Entahlah. Mungkin petugas sampah itu takut karena menemukan mayat, sehingga hari ini ia pergi lebih pagi. Yang jelas aku menderita kerugian karena jarang pengunjung, dan sepertinya sampah lagi-lagi menumpuk.” Jawab petugas kasir itu. Naomi menajamkan telinganya.
Dan Naomi berusaha untuk masuk dalam obrolan itu. “Excuse Me…” Sapa Naomi sopan. “ Saya mau tanya. Memang di sini ada gerobak sampah ya?” Naomi bertanya dengan bahasa Inggris yang sopan.
Kasir dan wanita yang mengobrol dengannya sontak bingung karena aksi Naomi yang terkesan ikut campur. Tapi Petugas Kasir itu menjawab, “Di Houg street memang begitu.” dahi Naomi berkerut. Houg? Nama tempat Ini? “Kami, para warga sepakat iuran untuk membeli sebuah gerobak yang digunakan untuk menampung sampah. Setiap pagi, petugas yang kami gaji dari uang hasil iuran berkeliling membawa gerobak sampah itu di sekitar Houg Street.” Kasir itu terdiam sejenak.”Biasanya, sih petugas sampah berkeliling setiap jam tujuh pagi.”
“Jam tujuh?”
“Ya, jam tujuh pagi. Dan setelah selesai berkeliling, gerobak itu akan diletakkan di depan taman kota. Setelah jam tujuh malam, gerobak itu dibawa ke tempat pembuangan sampah kota dan dikembalikan lagi ke belakang kedai. Tapi, jangan salah, walaupun namanya gerobak, tapi gerobak kami benar-benar sangat indah.”
“Indah?”
“Ya, kami warga Houg Street menghiasnya.” ujar Kasir itu dengan bangga.
“Sorry, Miss! Katamu tadi sampah lagi-lagi menumpuk. Apa maksudnya? Bukankah kalau tempat asal gerobak itu adalah di belakang kedai ini sampah bisa dibuang ketika gerobak telah kembali kesini?” Tanya Naomi dengan mimik berusaha menyamarkan raut serius. Seperti kata Sherlock Holmes, yang intinya jika kita tidak terlihat bertanya serius dan mencoba untuk mendengarkan keluhan narasumber, maka kita akan mendapat info lebih dari yang kita perlukan.
“Kan sudah kubilang tadi. Biasanya gerobak berkeliling jam tujuh pagi. Tapi, tadi pagi jam setengah tujuh pagi gerobak itu telah lenyap. Dan, baru akan kembali sekitar jam tujuh malam. Kedai ini tutup jam 4 sore, Nona! Saat gerobak itu kembali ke belakang kedai ini, para pegawai sudah pulang seluruhnya.” jawab Kasir itu santai.
“Tapi, kenapa diletakkan di belakang kedai ini?” tanya Naomi dengan nada seakan tak peduli.
“Agar tidak mengganggu pemandangan kota Houg Street. Bahkan, gerobak itu dikembalikan kesini melewati jalur belakang.” jawab Kasir itu.
“Jalur belakang?”
“Ya, jalur itu adalah jalur tembus dari Garbager ke Taman kota.”
“Garbager?”
“Ya, Garbager adalah nama tempat di belakang kedai ini. Jalur belakang itu namanya BackHoug Street. Jalan itu memang sempit dan lebih sering ditutup. Membukanya agak sulit, karena pintu itu sangat berat dan berkarat. Akupun belum pernah melihat pintu itu terbuka. Tapi, anehnya, tanpa melewati Houg Street, gerobak sampah kami sampai di Garbager. Bisa disimpulkan bahwa para tukang sampah itu melewati BackHoug Street, ‘kan ?” ujar Kasir itu.
Naomi mengangguk.
“Eh, bukankah rute sampah belakangan ini terbalik ya?” tanya teman si Kasir.
“Terbalik?” gumam Naomi.
“Ya, terbalik. Sepertinya seminggu terakhir ini rutenya dimulai dari taman kota, bukan dari Garbager.” sahut Petugas kasir. “Memang ada apa, Miss?” tanya Kasir itu.
