Great Detective (Chapter 1)
15.49.00
New York, Amerika Serikat
Pagi itu Naomi berjalan di trotoar kota New York. Sudah setahun ia
tinggal di Negara ini. Tak pernah sedikitpun ia menginjakkan kaki di Jepang
lagi. Rasa rindu itu mulai menyergap. Ia rindu pada kakaknya yang suaranya
hanya bisa ia dengar melalui telepon. Itupun tak lama, karena biaya telpon
international sangat mahal.
Sebenarnya Yukiko dan Yusaku masih sering berkunjung ke Jepang. Biar
bagaimanapun mereka tidak bisa tenang jika putra sulungnya itu tinggal
sendirian di Jepang dalam usia semuda itu walaupun ia telah dititipkan kepada
Hiroshi Agasa, tetangga sebelah rumah mereka di Jepang. Tapi, Naomi tidak
pernah ikut. Entah, karena alasan apa ia tidak diizinkan ikut oleh ibunya.
Seperti saat ini. Ibu dan ayahnya sedang pergi mengunjungi Shinichi, dan
lagi-lagi ia harus tinggal sendirian.
“Aaaaa………!!!!!!” teriakan panjang terdengar menggelegar membuyarkan
lamunan Naomi tentang Jepang.
Naomi berlari mencari sumber suara itu. Dia berbelok ke jalan sempit
diantara sebuah gedung dan sebuah kedai sederhana.
Dan ia sangat terkejut melihat mayat yang ada di hadapannya. Seorang
laki-laki berkulit gelap, mati dalam keadaan berdiri dengan lutut agak tertekuk.
Pisau tertusuk di dadanya, langsung menghujam jantungnya. Yang berteriak tadi
adalah seorang wanita yang hendak membuang sampah dari kedai di sebelah gedung.
“Siapa yang melakukan ini?” tanya Naomi dalam bahasa Inggris pada
wanita di depannya yang terduduk kaku.
“Steve… STEVE…!!!!” wanita itu berteriak. Wanita itu hendak memeluk
mayat ketika Naomi mencegahnya.
“Jangan…!!!” teriak Naomi lantang. “Jangan rusak TKP sampai polisi
datang.” Naomi lalu menarik tubuh wanita itu dan menelepon kepolisian setempat.
Sepuluh menit kemudian polisi tiba. Tim forensik langsung memeriksa
mayat setelah mengambil gambar TKP. Sedangkan, Ervand Daender, Inspektur
Kepolisian yang sudah sangat akrab dengan Naomi berkata dengan serius. “Korban
adalah Steve Richardo, usia 27 tahun. Pekerjaan Direktur Utama sekaligus putra
tunggal pemilik Hotel Raysky. Siapa yang pertama kali menemukan korban?”
“Wanita ini, Sir. Ketika ku interogasi, namanya adalah Adara Christelle, usia 25 tahun, pekerjaannya
pelayan kedai Croissant. Hubungannya dengan korban adalah mereka sepasang
kekasih. Tetapi, rencananya mereka akan berpisah.” jawab Naomi. “Bagaimana
perkiraan kematiannya ?” tanya Naomi pada Tim forensik.
“Sekitar satu jam yang lalu. Belum lama. Tapi, karena ditusuk di
jantungnya, orang ini meninggal seketika.” Jawab tim forensik.
“Tapi, sepertinya kekakuannya menunjukkan bahwa ia telah dibunuh lebih
dari tujuh jam yang lalu. Bagaimana perkiraan kematiannya bisa salah?”
Inspektur Daender melontarkan protes.
“Karena, korban mati dalam keadaan berdiri.” Jawab Naomi dengan
pandangan menerawang. Lalu, ia melanjutkan. “Biasanya, mayat itu kaku dalam
posisi duduk atau terbaring. Berbeda jika situasinya adalah mati ketika
melakukan olahraga berat. Protein akan cepat mengeras. Dan kekakuannya-pun akan
sama dengan kematian tujuh jam yang lalu. Bisa saja ia mati dalam keadaan
berdiri. Sepertinya anda pernah mendapat pelajaran seperti itu sebelum menjadi
polisi, Inspektur.” ujar Naomi pada Inspektur Daender, yang sepertinya sedang
menahan rasa malunya.
“Bagaimana analisamu, Naomi?” tanya Inspektur Daender yang sudah
sangat memahami Naomi. Selama tinggal di Amerika, Naomi banyak membantu
kepolisian setempat dalam memecahkan berbagai kasus.
“Entahlah, ada terlalu banyak poin yang aneh dalam kasus ini. Pertama,
korban mati dalam keadaan setengah berdiri, lututnya tertekuk hampir terduduk. Tidak
benar-benar berdiri seperti kata tim forensik. Kedua, bekas seperti lilitan tali
halus di perutnya. Ketiga, mayat berbau harum parfum. Keempat, tidak terlihat
bekas keringat pada tubuh korban. Harusnya, jika ia memang benar-benar dibunuh
ketika melakukan olahraga berat, ada bekas keringat di satu tempat yang rentan
keringat. Di tempat panas seperti ini, sulit untuk mengeringkan keringat dengan
cepat. Dan, kelima aku menemukan ini di TKP…” ujar Naomi sambil mengeluarkan beling
dari saku jaketnya. Naomi tak berminat untuk mengatakan keanehan lain yang
dirasa lebih penting, karena takut kalau si pelaku masih berada di sekitar TKP
dan mendengarnya. Tentang celana korban…
Inspektur Daender dan tim forensik mengamati benda yang ada di tangan
Naomi yang diselimuti sarung tangan. Sedangkan Ramon, Reserse kepolisian New
York masih menahan Adara Christelle sambil memeriksa alibinya sejam yang lalu.
