I'm NOT Perfect (Chapter 3 - Final)
16.11.00
Narita
Tokyo, Japan
...
“Ayo ninja, kita
harus memecahkan kasus ini!”
Ah, ya. Seruan
Naomi itu menyadarkanku akan satu hal. Akhirnya, aku berhasil memecahkan kasus
ini 100%.
“Kau benar.”
sahutku sambil tersenyum.
Naomi menghampiri
Inspektur Megure dan menepuk bahunya.
“Calm down,
Inspectur.. Don’t worry.. I will close the case..” ujarnya sambil tersenyum.
“Baiklah,” dia mulai melanjutkan, “Polisi, kumpulkan para tersangka disini. Aku
akan memulai pertunjukkan analisis.”
Aku bermaksud
pergi dari tempat itu, karena Shinichi telah menungguku. Tapi, aku masih
terganjal satu hal. Bagaimana jika dia tak bisa menjelaskan kronologi kejadian?
Atau, bagaimana jika dia tidak menyadari kesalahan analisisnya tentang salah
satu negara itu?
Jadi, aku
memutuskan untuk tetap disini.
Semua tersangka
telah dikumpulkan di depan pintu kamar mandi, tempat dimana mayat ditemukan.
Aku segera menyusul Naomi yang telah lebih dulu berada disana.”Yang pertama,
kita harus memulai dari catatan korban sebelum kematiannya.” gadis itu memulai.
“Aaah.. Si ninja itu mengajakku bertemu. Terus
terang aku malas. Apa sih pekerjaannya? Senang sekali bolak-balik. Kemarin, dia
mengajakku bertemu di negeri merdeka,” Naomi membacakan catatan itu. “terus hari sebelumnya di negeri tembok, bulan lalu di benua baru. Aku
heran. Apa dia tak kehabisan uang untuk perjalanan itu. Aku agak menyesal dua
bulan lalu bertemu dengannya di negeri atlantik yang hilang. Dan, hari ini, dia
mengajakku bertemu di negeri sakura. Aku benci harus menuruti kemauannya
seperti ini. Apa sebaiknya aku membunuhnya?
Nah itu dia si ninja. Wah dia memakai seragam. Di bahunya ada empat
tanda emas. Apa dia sehebat itu? Oh tidak, dia membawa si coklat sialan itu.
Dasar ninja kurang ajar. Seharusnya aku tak memberi tahunya. Oh Tuhan
sembunyikan aku...”
“Yang pertama
kali akan aku analisa adalah negara-negara yang dikunjungi oleh sang ‘ninja’.
Disana tertulis, kemarin dia mengajakku bertemu di ‘negeri merdeka’. Negeri
merdeka disini adalah Thailand, karena negara itu tak pernah dijajah dan
dijuluki sebagai rumah rakyat merdeka.” Naomi menghela nafas.
Dia melanjutkan
lagi, sementara aku menatapnya intens. “Lalu, selanjutnya ‘negeri tembok’. Kita
semua bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah China yang terkenal dengan
tembok raksasanya. Dan ‘benua baru’ adalah julukan yang cukup dikenal untuk
Amerika Serikat.”
Benar dugaanku,
dia tak menyadari kesalahannya.
Aku memutuskan
untuk tetap diam dan terus mendengarkan analisisnya. “Sedangkan, negeri
atlantik yang hilang, tentu saja Indonesia. Info itu sudah tersebar di internet
sejak lama.”
“Tapi, kalau
begitu siapa pelakunya?” tanya Inspektur Megure pada Naomi.
“Dengan mengambil
kesimpulan dari situ, kita bisa tahu pelakunya adalah...” Naomi melirikku
sedikit. Aku tetap tenang. Apa sih maksudnya?
“Jimmy Cloud!”
tuding Naomi.
Awalnya aku
kaget, apa yang bisa membuatnya tidak sadar akan kesalahan sepele itu. Tapi, flashback kejadian dari awal aku bertemu
dengannya. Semua kata-kata dan ekspresinya saat itu menyadarkanku akan sesuatu
yang lebih penting.
Bahwa wanita ini
sangat mencurigakan. Tentu saja, dia sebenarnya tak sebodoh itu. Dia sangat
pintar, karena hampir menipuku dengan penampilan dan sikapnya.
Aku tahu, apa
yang harus kulakukan selanjutnya. Tentu saja...
Plok... Plok...
Plok...
Aku bertepuk tangan. “Sebuah pancingan yang
hebat Naomi. Baiklah, sudah ya main-mainnya, pertunjukkan analisis akan segera
dimulai.” aku membuka semua penuturanku. Lagi-lagi aku melihat senyum bercampur
seringai Naomi ke arahku. Dasar wanita. Tak pernah bisa dimengerti apa maunya,
dan apa maksudnya.