“Ah, tidak. Aku hanya tertarik pada warga Houg Street yang sangat peduli kebersihan.” ujar Naomi berkelit. Petugas kasir dan temannya hanya tersenyum simpul.
Naomi-pun memberikan senyum termanisnya.  Ia menyudahi pembicaraan dengan kasir itu dan mencerna kata-katanya baik-baik. Hingga teleponnya berdering.
“Halo…” kata suara di seberang.
“Iya, Bu. Ada apa?” Naomi menyahut dalam bahasa Jepang.
“Apa kau terlibat kasus lagi Naomi?” tanya Yukiko penuh selidik.
“Ya, begitulah seperti biasanya.” jawab Naomi santai.
“Huh, kamu, Shinichi, dan Yusaku sama saja ya. Gila misteri.” cela Yukiko.
“Bukankah, kau juga Night Baroness?” sahut Naomi dengan nada menggoda.
“Ya, begitulah. Kepintaran otak Night Baroness-lah yang selalu dibutuhkan.” Yukiko menyombongkan diri. Ia lalu melanjutkan, “Baiklah Detektif, selesaikan kasusmu dan sambutlah kami yang akan pulang besok.”
“Ya, ya. Aku akan menyambut ayah dan ibu.”
“Ya sudah sampai besok Naomi!”
“Sampai besok!” Naomi menutup teleponnya dan segera waspada. Ia merasa diawasi. Bukan hanya oleh satu orang, dia merasa diawasi oleh lebih dari satu orang.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke taman kota dan mencari gerobak itu.
Seorang pria berbaju hitam tatapannya mengikuti kepergian Naomi dari kedai itu. Tak lama kemudian, ia pun meninggalkan kedai dan menyusul Naomi.

*

Naomi menemukan gerobak itu. Ia segera menyingkap sampah-sampah di dalamnya. Tak peduli akan seperti apa baunya nanti. Yang terpenting baginya sekarang adalah mengungkap kenyataan kasus ini.
Dan, ia-pun menemukan jawabannya. Bagian dalam tempat sampah itu memiliki papan penahan yang mungkin digunakan untuk menyangga tutup. Dan bagian atas gerobak itu berlubang seperti jaring.
“Eh, sampah hari ini sepertinya banyak sekali, ya?” ujar salah seorang pengunjung taman kota.
“Ya, lagipula baunya itu agak bercaampur amis. Padahal, ini masih pagi.” jawab yang di sampingnya.
Naomi berpikir, lalu beberapa detik kemudian tersentak. Lagi-lagi, ia merasa diawasi oleh lebih dari satu orang. Ia memutuskan untuk kembali ke TKP, dan mendengar profil dari tiga tersangka yang memiliki motif tersebut. Dia berjalan perlahan. Tidak peduli pada orang yang mengikutinya tersebut. Toh, Kota New York itu sangat ramai. Ia tak mungkin diserang dalam keadaan seramai itu.
Naomi tiba di TKP. Ia melihat dua orang pria dan satu wanita yang bersama Reserse Ramon.
“Bagaimana Naomi?” tanya Reserse Ramon yang usianya baru 20 tahun itu.
“Entahlah, Sir.” Naomi menggeleng pasrah.”Kasus ini masih gelap.” Ia terpaksa bertampang murung dan bersikap seolah kasus ini gelap baginya, agar orang yang mengikutinya itu tidak curiga.
“Siapa saja tiga orang itu?” tanya Naomi pada Reserse Ramon sambil menunjuk perlahan tiga tersangka itu.
“Yang wanita, Eryn Holke. Usia 25 tahun. Pekerjaannya adalah resepsionis hotel Raysky. Motifnya adalah, Ayahnya meninggal dunia karena tertabrak oleh mobil Steve yang sedang mabuk. Sebenarnya, ayahnya meninggal bukan karena tertabrak, tapi karena serangan jantung. Sebelum sempat tertabrak, ayah Eryn sudah terkapar karena terkejut, dan meninggal seketika.