“Apa itu Naomi?” tanya Inspektur.
“Aku tidak tahu pasti. Tapi, pasti pecahan ini tadinya berbentuk
sebuah botol yang cukup besar. Terlihat dari bentuk lengkungan ini.” Naomi
terdiam beberapa saat. Ia lalu menghampiri Reserse Ramon. Diam-diam Naomi
memperhatikan Miss Christelle. Ia tampak tenang. Tapi, Naomi justru merasa
kalau wanita ini terlalu tenang. Sesuatu yang terlalu wajar justru
mencurigakan. Itulah prinsip Naomi.
“Bagaimana Alibinya, Sir?” tanya Naomi pada Reserse Ramon setelah Miss
Christelle diperiksa oleh tim forensik.
“Alibinya sangat kuat. Sejak sejam yang lalu ia ada di dalam kedai
Croissant. Dia sedang bersama koki lainnya, hingga ia memutuskan untuk membuang
sampah di TKP. Para koki memastikan alibinya. Dan baru saja pegawaiku
melaporkan bahwa alibinya sempurna. Lima menit sebelum kau menelepon kami, ada
fax dari pengirim tak dikenal di kedai Croissant itu. Dan saat itu, Christelle
masih berada di dalam kedai.” Reserse Ramon menjelaskan pada Naomi.
Naomi merasa ini bukan kasus biasa. Jadi, ia memutuskan untuk
menyimpan analisis sementaranya dalam otak. Ia lalu mengangguk pada Reserse
Ramon.
Naomi berkeliling di sekitar TKP. Ia berusaha mencari sesuatu yang
berbeda dari biasanya. Atau, sedikit saja yang janggal. Tapi, karena ia tidak
mengenal daerah itu, ia tidak mendapat petunjuk apa-apa. Hanya ada beberapa
pertanyaan Mengapa? yang sedari tadi menggema di otaknya.
Reserse Ramon berlari dengan agak terburu-buru menghampiri Inspektur
Daender. “Inspektur, kami sudah menemukan tiga orang lain selain Miss
Christelle yang memiliki motif untuk membunuh korban. Satu diantara mereka memiliki
alibi yang sangat kuat.” lapor Reserse Ramon.
“Panggil tiga orang itu kesini!” perintah Inspektur Daender.
Naomi tetap diam. Ia mencoba mencari rantai penghubung diantara
fakta-fakta yang terkumpul.
Akhirnya, ia memutuskan untuk sarapan di kedai croissant tempat Miss
Christelle bekerja sambil sedikit mengorek informasi, sementara wanita itu
masih dimintai keterangan terkait kasus itu.
“Hei, kau tahu kenapa gerobak sampah itu berkeliling lebih pagi?”
tanya seseorang pada kasir yang sedang sepi pengunjung. Pengunjung kedai itu
hanya beberapa orang. Mungkin karena mendengar ada yang terbunuh. Mereka jadi
takut atau tidak ingin berurusan dengan polisi.
“Entahlah. Mungkin petugas sampah itu takut karena menemukan mayat,
sehingga hari ini ia pergi lebih pagi. Yang jelas aku menderita kerugian karena
jarang pengunjung, dan sepertinya sampah lagi-lagi menumpuk.” Jawab petugas
kasir itu. Naomi menajamkan telinganya.
Dan Naomi berusaha untuk masuk dalam obrolan itu. “Excuse Me…” Sapa
Naomi sopan. “ Saya mau tanya. Memang di sini ada gerobak sampah ya?” Naomi
bertanya dengan bahasa Inggris yang sopan.
Kasir dan wanita yang mengobrol dengannya sontak bingung karena aksi
Naomi yang terkesan ikut campur. Tapi Petugas Kasir itu menjawab, “Di Houg
street memang begitu.” dahi Naomi berkerut. Houg? Nama tempat Ini? “Kami, para
warga sepakat iuran untuk membeli sebuah gerobak yang digunakan untuk menampung
sampah. Setiap pagi, petugas yang kami gaji dari uang hasil iuran berkeliling
membawa gerobak sampah itu di sekitar Houg Street.” Kasir itu terdiam
sejenak.”Biasanya, sih petugas sampah berkeliling setiap jam tujuh pagi.”
“Jam tujuh?”
“Ya, jam tujuh pagi. Dan setelah selesai berkeliling, gerobak itu akan
diletakkan di depan taman kota. Setelah jam tujuh malam, gerobak itu dibawa ke
tempat pembuangan sampah kota dan dikembalikan lagi ke belakang kedai. Tapi,
jangan salah, walaupun namanya gerobak, tapi gerobak kami benar-benar sangat
indah.”
“Indah?”