“Pertama, yang
menjadi tersangka kejahatan adalah para pilot bar empat yang ada di hadapan
saya. Mula-mula, saya ingin menjelaskan kronologi kejadian. Korban diminta
bertemu oleh ‘ninja’ sejak dua bulan yang lalu. Karena dia enggan melakukan
pertemuan, mungkin ‘ninja’ itu melakukan sesuatu yang buruk padanya. Misalnya,
pemerasan.
“Mengapa aku
bilang pemerasan? Karena meskipun enggan, pada akhirnya korban tetap datang.”
aku menghela nafas sejenak. “Saat datang, si pelaku membawa sesuatu berwarna
cokelat yang dibenci oleh korban. Sesuatu itu kusadari adalah kecoa yang
kutemukan cukup banyak di dalam kamar mandi.”
“Takagi,
perintahkan tim forensik untuk mengumpulkan kecoa-kecoa itu.” perintah
Inspektur Megure.
Aku berani
bertaruh, kalau aku melihat wajah pucat Naomi. Jangan-jangan, dia tak
menyelidiki TKP karena...
“Kecoa-kecoa yang
telah menjadi bangkai itu di taruh dalam sebuah wadah yang sedang dan ditaruh
di atas pintu sedemikian rupa. Sehingga, ketika pintu terbuka, kecoa-kecoa itu
jatuh ke bawah.
“Pelaku mungkin
mengatakan, bahwa ada sesuatu yang menarik di dalam salah satu bilik kamar
mandi sehingga korban tertarik untuk masuk. Dan begitu korban masuk, tamatlah
dia. Setelah korban dipastikan mati, pelaku mendorong mayat korban ke depan
pintu kamar mandi. Dan selesailah pembunuhan.”
“Lalu, Heiji,
siapa pelakunya?” tanya Inspektur Megure penasaran.
“Pelakunya adalah
orang yang melakukan perjalanan ke Indonesia dua bulan yang lalu, Papua Nugini
sebulan yang lalu, ada di China kemarin lusa, dan di Thailand kemarin.”
jelasku.
“Kenapa Papua
Nugini? Bukankah Amerika Serikat?” tanya Inspektur Megure lagi padaku.
“Tidak tahu ya?
Julukan Amerika Serikat adalah ‘dunia baru’ bukan ‘benua baru’. Tapi, daerah
yang disebut benua baru adalah Papua New Guinea, yang namanya berasal dari
Bahasa Inggris. Dengan kata lain, pelakunya adalah...” aku mencari si pelaku
untuk menunjuknya. Aku sempat memandang Naomi. Berusaha memberitahu dengan mataku
bahwa analisis kami berbeda...
“Hattori Jay!
Kaulah orangnya!” Aku tersenyum sinis pada si pelaku.
“Hah? Jangan
membuatku tertawa bocah. Kenapa aku harus dituduh melakukan pembunuhan hanya
karena rute pesawatku? Omong kosong!” bentak Hattori Jay.
“Bukan hanya
itu!” tambahku.
“Lalu apa lagi
omong kosong itu?” tanyanya.
“Ninja!” sahut
Paman Takagi tiba-tiba. Aku menoleh ke arah laki-laki kikuk itu.
“Aku teringat
dengan salah satu film kartun Jepang ketika tahu bahwa korban pecinta kartun.”
Paman Takagi mulai memaparkan. “Yaitu, film Ninja Hattori. Bagian dari namamu
tuan Hattori Jay.”
“Apalagi ini,
hah? Sekarang Ninja?” dia mulai marah-marah.
“Bagaimana kalau
satu bukti ini, tuan. Bukankah tadi kubilang, pelaku membutuhkan sebuah wadah
berukuran sedang untuk meletakkan kecoa. Tapi, tim forensik tak menemukan
apa-apa yang mencurigakan darimu saat interogasi. Kesimpulanku adalah, barang
bukti itu ada di atas kepalamu.”
“Hah?” semua
menoleh ke arahku.
“Ya, bukti itu
dikenakan di kepalanya. Topinya. Jika diperiksa, mungkin akan ada bukti, bahwa
lebih dari satu kecoa pernah ada di dalamnya.”
“OMONG KOSONG!!
MEMANGNYA SALAHKU HAH??!! KENAPA KALIAN MENUDUHKU??!!” Hattori Jay menggeram
marah. “MEMANGNYA SALAHKU KALAU SETAN ITU MATI JANTUNGAN KARENA TAKUT KECOA?!”
tiba-tiba dia membekap mulutnya.
Aku tersenyum
sinis. STRIKE!
“Kok tahu kalau
korban terkena serangan jantung?” tanyaku menjebaknya.
Dia diam. Wajahnya
tampak pucat dan agak ketakutan.
“Tahu, ‘kan?