“Laki-laki yang memakai baju biru. Namanya, Jhonas Louise, usia 26 tahun. Pekerjaannya adalah wakil direktur Hotel Raysky. Dia satu-satunya yang memiliki alibi, karena pada waktu kejadian dia sedang bersama keluarga dan baru berpisah jam 06.30 tadi. Menurut keluarganya, tak ada satupun tingkah Mr. Louise yang aneh. Motifnya adalah, jabatan Direktur yang akan dia dapatkan.
“Laki-laki yang memakai baju hitam. Namanya, Andre Dorris, usia 27 tahun pekerjaannya adalah pelayan restoran Jepang yang ada di Grave Street. Motifnya adalah, karena ia terlilit hutang pada korban. Ia tidak memiliki alibi.
“Tapi, Naomi. Sepertinya, Miss Christelle itu juga patut dicurigai. Ia-lah yang memiliki motif terkuat. Ia akan mewarisi seluruh harta keluarga Richardo jika Steve meninggal, karena kedua orang tua Steve sudah meninggal terlebih dahulu.”
“Bagaimana Meninggalnya?” tanya Naomi.
“Mereka terbunuh dalam kecelakaan dan mobil mereka terbakar setelah masuk ke dalam jurang.” Jawab Reserse Ramon. Ia lalu kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara Naomi terdiam.
Ia memikirkan kedua orang tuanya yang meninggal 5 tahun lalu. Memang, itu adalah kecelakaan pesawat, tapi ia yakin, sangat yakin bahkan, kalau seandainya pesawat itu tidak mengalami kecelakaan, ayah dan ibu kandungnya akan tetap ditemukan sebagai mayat karena dibunuh oleh mereka…
Naomi memutuskan untuk mencari info tentang keempat tersangka itu. Pertama, ia  menuju Hotel Raysky. Hotel tempat korban bekerja. Ia hanya berkeliling melihat-lihat sekeliling hotel sambil menajamkan telinga. Kalau-kalau ada petunjuk yang bisa di dengarnya.
“Huh, gara-gara Eryn nggak masuk kerja, kita jadi kebagian rugi, nih! Kerjaan banyak kayak gini.” keluh salah seorang resepsionis.
“Iya. Dia kan karyawan yang paling rajin. Sepanjang ia bekerja, ia tak pernah mengeluh.” sahut resepsionis yang lain. Rupanya mereka sedang merekab ulang data tamu hotel dari dua tahun yang lalu.
“Kata siapa dia nggak mengeluh. Terkadang aku lihat dia berkata lelah, capek. Itu kan wajar. Memangnya dia robot.” sahut resepsionis pertama.
“Tapi, Eryn itu sabar ya. Walaupun setahun lalu ayahnya meninggal karena Mr. Richardo, sepertinya ia tidak menyimpan dendam.” ujar resepsionis kedua.
Naomi tidak menangkap keanehan dari tersangka pertama. Jadi, ia memutuskan untuk melanjutkan berjalan santai. Ia merasa sudah hampir menyelesaikan kasus ini. Tapi, sepertinya ada hal yang mengganjal. Hal yang sangat penting.
Setelah satu jam berada dalam hotel itu, Naomi tidak mendengar atau menemukan sesuatu yang penting berkaitan dengan Jhon Louise. Ia hanya mendapat informasi kalau Jhon Louise adalah karyawan teladan yang tidak pernah terlambat sampai kantor meski rumahnya jauh, dan segala pujian lainnya.
Jadi, Naomi memutuskan untuk menuju Grave Street sekaligus makan siang.
Naomi memesan Nasi Kare dan duduk dengan tenang menunggu pesanannya. Ia memperhatikan sekelilingnya. Berusaha mencari orang yang mengikutinya sejak di kedai croissant. Tapi, dia tak menemukan apa-apa.