“Ya, kami warga Houg Street menghiasnya.” ujar Kasir itu dengan
bangga.
“Sorry, Miss! Katamu tadi sampah lagi-lagi menumpuk. Apa maksudnya?
Bukankah kalau tempat asal gerobak itu adalah di belakang kedai ini sampah bisa
dibuang ketika gerobak telah kembali kesini?” Tanya Naomi dengan mimik berusaha
menyamarkan raut serius. Seperti kata Sherlock Holmes, yang intinya jika kita
tidak terlihat bertanya serius dan mencoba untuk mendengarkan keluhan
narasumber, maka kita akan mendapat info lebih dari yang kita perlukan.
“Kan sudah kubilang tadi. Biasanya gerobak berkeliling jam tujuh pagi.
Tapi, tadi pagi jam setengah tujuh pagi gerobak itu telah lenyap. Dan, baru
akan kembali sekitar jam tujuh malam. Kedai ini tutup jam 4 sore, Nona! Saat
gerobak itu kembali ke belakang kedai ini, para pegawai sudah pulang
seluruhnya.” jawab Kasir itu santai.
“Tapi, kenapa diletakkan di belakang kedai ini?” tanya Naomi dengan
nada seakan tak peduli.
“Agar tidak mengganggu pemandangan kota Houg Street. Bahkan, gerobak
itu dikembalikan kesini melewati jalur belakang.” jawab Kasir itu.
“Jalur belakang?”
“Ya, jalur itu adalah jalur tembus dari Garbager ke Taman kota.”
“Garbager?”
“Ya, Garbager adalah nama tempat di belakang kedai ini. Jalur belakang
itu namanya BackHoug Street. Jalan itu memang sempit dan lebih sering ditutup.
Membukanya agak sulit, karena pintu itu sangat berat dan berkarat. Akupun belum
pernah melihat pintu itu terbuka. Tapi, anehnya, tanpa melewati Houg Street,
gerobak sampah kami sampai di Garbager. Bisa disimpulkan bahwa para tukang
sampah itu melewati BackHoug Street, ‘kan ?” ujar Kasir itu.
Naomi mengangguk.
“Eh, bukankah rute sampah belakangan ini terbalik ya?” tanya teman si
Kasir.
“Terbalik?” gumam Naomi.
“Ya, terbalik. Sepertinya seminggu terakhir ini rutenya dimulai dari
taman kota, bukan dari Garbager.” sahut Petugas kasir. “Memang ada apa, Miss?”
tanya Kasir itu.
“Ah, tidak. Aku hanya tertarik pada warga Houg Street yang sangat
peduli kebersihan.” ujar Naomi berkelit. Petugas kasir dan temannya hanya
tersenyum simpul.
Naomi-pun memberikan senyum termanisnya. Ia menyudahi pembicaraan dengan kasir itu dan
mencerna kata-katanya baik-baik. Hingga teleponnya berdering.
“Halo…” kata suara di seberang.
“Iya, Bu. Ada apa?” Naomi menyahut dalam bahasa Jepang.
“Apa kau terlibat kasus lagi Naomi?” tanya Yukiko penuh selidik.
“Ya, begitulah seperti biasanya.” jawab Naomi santai.
“Huh, kamu, Shinichi, dan Yusaku sama saja ya. Gila misteri.” cela
Yukiko.
“Bukankah, kau juga Night Baroness?” sahut Naomi dengan nada menggoda.
“Ya, begitulah. Kepintaran otak Night Baroness-lah yang selalu
dibutuhkan.” Yukiko menyombongkan diri. Ia lalu melanjutkan, “Baiklah Detektif,
selesaikan kasusmu dan sambutlah kami yang akan pulang besok.”
“Ya, ya. Aku akan menyambut ayah dan ibu.”
“Ya sudah sampai besok Naomi!”
“Sampai besok!” Naomi menutup teleponnya dan segera waspada. Ia merasa
diawasi. Bukan hanya oleh satu orang, dia merasa diawasi oleh lebih dari satu
orang.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke taman kota dan mencari gerobak
itu.
Seorang pria berbaju hitam tatapannya mengikuti kepergian Naomi dari
kedai itu. Tak lama kemudian, ia pun meninggalkan kedai dan menyusul Naomi.
*
Naomi menemukan gerobak itu. Ia segera menyingkap sampah-sampah di
dalamnya. Tak peduli akan seperti apa baunya nanti. Yang terpenting baginya
sekarang adalah mengungkap kenyataan kasus ini.
Dan, ia-pun menemukan jawabannya. Bagian dalam tempat sampah itu
memiliki papan penahan yang mungkin digunakan untuk menyangga tutup. Dan bagian
atas gerobak itu berlubang seperti jaring.
“Eh, sampah hari ini sepertinya banyak sekali, ya?” ujar salah seorang
pengunjung taman kota.
“Ya, lagipula baunya itu agak bercaampur amis. Padahal, ini masih
pagi.” jawab yang di sampingnya.