Karena kamu yang membunuhnya?” ujarku lagi. Awalnya hening, namun tiba-tiba...
“YA, AKU YANG
MEMBUNUHNYA.” teriak Hattori Jay. “DIA MENGGELAPKAN UANG PERUSAHAAN
EKSPOR-IMPOR MILIK IBUKU. DAN SEKARANG PERUSAHAAN ITU NYARIS BANGKRUT. IBUKU
MENINGGAL, DAN DIA PINDAH KE PERUSAHAAN LAIN. AKU MENJEBAKNYA, MEMERASNYA,
HANYA UNTUK MEMBUNUHNYA.”
Usai mengatakan
hal yang panjang lebar itu, dia mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku
celananya. Dia menarik tubuh Naomi dengan cepat dan mengancam, “kalau kalian
berani bergerak, nyawa wanita ini akan hilang.”
Kami semua panik.
Terutama pihak kepolisian. Aku tahu, mereka tak mungkin memilih antara
melepaskan tersangka atau menangkapnya dengan seorang korban.
Tapi, aku
mendengar sesuatu dari mulut Naomi. “Sebenarnya, aku memang ingin mati.” semua
menoleh, bahkan Hattori Jay. “Tapi, maaf ya, aku tak sudi mati di tangan
pembunuh bermental payah sepertimu.” dengan kilat, Naomi melemparkan pisau yang
menyandera lehernya, dan mengunci lengan pelaku, kemudian mengunci mulutnya
dengan tendangan telak di wajah.
Hattori Jay
ditangkap kepolisian Jepang. Paman Takagi dimarahi habis-habisan oleh Inspektur
Megure karena membiarkan tersangka memiliki benda tajam yang cukup berbahaya.
Aku hanya meringis sedikit melihat polisi kikuk itu dimarahi.
Aku diminta untuk
interogasi oleh polisi, namun aku dengan sopan menolaknya, karena Shinichi
tampaknya sekarang makin marah-marah menungguku. Herannya, Naomi juga ikut
menolak interogasi, dan meminta agar keterlibatannya dalam kasus ini tak
disebutkan.
Huh, semakin
mirip Shinichi. Ya, semua gerak-geriknya benar-benar mirip Shinichi. Apa
sebenarnya hubungan dia dengan Shinichi ya?
...
“Heiji!” aku
menoleh, Naomi memanggilku.
“Ehm, analisismu
hebat.” pujinya.
“Tidak.” jawabku.
“Orang yang berpura-pura tidak tahu jauh lebih hebat, kurasa.”
“Eh? Tahu
darimana kalau aku berpura-pura tidak tahu?” tanya Naomi. Benar ternyata dugaanku.
Dia sebenarnya tahu.
“Orang yang bisa
tahu tentang ‘negeri atlantik yang hilang’ adalah orang yang hobby mencari
informasi. Dia tidak mungkin tertukar antara ‘benua baru’ dan ‘dunia baru’.”
aku menjelaskan padanya.
“Kau hebat bisa
mengetahuinya. Tapi, walaupun aku memaparkan yang sebenarnya, aku sama sekali
tak tahu bagaimana kronologi kejadiannya, karena aku tidak mau pergi untuk
memeriksa TKP. Meskipun, aku sangat ingin melakukannya.” katanya merendah.
“Iya, kau
bukannya tidak ingin memeriksa TKP, tapi kamu tidak bisa melakukannya, ‘kan?
Karena kamu takut kecoa.” tambahku lagi.
Wajah Naomi
memerah, namun tetap berkata, “ya, benar sekali.”
Aku sekuat tenaga
menahan tawa. Bagaimanapun tak sopan jika aku mentertawakannya.Jadi, aku
mengalihkan pembicaraan.
“Kau itu
sebenarnya detektif yang cukup hebat. Kau itu, mirip seseorang yang kukenal.”
aku berharap bisa membuka identitasnya. Aku sangat penasaran dengannya.
“Oh ya?” meskipun
suaranya terdengar kaget, tapi tampaknya dia tidak kaget sama sekali. “Mungkin
seseorang bernama Kudo yang meneleponmu.” lalu dia menambahkan, “aku
merindukannya, sungguh. Tapi, sekarang bukan saatnya aku menemuinya.
Setidaknya, belum. Dan kuharap kau mengerti.”
“Dia detektif
hebat, Naomi.” komentarku tentang Shinichi. Meskipun aku belum tahu apa
hubungan wanita ini dengannya.
“Kau juga hebat
Heiji. Dan, analisis ini, kau yang menang. Aku kalah.” katanya lagi.
“Bodoh... Dalam
analisis tak ada menang atau kalah...”
“Karena kebenaran
selalu hanya ada satu? Itu kan yang mau kau katakan?” Naomi melanjutkan
kata-kataku.