“Huh, aku heran pada Dorris. Dia sepertinya telah menbuang sampah-sampah baunya itu. Tapi, untuk apa ya dikumpulkan kalau akhirnya dibuang.” Naomi tersentak mendengar perkataan Manager tersebut. “Lagipula, kemarin kata-katanya sangat aneh. Dia tersenyum sendiri dan sangat bahagia.” lanjut Manager itu lagi pada Kasir. Naomi merasa mengerti kasus ini. Sangat mengerti. Seulas senyum terpancar dari wajah Naomi. Setelah menelesaikan makannya, ia meninggalkan kedai itu dan segera menuju TKP. Sekali lagi, sepasang mata milik seorang berbaju hitam memperhatikannya…

*

Naomi membisikkan sesuatu di telinga Reserse Ramon dan memulai aksi analisisnya.
“Andre Dorris! Kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Mr. Richardo.” bentak Reserse Ramon. Andre Dorris terkesiap.
Naomi lalu berkata. “Jawabannya sangat mudah. Karena Mr. Louise dan Miss Christelle memiliki alibi pada jam kejadian, dan Miss Holke, menurut penyelidikanku tidak terlihat menyimpan dendam, hanya kaulah pelaku yang tersisa. Berarti kaulah pelakunya.” ujar Naomi dengan santai.
“Omong kosong! Aku ditangkap hanya karena perkataan anak kecil ini? Apa kalian sudah gila?” maki Mr. Dorris.
“Tidak, dia bukan hanya sekedar anak SMP biasa. Dia memiliki otak brilliant.” bela Reserse Ramon.
“Jelaskan pembelaanmu di depan hakim. Kami akan mengumpulkan seluruh bukti.” ujar Inspektur Daender. Andre Dorris-pun digiring dengan paksa ke mobil patroli. Naomi mengedipkan mata pada Reserse Ramon dan tersenyum puas. Ia lalu masuk ke mobil Patroli dan ikut ke kantor polisi untuk memberi keterangan.
Mr. Louise, Miss Christelle, dan Miss Holke bubar dari TKP.

*

Naomi memakai jaket yang telah disiapkannya sebelum keluar dari kantor polisi. Ia menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk rencananya. Naomi keluar sambil berjalan kaki. Menuju tempat itu. Tempat yang telah dipikirkannya sedari tadi.
Ia masih merasa ada yang mengikutinya. Tapi, biarlah. Toh itu memang caranya untuk memancing kawanan tikus itu keluar dari kandangnya.
Naomi berbelok ke sebuah gang di Grave Street dan membuka sebuah pintu kayu yang membuka sebuah jalan. Jalan yang mungkin tak pernah diketahui oleh orang-orang di Grave Street.
Naomi sampai di pertigaan jalan. Tanpa ragu, ia mengambil jalan lurus. Jalan perlahan melebar. Yang tadinya hanya cukup untuk dua buah sepeda motor, sekarang cukup untuk tiga buah.
Diterangi oleh sinar bulan, Naomi bisa melihat bercak-bercak darah, semakin ia mendekati jalan keluar.
Akhirnya, ia sampai di depan pintu besi. Pintu pengecoh itu. Ia membuka pintu kayu di sebelah Pintu besi itu, dan ia sampai di Garbager. Tempat mayat itu ditemukan.
Tepat saat Naomi melangkah masuk, ia merasakan pistol ditembakkan ke arahnya. Ia lalu menghindar ke kanan. Naomi meraba revolver berperedam yang telah disiapkan di balik jaketnya dan menembak ke arah tembakan tadi berasal. Lalu terdengar lagi dua tembakan dari arah berbeda menancap tepat di perut Naomi. Untungnya, ia sudah memakai jaket anti peluru yang dirangkap dengan D-pad. Dia menembakkan pelurunya ke empat arah yang berbeda sampai dirasakannya lehernya dicengkeram kuat. Dan mulut pistol berperedam di arahkan ke pelipisnya.
“Bocah Sialan!” geram orang yang mencengkeram leher Naomi. Itu adalah Jhon Louise.
“Aku tahu siapa kau. Dan, bagaimana terjadinya kasus ini sampai detail-detail terkecil.” Ujar Naomi masih sempat menyombongkan diri.