Naomi berpikir, lalu beberapa detik kemudian tersentak. Lagi-lagi, ia
merasa diawasi oleh lebih dari satu orang. Ia memutuskan untuk kembali ke TKP,
dan mendengar profil dari tiga tersangka yang memiliki motif tersebut. Dia
berjalan perlahan. Tidak peduli pada orang yang mengikutinya tersebut. Toh,
Kota New York itu sangat ramai. Ia tak mungkin diserang dalam keadaan seramai
itu.
Naomi tiba di TKP. Ia melihat dua orang pria dan satu wanita yang
bersama Reserse Ramon.
“Bagaimana Naomi?” tanya Reserse Ramon yang usianya baru 20 tahun itu.
“Entahlah, Sir.” Naomi menggeleng pasrah.”Kasus ini masih gelap.” Ia
terpaksa bertampang murung dan bersikap seolah kasus ini gelap baginya, agar
orang yang mengikutinya itu tidak curiga.
“Siapa saja tiga orang itu?” tanya Naomi pada Reserse Ramon sambil
menunjuk perlahan tiga tersangka itu.
“Yang wanita, Eryn Holke. Usia 25 tahun. Pekerjaannya adalah
resepsionis hotel Raysky. Motifnya adalah, Ayahnya meninggal dunia karena
tertabrak oleh mobil Steve yang sedang mabuk. Sebenarnya, ayahnya meninggal
bukan karena tertabrak, tapi karena serangan jantung. Sebelum sempat tertabrak,
ayah Eryn sudah terkapar karena terkejut, dan meninggal seketika.
“Laki-laki yang memakai baju biru. Namanya, Jhonas Louise, usia 26
tahun. Pekerjaannya adalah wakil direktur Hotel Raysky. Dia satu-satunya yang
memiliki alibi, karena pada waktu kejadian dia sedang bersama keluarga dan baru
berpisah jam 06.30 tadi. Menurut keluarganya, tak ada satupun tingkah Mr.
Louise yang aneh. Motifnya adalah, jabatan Direktur yang akan dia dapatkan.
“Laki-laki yang memakai baju hitam. Namanya, Andre Dorris, usia 27
tahun pekerjaannya adalah pelayan restoran Jepang yang ada di Grave Street.
Motifnya adalah, karena ia terlilit hutang pada korban. Ia tidak memiliki
alibi.
“Tapi, Naomi. Sepertinya, Miss Christelle itu juga patut dicurigai.
Ia-lah yang memiliki motif terkuat. Ia akan mewarisi seluruh harta keluarga
Richardo jika Steve meninggal, karena kedua orang tua Steve sudah meninggal
terlebih dahulu.”
“Bagaimana Meninggalnya?” tanya Naomi.
“Mereka terbunuh dalam kecelakaan dan mobil mereka terbakar setelah
masuk ke dalam jurang.” Jawab Reserse Ramon. Ia lalu kembali melanjutkan
pekerjaannya, sementara Naomi terdiam.
Ia memikirkan kedua orang tuanya yang meninggal 5 tahun lalu. Memang,
itu adalah kecelakaan pesawat, tapi ia yakin, sangat yakin bahkan, kalau
seandainya pesawat itu tidak mengalami kecelakaan, ayah dan ibu kandungnya akan
tetap ditemukan sebagai mayat karena dibunuh oleh mereka…
Naomi memutuskan untuk mencari info tentang keempat tersangka itu.
Pertama, ia menuju Hotel Raysky. Hotel
tempat korban bekerja. Ia hanya berkeliling melihat-lihat sekeliling hotel
sambil menajamkan telinga. Kalau-kalau ada petunjuk yang bisa di dengarnya.
“Huh, gara-gara Eryn nggak masuk kerja, kita jadi kebagian rugi, nih!
Kerjaan banyak kayak gini.” keluh salah seorang resepsionis.
“Iya. Dia kan karyawan yang paling rajin. Sepanjang ia bekerja, ia tak
pernah mengeluh.” sahut resepsionis yang lain. Rupanya mereka sedang merekab
ulang data tamu hotel dari dua tahun yang lalu.
“Kata siapa dia nggak mengeluh. Terkadang aku lihat dia berkata lelah,
capek. Itu kan wajar. Memangnya dia robot.” sahut resepsionis pertama.
“Tapi, Eryn itu sabar ya. Walaupun setahun lalu ayahnya meninggal
karena Mr. Richardo, sepertinya ia tidak menyimpan dendam.” ujar resepsionis
kedua.
Naomi tidak menangkap keanehan dari tersangka pertama. Jadi, ia
memutuskan untuk melanjutkan berjalan santai. Ia merasa sudah hampir
menyelesaikan kasus ini. Tapi, sepertinya ada hal yang mengganjal. Hal yang
sangat penting.
Setelah satu jam berada dalam hotel itu, Naomi tidak mendengar atau
menemukan sesuatu yang penting berkaitan dengan Jhon Louise. Ia hanya mendapat informasi
kalau Jhon Louise adalah karyawan teladan yang tidak pernah terlambat sampai
kantor meski rumahnya jauh, dan segala pujian lainnya.
Jadi, Naomi memutuskan untuk menuju Grave Street sekaligus makan
siang.
Naomi memesan Nasi Kare dan duduk dengan tenang menunggu pesanannya.
Ia memperhatikan sekelilingnya. Berusaha mencari orang yang mengikutinya sejak
di kedai croissant. Tapi, dia tak menemukan apa-apa.