“Ya, detektif itu
memberitahuku ketika aku menantangnya adu analisis.” ujarku.
“Huaaaah... Aku
jadi semakin merindukannya, Heiji.” kata wanita itu sambil berlalu, tanpa
mengucapkan selamat tinggal.
“Memang kau
siapanya dia?” tanyaku langsung. Aku sangat penasaran untuk bisa berbasa-basi.
“My name is
Ranaomi Kudo. And he’s my brother.” jawabnya cepat. Dan begitu bisa
mencernanya, mataku terbelalak.
...
“Shinichi! Maaf
aku terlambat.” Heiji masuk ke rumah Shinichi sambil berbisik perlahan.
“Ya, tak apa.”
sahut Shinichi (Conan). Heiji memperhatikan Conan dari atas ke bawah. Tak lama
kemudian...
“Hmph..
Huahahahahaha..” Heiji tertawa terbahak-bahak. “Kau aneh dengan pakaian wanita
itu, bocah. Hahahaha...”
“Jangan
mentertawaiku...” Shinichi jengkel. “Sudah sana temui ibuku. Dia menunggumu
dari tadi.”
Heiji mengangguk
dan berniat meninggalkan Shinichi di ruangan itu, ketika ia teringat sesuatu.
“Hei Shinichi,
boleh aku bertanya?” Heiji berniat menanyakan soal wanita yang ditemuinya saat
kasus di bandara tadi. Tapi pikirannya melayang ke kata-kata wanita itu, ‘aku merindukannya, sungguh. Tapi, sekarang
bukan saatnya aku menemuinya. Setidaknya, belum. Dan kuharap kau mengerti.’
“Heiji?” panggil
Shinichi sambil melambaikan tangannya ke depan mata pemuda Kansai yang melamun
itu.
“Ah sudahlah,
lupakan saja...”
...
“Kasusnya sulit,
Naomi?” tanya seorang wanita yang menjemputnya di bandara.
“Yah, tak
terlalu. Hanya saja ada hal yang kubenci di dalam sana.” komentar Naomi sambil
memencet-mencet tombol smartphone-nya.
“Hei, jangan
bilang itu kecoa?” wanita itu bertanya dengan nada meledek. Wajah Naomi sontak
memerah. Terkadang, dia juga malu karena seorang detektif seperti dia harus
takut pada seekor kecoa. Yukz!
“Yah, sayangnya
iya Kak Jodie.” jawab Naomi akhirnya. Memalingkan wajah ke jendela, berharap
bisa mengurangi rasa malunya.
“Hahahaha.. Kamu
ini detektif yang lucu Naomi. Berani pada banyak hal berbahaya, bahkan berani
menjadi Sniper Hare, tapi takut pada kecoa? Benar-benar konyol.” Jodie Starling
tak juga berhenti mengejek Naomi. Huh, yang benar saja.
“Yah, mau
diapakan lagi Kak.” sahut Naomi. Lalu ia melanjutkan dengan mata menatap
dasbor. “I’m not perfect, and nothing perfect. Dan itu sudah takdirku mungkin.”
“Naomi, ingatlah,
Fear of cockroach is worse than cockroach itself.” ujar Jodie seserius mungkin.
Naomi meledakkan
tawa sekencang-kencangya. “Hahahahaha.. Kau ini aneh-aneh saja, Kak.”
“Tapi,
kata-kataku benar, ‘kan?” goda Jodie lagi, namun tetap berkonsentrasi pada
setirnya.
“No. I think,
cockroach is the worst thing.” jawab Naomi dengan wajah agak pucat dan nada
bicara menyermkan.
“Ya sudahlah.”
kata Jodie. Mencoba mencairkan suasana. “Nanti malam, kami akan melakukan
penjebakan. Mau ikut?” tawar Jodie Starling.
Naomi benar-benar
bersyukur dengan pergantian topik pembicaraan. Sungguh, dia hampir mati jika
selalu membicarakan soal kecoa. Lalu, teringat akan pertanyaan Jodia, dia menggeleng.
“Aku hanya akan mengintip dari balik Porsche Carrera ku.”
“Porsche? Kau
memesannya?” tanya Jodie mengerutan keningnya.
“Ya, tentu saja.
Aku kan sudah 17 tahun, apa salahnya aku punya mobil?” timpal Naomi.
“Yah, nggak salah
sih. Tapi, Porsche Carrera? Kau ini boros sekali ya.” komentar wanita itu.
“Biarlah, Kak
Jodie. Sekali-kali, aku ingin melihat geramnya Gin punya saingan.” ujar Naomi
sambil menyeringai. Dan Jodie hanya menatapnya dengan tatapan
yang-benar-saja-?.
...end of I’m NOT Perfect...
Baca lanjutannya
di fanfic Invisible Detective ---
coming soon
0 Comments