“Simpan saja pengetahuanmu, dalam kuburmu!” ancam orang itu.
Naomi bersiap memejamkan mata. Menunggu saat-saat terakhirnya. Dan…
DOOORRR !!!
Shotgun ditembakkan. Merubuhkan Jhon Louise. Sesosok pria berbaju hitam dan bertopi rajut hitam menghampiri Naomi. Dia melemparkan Revolver sambil berkata dalam bahasa Jepang, “Pelurunya ada lima. Kau sniper yang cukup hebat. Selamatkan dirimu dari enam tikus berbahaya ini.”
Naomi menangkap revolver itu dan termenung beberapa saat. Sebelum akhirnya ia sadar.
Terjadi baku tembak yang sengit antara Naomi dan Pria itu dengan Enam orang ‘tikus’ itu.
Jhon Louise sekarang sudah mampu berdiri, walaupun sepertinya tulang rusuknya patah. Meski ia memakai jaket anti peluru, tapi rasanya peluru shotgun yang ditembakkan Pria berbaju dan bertopi rajut hitam itu cukup berpengaruh.
Entah dari mana Naomi belajar cara menembak. Yang jelas tembakannya 98% tepat sasaran. Ia juga tidak tahu, darimana ia mendapat ide untuk membawa revolver berperedam di kantor polisi tadi. Ia mengambilnya dari meja Reserse Ramon, dia merasa akan membutuhkannya. Beberapa tembakan Naomi mengenai tubuh para ‘tikus’. Tapi, karena mereka memakai jaket anti peluru, mereka aman dari luka serius.
Sampai dirasa tak ada lagi yang mampu bergerak diantara mereka berenam. Naomi dan pria itu mengambil senjata para ‘tikus’ dan menelepon kepolisian New York. Diantara para ‘tikus’ itu, selain ada Jhon Louise ada pula Eryn Holke dan Adara Christelle. Dua wanita yang terlihat sangat kalem itu.
“Bagaimana sebenarnya kasus ini, Naomi?” tanya Inspektur Daender. Ia juga membawa Andre Dorris yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka.
“Sebenarnya,” Naomi mulai berbicara,”mereka berenamlah pelakunya. Mereka adalah suatu organisasi kejahatan kecil yang mengincar harta. Mungkin, Steve Richardo adalah korban pertama mereka sekaligus kelinci percobaan. Mereka memilih Mr. Richardo karena menurut Jhon Louise, pemimpin organisasi ini dia cukup kaya.
“Mereka mulai mencari orang yang memiliki dendam pada Mr. Richardo. Dan, didapatlah Miss Holke. Miss Holke akhirnya ditawari untuk masuk organisasi itu dengan embel-embel mereka akan mengabulkan keinginan Miss Holke untuk membunuh Mr. Richardo tanpa membuatnya ditangkap polisi.
“Awalnya, kita menduga bahwa Steve Richardo dibunuh jam 05.00 pagi pada saat jogging, karena mayat ditemukan dalam keadaan berdiri. Kenyataannya, mayat tidak sepenuhnya berdiri, lagipula pakaiannya tidak cocok seperti orang yang sedang jogging.
“Yang membuatku tertarik adalah kata-kata pemilik kedai croissant yang menyatakan bahwa hari ini gerobak sampah pergi terlalu pagi. Dan juga, walaupun masih pagi gerobak sampah itu sudah penuh. Aku lalu menyelidiki gerobak misterius itu dan mendapatkan jawabannya.
“Gerobak itu bukan berangkat lebih pagi, tapi sengaja disembunyikan Di BackHoug Street untuk sedikit dibersihkan dari sisa darah.”
Perkataan Naomi disela oleh Inspektur Daender, “Maksudmu, TKP-nya adalah gerobak itu?”
“Exatly-!” jawab Naomi semangat. “Direktur itu sudah dibunuh dari malam sebelumnya. TKP sebenarnya adalah BackHoug Street, yang ternyata terhubung dengan Jalan Rahasia di belakang restoran tempat Andre Dorris bekerja, dan juga terhubung dengan taman kota.