“Huh, aku heran pada Dorris. Dia sepertinya telah menbuang
sampah-sampah baunya itu. Tapi, untuk apa ya dikumpulkan kalau akhirnya dibuang.”
Naomi tersentak mendengar perkataan Manager tersebut. “Lagipula, kemarin
kata-katanya sangat aneh. Dia tersenyum sendiri dan sangat bahagia.” lanjut
Manager itu lagi pada Kasir. Naomi merasa mengerti kasus ini. Sangat mengerti.
Seulas senyum terpancar dari wajah Naomi. Setelah menelesaikan makannya, ia
meninggalkan kedai itu dan segera menuju TKP. Sekali lagi, sepasang mata milik
seorang berbaju hitam memperhatikannya…
*
Naomi membisikkan sesuatu di telinga Reserse Ramon dan memulai aksi
analisisnya.
“Andre Dorris! Kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Mr.
Richardo.” bentak Reserse Ramon. Andre Dorris terkesiap.
Naomi lalu berkata. “Jawabannya sangat mudah. Karena Mr. Louise dan
Miss Christelle memiliki alibi pada jam kejadian, dan Miss Holke, menurut
penyelidikanku tidak terlihat menyimpan dendam, hanya kaulah pelaku yang tersisa.
Berarti kaulah pelakunya.” ujar Naomi dengan santai.
“Omong kosong! Aku ditangkap hanya karena perkataan anak kecil ini?
Apa kalian sudah gila?” maki Mr. Dorris.
“Tidak, dia bukan hanya sekedar anak SMP biasa. Dia memiliki otak
brilliant.” bela Reserse Ramon.
“Jelaskan pembelaanmu di depan hakim. Kami akan mengumpulkan seluruh
bukti.” ujar Inspektur Daender. Andre Dorris-pun digiring dengan paksa ke mobil
patroli. Naomi mengedipkan mata pada Reserse Ramon dan tersenyum puas. Ia lalu
masuk ke mobil Patroli dan ikut ke kantor polisi untuk memberi keterangan.
Mr. Louise, Miss Christelle, dan Miss Holke bubar dari TKP.
*
Naomi memakai jaket yang telah disiapkannya sebelum keluar dari kantor
polisi. Ia menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk rencananya. Naomi keluar
sambil berjalan kaki. Menuju tempat itu. Tempat yang telah dipikirkannya sedari
tadi.
Ia masih merasa ada yang mengikutinya. Tapi, biarlah. Toh itu memang
caranya untuk memancing kawanan tikus itu keluar dari kandangnya.
Naomi berbelok ke sebuah gang di Grave Street dan membuka sebuah pintu
kayu yang membuka sebuah jalan. Jalan yang mungkin tak pernah diketahui oleh
orang-orang di Grave Street.
Naomi sampai di pertigaan jalan. Tanpa ragu, ia mengambil jalan lurus.
Jalan perlahan melebar. Yang tadinya hanya cukup untuk dua buah sepeda motor,
sekarang cukup untuk tiga buah.
Diterangi oleh sinar bulan, Naomi bisa melihat bercak-bercak darah,
semakin ia mendekati jalan keluar.
Akhirnya, ia sampai di depan pintu besi. Pintu pengecoh itu. Ia
membuka pintu kayu di sebelah Pintu besi itu, dan ia sampai di Garbager. Tempat
mayat itu ditemukan.
Tepat saat Naomi melangkah masuk, ia merasakan pistol ditembakkan ke
arahnya. Ia lalu menghindar ke kanan. Naomi meraba revolver berperedam yang
telah disiapkan di balik jaketnya dan menembak ke arah tembakan tadi berasal.
Lalu terdengar lagi dua tembakan dari arah berbeda menancap tepat di perut
Naomi. Untungnya, ia sudah memakai jaket anti peluru yang dirangkap dengan
D-pad. Dia menembakkan pelurunya ke empat arah yang berbeda sampai dirasakannya
lehernya dicengkeram kuat. Dan mulut pistol berperedam di arahkan ke
pelipisnya.
“Bocah Sialan!” geram orang yang mencengkeram leher Naomi. Itu adalah
Jhon Louise.
“Aku tahu siapa kau. Dan, bagaimana terjadinya kasus ini sampai
detail-detail terkecil.” Ujar Naomi masih sempat menyombongkan diri.
“Simpan saja pengetahuanmu, dalam kuburmu!” ancam orang itu.
Naomi bersiap memejamkan mata. Menunggu saat-saat terakhirnya. Dan…
DOOORRR !!!
Shotgun ditembakkan. Merubuhkan Jhon Louise. Sesosok pria berbaju
hitam dan bertopi rajut hitam menghampiri Naomi. Dia melemparkan Revolver
sambil berkata dalam bahasa Jepang, “Pelurunya ada lima. Kau sniper yang cukup
hebat. Selamatkan dirimu dari enam tikus berbahaya ini.”
Naomi menangkap revolver itu dan termenung beberapa saat. Sebelum
akhirnya ia sadar.
Terjadi baku tembak yang sengit antara Naomi dan Pria itu dengan Enam
orang ‘tikus’ itu.
Jhon Louise sekarang sudah mampu berdiri, walaupun sepertinya tulang
rusuknya patah. Meski ia memakai jaket anti peluru, tapi rasanya peluru shotgun
yang ditembakkan Pria berbaju dan bertopi rajut hitam itu cukup berpengaruh.
Entah dari mana Naomi belajar cara menembak. Yang jelas tembakannya 98%
tepat sasaran. Ia juga tidak tahu, darimana ia mendapat ide untuk membawa
revolver berperedam di kantor polisi tadi. Ia mengambilnya dari meja Reserse
Ramon, dia merasa akan membutuhkannya. Beberapa tembakan Naomi mengenai tubuh
para ‘tikus’. Tapi, karena mereka memakai jaket anti peluru, mereka aman dari
luka serius.
Sampai dirasa tak ada lagi yang mampu bergerak diantara mereka berenam.
Naomi dan pria itu mengambil senjata para ‘tikus’ dan menelepon kepolisian New
York. Diantara para ‘tikus’ itu, selain ada Jhon Louise ada pula Eryn Holke dan
Adara Christelle. Dua wanita yang terlihat sangat kalem itu.
“Bagaimana sebenarnya kasus ini, Naomi?” tanya Inspektur Daender. Ia
juga membawa Andre Dorris yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka.
“Sebenarnya,” Naomi mulai berbicara,”mereka berenamlah pelakunya.
Mereka adalah suatu organisasi kejahatan kecil yang mengincar harta. Mungkin,
Steve Richardo adalah korban pertama mereka sekaligus kelinci percobaan. Mereka
memilih Mr. Richardo karena menurut Jhon Louise, pemimpin organisasi ini dia
cukup kaya.
“Mereka mulai mencari orang yang memiliki dendam pada Mr. Richardo.
Dan, didapatlah Miss Holke. Miss Holke akhirnya ditawari untuk masuk organisasi
itu dengan embel-embel mereka akan mengabulkan keinginan Miss Holke untuk
membunuh Mr. Richardo tanpa membuatnya ditangkap polisi.
“Awalnya, kita menduga bahwa Steve Richardo dibunuh jam 05.00 pagi
pada saat jogging, karena mayat ditemukan dalam keadaan berdiri. Kenyataannya,
mayat tidak sepenuhnya berdiri, lagipula pakaiannya tidak cocok seperti orang
yang sedang jogging.
“Yang membuatku tertarik adalah kata-kata pemilik kedai croissant yang
menyatakan bahwa hari ini gerobak sampah pergi terlalu pagi. Dan juga, walaupun
masih pagi gerobak sampah itu sudah penuh. Aku lalu menyelidiki gerobak
misterius itu dan mendapatkan jawabannya.
“Gerobak itu bukan berangkat lebih pagi, tapi sengaja disembunyikan Di
BackHoug Street untuk sedikit dibersihkan dari sisa darah.”
Perkataan Naomi disela oleh Inspektur Daender, “Maksudmu, TKP-nya
adalah gerobak itu?”
“Exatly-!” jawab Naomi semangat. “Direktur itu sudah dibunuh dari
malam sebelumnya. TKP sebenarnya adalah BackHoug Street, yang ternyata
terhubung dengan Jalan Rahasia di belakang restoran tempat Andre Dorris
bekerja, dan juga terhubung dengan taman kota.
“Jarang ada orang yang mengetahui tentang jalan rahasia itu. Pintu
masuknya-pun tersamarkan. Orang mengira, kalau pintu masuknya adalah besi yang
berkarat itu, ‘kan?” Naomi bertanya.
Semua polisi yang ada di tempat itu mengangguk.
“Tapi,” lanjut Naomi,”Nyatanya, tak ada orang yang pernah melihat pintu
itu di buka. Aku tahu dari petugas Kasir tempat Miss Christelle bekerja.
“Lalu, aku berfikir, berusaha menyingkirkan semua hal yang mustahil.
Dan, tersisalah satu hal yang lebih mustahil. Namun, aku yakin itu adalah
kebenarannya.
“Pintu masuk sebenarnya adalah papan kayu yang ada di sebelah pintu
besi berkarat. Jujur, memang agak sulit menemukan tombolnya.”
“Tombol?” lagi-lagi Inspektur Daender menyela.
”Ya. Jika… oke mungkin tidak cocok dikatakan sebagai tombol. Jika satu
bagian kayu ditekan, maka kayu itu akan bergeser. Seperti ini…” Naomi
mempraktekkan membuka pintu yang tadi sempat ditutupnya sebelum polisi datang.
Semua polisi yang ada disana termasuk Andre Dorris tercengang. Setelah
pintu itu terbuka, tampak jalan yang agak sempit terbentang jauh ke depan.
“Oke, kembali ke kasus.” ujar Naomi. ”Jhon Louise, Eryn Holke dan
Adara Christelle malam itu memanggil Direktur Richardo. Mereka mungkin berkata,
kalau orang-orang tahu ada jalan rahasia di belakang hotel Raysky, pengunjung
pasti makin banyak. Tapi, mereka malah membunuh Direktur dengan keji di
BackHoug Street. Pada gerobak itu, ada semacam penahan yang panjangnya 50 cm
dari dasar. Untuk membuat mayat seakan berdiri, mereka hanya perlu menyandarkan
mayat pada penahan tersebut dan mengikatnya. Itu sebabnya pada perut dan leher
korban ada bekas ikatan tali halus.