“Jarang ada orang yang mengetahui tentang jalan rahasia itu. Pintu masuknya-pun tersamarkan. Orang mengira, kalau pintu masuknya adalah besi yang berkarat itu, ‘kan?” Naomi bertanya.
Semua polisi yang ada di tempat itu mengangguk.
“Tapi,” lanjut Naomi,”Nyatanya, tak ada orang yang pernah melihat pintu itu di buka. Aku tahu dari petugas Kasir tempat Miss Christelle bekerja.
“Lalu, aku berfikir, berusaha menyingkirkan semua hal yang mustahil. Dan, tersisalah satu hal yang lebih mustahil. Namun, aku yakin itu adalah kebenarannya.
“Pintu masuk sebenarnya adalah papan kayu yang ada di sebelah pintu besi berkarat. Jujur, memang agak sulit menemukan tombolnya.”
“Tombol?” lagi-lagi Inspektur Daender menyela.
”Ya. Jika… oke mungkin tidak cocok dikatakan sebagai tombol. Jika satu bagian kayu ditekan, maka kayu itu akan bergeser. Seperti ini…” Naomi mempraktekkan membuka pintu yang tadi sempat ditutupnya sebelum polisi datang.
Semua polisi yang ada disana termasuk Andre Dorris tercengang. Setelah pintu itu terbuka, tampak jalan yang agak sempit terbentang jauh ke depan.
“Oke, kembali ke kasus.” ujar Naomi. ”Jhon Louise, Eryn Holke dan Adara Christelle malam itu memanggil Direktur Richardo. Mereka mungkin berkata, kalau orang-orang tahu ada jalan rahasia di belakang hotel Raysky, pengunjung pasti makin banyak. Tapi, mereka malah membunuh Direktur dengan keji di BackHoug Street. Pada gerobak itu, ada semacam penahan yang panjangnya 50 cm dari dasar. Untuk membuat mayat seakan berdiri, mereka hanya perlu menyandarkan mayat pada penahan tersebut dan mengikatnya. Itu sebabnya pada perut dan leher korban ada bekas ikatan tali halus.
“Lalu, pagi harinya, mereka memerintahkan tiga orang lainnya untuk menata mayat sedemikian rupa dan membawa gerobak itu bersembunyi di Houg Street. Gerobak itu dibersihkan dan dibawa ke Grave Street untuk mengambil sampah yang telah ditumpuk selama berhari-hari oleh Mr. Louise.”
“Jadi, orang ini terlibat?” tanya Inspektur Daender.
“Tidak, aku tidak terlibat. Aku hanya dijanjikan uang jika berhasil mengumpulkan sampah minimal selama 5 hari dari kedaiku.” Andre Dorris membela diri.
“Omong kosong!” bentak Inspektur Daender.
“Tidak. Dia jujur, Inspektur!” lagi-lagi ucapan Naomi membuat para polisi tersentak. “Dia memang hanya dijanjikan uang. Tanpa tahu, jika saja tidak ada aku, dia akan dijanjikan kehidupan seumur hidup di penjara karena dituduh melakukan hal yang tidak dilakukannya. Sementara, si pelaku sendiri berfoya-foya dengan harta.
“Mungkin, Mr. Dorris diberi surat kaleng atau semacamnya. Sebenarnya, tentang Mr. Dorris yang ternyata memiliki motif adalah semacam keberuntungan bagi para pelaku. Kalaupun tidak ada Mr. Dorris, mereka akan mencari pelayan lain di restoran itu yang bisa dimanfaatkan untuk menghindarkan segala bukti dari mereka.
“Mr. Dorris-pun diberitahukan tanggal sampah itu akan ditukar dengan uang yang dijanjikan. Makanya, sehari sebelum tanggal jatuh, Mr. Dorris terlihat sangat senang, menurut manager restoran.
“Setelah mengambil sampah itu, tukang sampah, yang juga merupakan salah satu dari enam orang ini membawanya melewati taman kota dengan rute terbalik dari biasanya. Untuk menghindari kecurigaan, dari seminggu sebelumnya ia juga berputar dengan arah terbalik agar tidak terlalu mencolok.