“Lalu, pagi harinya, mereka memerintahkan tiga orang lainnya untuk
menata mayat sedemikian rupa dan membawa gerobak itu bersembunyi di Houg
Street. Gerobak itu dibersihkan dan dibawa ke Grave Street untuk mengambil
sampah yang telah ditumpuk selama berhari-hari oleh Mr. Louise.”
“Jadi, orang ini terlibat?” tanya Inspektur Daender.
“Tidak, aku tidak terlibat. Aku hanya dijanjikan uang jika berhasil
mengumpulkan sampah minimal selama 5 hari dari kedaiku.” Andre Dorris membela
diri.
“Omong kosong!” bentak Inspektur Daender.
“Tidak. Dia jujur, Inspektur!” lagi-lagi ucapan Naomi membuat para
polisi tersentak. “Dia memang hanya dijanjikan uang. Tanpa tahu, jika saja
tidak ada aku, dia akan dijanjikan kehidupan seumur hidup di penjara karena
dituduh melakukan hal yang tidak dilakukannya. Sementara, si pelaku sendiri
berfoya-foya dengan harta.
“Mungkin, Mr. Dorris diberi surat kaleng atau semacamnya. Sebenarnya,
tentang Mr. Dorris yang ternyata memiliki motif adalah semacam keberuntungan
bagi para pelaku. Kalaupun tidak ada Mr. Dorris, mereka akan mencari pelayan
lain di restoran itu yang bisa dimanfaatkan untuk menghindarkan segala bukti
dari mereka.
“Mr. Dorris-pun diberitahukan tanggal sampah itu akan ditukar dengan
uang yang dijanjikan. Makanya, sehari sebelum tanggal jatuh, Mr. Dorris
terlihat sangat senang, menurut manager restoran.
“Setelah mengambil sampah itu, tukang sampah, yang juga merupakan
salah satu dari enam orang ini membawanya melewati taman kota dengan rute
terbalik dari biasanya. Untuk menghindari kecurigaan, dari seminggu sebelumnya
ia juga berputar dengan arah terbalik agar tidak terlalu mencolok.
“Jika biasanya rute berputar sampah dari Garbager berputar ke taman
kota, seminggu terakhir ini menjadi dari taman kota berputar lagi dan baru
kembali ke Garbager.
“Kembali ke persoalan Miss Christelle. Tanda bahwa Miss Christelle
harus ke TKP buatan adalah dengan mengirimkan fax kosong. Selain untuk memberi
kode, fax itu dimaksudkan untuk membuat alibi yang sempurna untuk Miss
Christelle. Dan setelahnya, seperti yang kita tahu.
“Untuk menghindarkan kecurigaan dari Mr. Louise, ia juga membuat alibi
dengan cara berangkat ke kantor lebih lambat dari biasanya. Aku tahu dia
sengaja datang terlambat karena alibinya dibuktikan oleh keluarganya. Dan
menurut keluarganya, dia tidak terlihat aneh. Padahal kita tahu, dari rumahnya
ke hotel raysky membutuhkan waktu lebih dari sejam. Dan itu artinya dia akan
terlambat. Tapi, ia masih bersikap biasa saja dan tetap santai.
“Sedangkan, untuk menyelamatkan Miss Holke dari kecurigaan. Ia tinggal
bersikap seolah tidak menyimpan dendam pada Direktur. Di depan karyawan, ia bersikap
seolah dia telah memaafkan ketidaksengajaan Direktur. Walaupun, sebenarnya ia
hanya menunggu waktu yang tepat.
“Jadilah, semua bukti dan kecurigaan mengarah pada Mr. Dorris.” Naomi
menutup penjelasannya.
“Bukti apa?” tanya Inspektur Daender.
Naomi menarik nafas panjang dan berbicara, “Jika tingkah laku
tersangka diselidiki, akan terbuka bukti tentang adanya keterlibatan gerobak
sampah itu. Jika diselidiki terdapat reaksi luminol, dan banyak saksi yang
menyatakan kalau sejak pagi gerobak itu telah penuh, polisi akan mencari
tersangka yang mengumpulkan sampah, yang tujuannya adalah untuk menyembunyikan
bekas darah. Dan, ditangkaplah Mr. Dorris.”
“Dari mana kau tahu mereka berkomplot?” tanya Inspektur Daender lagi.
“Karena, aku melihat ekspresi santai mereka bertiga saat diinterogasi
polisi. Aku merasa mereka sudah menyiapkan diri. Seakan sudah tahu kalau mereka
akan diinterogasi. Lagipula, salah satu dari mereka berenam mengikutiku.
“Karena aku tahu mereka bekerja dengan sangat rapi dan penuh perhitungan,
aku memiliki sebuah rencana. Aku ingin memberi isyarat pada mereka kalau aku
sama sekali tak memahami kasus ini. Dan menunjukkan seakan aku terjebak
permainan mereka. Lalu, kutuntun mereka agar mereka mengira kalau aku telah
menemukan jalan rahasia itu. Dan… ternyata mereka berniat menyerangku. Makanya,
aku meminjam jaket anti peluru dan dirangkap D-pad. Oh iya. Maaf! Tanpa izin
aku mengambil revolver dari meja Reserse Ramon.” Ujar Naomi sambil tersenyum.