“Jika biasanya rute berputar sampah dari Garbager berputar ke taman kota, seminggu terakhir ini menjadi dari taman kota berputar lagi dan baru kembali ke Garbager.
“Kembali ke persoalan Miss Christelle. Tanda bahwa Miss Christelle harus ke TKP buatan adalah dengan mengirimkan fax kosong. Selain untuk memberi kode, fax itu dimaksudkan untuk membuat alibi yang sempurna untuk Miss Christelle. Dan setelahnya, seperti yang kita tahu.
“Untuk menghindarkan kecurigaan dari Mr. Louise, ia juga membuat alibi dengan cara berangkat ke kantor lebih lambat dari biasanya. Aku tahu dia sengaja datang terlambat karena alibinya dibuktikan oleh keluarganya. Dan menurut keluarganya, dia tidak terlihat aneh. Padahal kita tahu, dari rumahnya ke hotel raysky membutuhkan waktu lebih dari sejam. Dan itu artinya dia akan terlambat. Tapi, ia masih bersikap biasa saja dan tetap santai.
“Sedangkan, untuk menyelamatkan Miss Holke dari kecurigaan. Ia tinggal bersikap seolah tidak menyimpan dendam pada Direktur. Di depan karyawan, ia bersikap seolah dia telah memaafkan ketidaksengajaan Direktur. Walaupun, sebenarnya ia hanya menunggu waktu yang tepat.
“Jadilah, semua bukti dan kecurigaan mengarah pada Mr. Dorris.” Naomi menutup penjelasannya.
“Bukti apa?” tanya Inspektur Daender.
Naomi menarik nafas panjang dan berbicara, “Jika tingkah laku tersangka diselidiki, akan terbuka bukti tentang adanya keterlibatan gerobak sampah itu. Jika diselidiki terdapat reaksi luminol, dan banyak saksi yang menyatakan kalau sejak pagi gerobak itu telah penuh, polisi akan mencari tersangka yang mengumpulkan sampah, yang tujuannya adalah untuk menyembunyikan bekas darah. Dan, ditangkaplah Mr. Dorris.”
“Dari mana kau tahu mereka berkomplot?” tanya Inspektur Daender lagi.
“Karena, aku melihat ekspresi santai mereka bertiga saat diinterogasi polisi. Aku merasa mereka sudah menyiapkan diri. Seakan sudah tahu kalau mereka akan diinterogasi. Lagipula, salah satu dari mereka berenam mengikutiku.
“Karena aku tahu mereka bekerja dengan sangat rapi dan penuh perhitungan, aku memiliki sebuah rencana. Aku ingin memberi isyarat pada mereka kalau aku sama sekali tak memahami kasus ini. Dan menunjukkan seakan aku terjebak permainan mereka. Lalu, kutuntun mereka agar mereka mengira kalau aku telah menemukan jalan rahasia itu. Dan… ternyata mereka berniat menyerangku. Makanya, aku meminjam jaket anti peluru dan dirangkap D-pad. Oh iya. Maaf! Tanpa izin aku mengambil revolver dari meja Reserse Ramon.” Ujar Naomi sambil tersenyum.
“Dalam kasus ini aku berprinsip, biarlah pelaku lepas dahulu, untuk menangkapnya sampai ke akar.” Tambah Naomi lagi.
Inspektur Daender memuji kecerdasan Naomi. Ia bahkan lupa kalau Naomi telah menggunakan revolver tanpa izin. Sekali lagi, ia kagum pada putri bungsu novelis terkenal Yusaku Kudo.
Serangkaian kasus yang membuka banyak misteri-pun selesai dengan akhir bahagia. BackHoug Street rencananya akan dibuka untuk umum untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi.
Naomi dan Pria berbaju dan bertopi rajut hitam ikut bersama polisi untuk diinterogasi. Pria itu mengaku bernama Shuichi Akai, seorang agen FBI asal Jepang yang memang sedang menyelidiki organisasi baru itu. Tepat seperti yang dikatakan Naomi, mereka adalah organisasi yang mengincar harta bernama Gold Organization. Dan, Steve Richardo adalah korban pembunuhan pertama mereka.
Tapi, dua minggu yang lalu mereka sempat hampir merampok salah satu Bank di New York. Untungnya, kebetulan agen FBI sedang berada disana. FBI lalu menyelidiki lebih jauh untuk mencegah organisasi itu berkembang menjadi semakin ganas.
Total anggota Organisasi itu bertotal 20 orang. Dan, malam itu juga kepolisian New York menyergap seluruhnya di markas yang diberitahu Jhon Louise.
Sekitar pukul 11 malam, Naomi dan Shuichi Akai dipersilahkan pulang. Mereka berjalan menuju arah yang sama. Berjalan di sebuah jalan yang sepi. Mereka tidak banyak bicara sampai Shuichi membukanya dengan bahasa Jepang.
“Kau sniper, Nona?”
“Oh, bukan.” Jawab Naomi santai juga dengan Bahasa Jepang sambil merapatkan jaketnya. “Eh, kau agen FBI?” tanya Naomi.
“Ya. Ada apa?”
“Ah, tidak. Hanya saja…” kalimat Naomi terputus. Shuichi masih menunggu lanjutannya. “Ayah kandungku mantan agen FBI.” Lanjut Naomi dengan nada berat.
“Mantan?” dahi Shuichi berkerut.
“Ya, ayahku meninggal dalam kecelakaan pesawat 5 tahun yang lalu.”
“Kenichi Nagishi…” gumam Shuichi. Naomi kaget mendengar gumaman yang pelan namun menusuk itu.
“Dari mana kau tahu?” tanya Naomi dengan nada lemah penuh selidik.
“Begitu melihatmu, aku langsung terbayang wajahnya. Dia seniorku.”
“Apa?”
“Dia salah satu dari jajaran sniper terhebat FBI.” jelas Shuichi.
“Ayahku sniper?” Naomi mengerutkan dahinya.
“Kau tak tahu, Nona?”
Naomi menggeleng lemah. “Dia tak pernah memberi tahuku. Dan, aku tahu mengapa aku bisa menembak tepat sasaran walaupun aku tak pernah belajar menjadi sniper. Itu semua adalah penurunan dari ayahku, kurasa.”
Setelah itu, mereka hanya diam sampai akhirnya sampai di depan rumah keluarga Kudo. “Dimana rumahmu?” tanya Naomi pada Shuichi.
“Masih jauh dari sini. Aku hanya ingin memastikan kau sampai di rumahmu dengan selamat. Orang tuamu baru kembali besok kan?”
“Dari mana kau tahu kalau aku diangkat anak oleh sepasang suami-istri?”
“Dari teleponmu dengan ibumu tadi pagi. Dari situ pula aku tahu kau orang Jepang.” Shuichi terdiam sebentar.
Setelah memastikan Naomi sampai gerbang rumahnya, Shuichi beranjak pergi, namun Naomi mencegahnya. “Tunggu, Sir!”
Shuichi menoleh. “Bolehkah aku meminta sesuatu?”
Shuichi mengerutkan dahi. “Apa, Nona?”
“Aku ingin menjadi agen FBI. Dan menjadi seorang sniper.”
“Kau yakin ? Ini akan merusak masa mudamu dan membuatmu selalu terancam.” Shuichi mengingatkan.
“Tentu saja aku yakin. Kau pikir aku bercanda?”
Shuichi tak menjawab. “Temui kami di kantor besok…” ujar Shuichi sambil menyerahkan kartu namanya.
Naomi memandang punggung Shuichi yang meninggalkannya. Bahkan kita belum berkenalan secara resmi, Sir.  Pikir Naomi sambil tersenyum.

To be continued…

Chapter 2 Markas Besar FBI
Naomi mengawali perjuangannya. Dengan suatu hal yang memerlukan banyak pengorbanan…

0 comments:

Posting Komentar