“Dalam kasus ini aku berprinsip, biarlah pelaku lepas dahulu, untuk
menangkapnya sampai ke akar.” Tambah Naomi lagi.
Inspektur Daender memuji kecerdasan Naomi. Ia bahkan lupa kalau Naomi
telah menggunakan revolver tanpa izin. Sekali lagi, ia kagum pada putri bungsu
novelis terkenal Yusaku Kudo.
Serangkaian kasus yang membuka banyak misteri-pun selesai dengan akhir
bahagia. BackHoug Street rencananya akan dibuka untuk umum untuk menghindarkan
hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi.
Naomi dan Pria berbaju dan bertopi rajut hitam ikut bersama polisi untuk
diinterogasi. Pria itu mengaku bernama Shuichi Akai, seorang agen FBI asal
Jepang yang memang sedang menyelidiki organisasi baru itu. Tepat seperti yang
dikatakan Naomi, mereka adalah organisasi yang mengincar harta bernama Gold
Organization. Dan, Steve Richardo adalah korban pembunuhan pertama mereka.
Tapi, dua minggu yang lalu mereka sempat hampir merampok salah satu
Bank di New York. Untungnya, kebetulan agen FBI sedang berada disana. FBI lalu
menyelidiki lebih jauh untuk mencegah organisasi itu berkembang menjadi semakin
ganas.
Total anggota Organisasi itu bertotal 20 orang. Dan, malam itu juga
kepolisian New York menyergap seluruhnya di markas yang diberitahu Jhon Louise.
Sekitar pukul 11 malam, Naomi dan Shuichi Akai dipersilahkan pulang.
Mereka berjalan menuju arah yang sama. Berjalan di sebuah jalan yang sepi.
Mereka tidak banyak bicara sampai Shuichi membukanya dengan bahasa Jepang.
“Kau sniper, Nona?”
“Oh, bukan.” Jawab Naomi santai juga dengan Bahasa Jepang sambil
merapatkan jaketnya. “Eh, kau agen FBI?” tanya Naomi.
“Ya. Ada apa?”
“Ah, tidak. Hanya saja…” kalimat Naomi terputus. Shuichi masih
menunggu lanjutannya. “Ayah kandungku mantan agen FBI.” Lanjut Naomi dengan
nada berat.
“Mantan?” dahi Shuichi berkerut.
“Ya, ayahku meninggal dalam kecelakaan pesawat 5 tahun yang lalu.”
“Kenichi Nagishi…” gumam Shuichi. Naomi kaget mendengar gumaman yang
pelan namun menusuk itu.
“Dari mana kau tahu?” tanya Naomi dengan nada lemah penuh selidik.
“Begitu melihatmu, aku langsung terbayang wajahnya. Dia seniorku.”
“Apa?”
“Dia salah satu dari jajaran sniper terhebat FBI.” jelas Shuichi.
“Ayahku sniper?” Naomi mengerutkan dahinya.
“Kau tak tahu, Nona?”
Naomi menggeleng lemah. “Dia tak pernah memberi tahuku. Dan, aku tahu
mengapa aku bisa menembak tepat sasaran walaupun aku tak pernah belajar menjadi
sniper. Itu semua adalah penurunan dari ayahku, kurasa.”
Setelah itu, mereka hanya diam sampai akhirnya sampai di depan rumah
keluarga Kudo. “Dimana rumahmu?” tanya Naomi pada Shuichi.
“Masih jauh dari sini. Aku hanya ingin memastikan kau sampai di
rumahmu dengan selamat. Orang tuamu baru kembali besok kan?”
“Dari mana kau tahu kalau aku diangkat anak oleh sepasang suami-istri?”
“Dari teleponmu dengan ibumu tadi pagi. Dari situ pula aku tahu kau
orang Jepang.” Shuichi terdiam sebentar.
Setelah memastikan Naomi sampai gerbang rumahnya, Shuichi beranjak
pergi, namun Naomi mencegahnya. “Tunggu, Sir!”
Shuichi menoleh. “Bolehkah aku meminta sesuatu?”
Shuichi mengerutkan dahi. “Apa, Nona?”
“Aku ingin menjadi agen FBI. Dan menjadi seorang sniper.”
“Kau yakin ? Ini akan merusak masa mudamu dan membuatmu selalu
terancam.” Shuichi mengingatkan.
“Tentu saja aku yakin. Kau pikir aku bercanda?”
Shuichi tak menjawab. “Temui kami di kantor besok…” ujar Shuichi
sambil menyerahkan kartu namanya.
Naomi memandang punggung Shuichi yang meninggalkannya. Bahkan kita belum berkenalan secara resmi,
Sir. Pikir Naomi sambil tersenyum.
To be continued…
Chapter 2 Markas Besar FBI
Naomi mengawali perjuangannya. Dengan suatu hal yang
memerlukan banyak pengorbanan…
0 Comments