Selasa, 14 Juni 2016

I'm NOT Perfect (Chapter 3 - Final)

Narita
Tokyo, Japan

...
“Ayo ninja, kita harus memecahkan kasus ini!”
Ah, ya. Seruan Naomi itu menyadarkanku akan satu hal. Akhirnya, aku berhasil memecahkan kasus ini 100%.
“Kau benar.” sahutku sambil tersenyum.
Naomi menghampiri Inspektur Megure dan menepuk bahunya.
“Calm down, Inspectur.. Don’t worry.. I will close the case..” ujarnya sambil tersenyum. “Baiklah,” dia mulai melanjutkan, “Polisi, kumpulkan para tersangka disini. Aku akan memulai pertunjukkan analisis.”
Aku bermaksud pergi dari tempat itu, karena Shinichi telah menungguku. Tapi, aku masih terganjal satu hal. Bagaimana jika dia tak bisa menjelaskan kronologi kejadian? Atau, bagaimana jika dia tidak menyadari kesalahan analisisnya tentang salah satu negara itu?
Jadi, aku memutuskan untuk tetap disini.
Semua tersangka telah dikumpulkan di depan pintu kamar mandi, tempat dimana mayat ditemukan. Aku segera menyusul Naomi yang telah lebih dulu berada disana.”Yang pertama, kita harus memulai dari catatan korban sebelum kematiannya.” gadis itu memulai.

“Aaah.. Si ninja itu mengajakku bertemu. Terus terang aku malas. Apa sih pekerjaannya? Senang sekali bolak-balik. Kemarin, dia mengajakku bertemu di negeri merdeka,” Naomi membacakan catatan itu. “terus hari sebelumnya di negeri tembok, bulan lalu di benua baru. Aku heran. Apa dia tak kehabisan uang untuk perjalanan itu. Aku agak menyesal dua bulan lalu bertemu dengannya di negeri atlantik yang hilang. Dan, hari ini, dia mengajakku bertemu di negeri sakura. Aku benci harus menuruti kemauannya seperti ini. Apa sebaiknya aku membunuhnya?  Nah itu dia si ninja. Wah dia memakai seragam. Di bahunya ada empat tanda emas. Apa dia sehebat itu? Oh tidak, dia membawa si coklat sialan itu. Dasar ninja kurang ajar. Seharusnya aku tak memberi tahunya. Oh Tuhan sembunyikan aku...”

“Yang pertama kali akan aku analisa adalah negara-negara yang dikunjungi oleh sang ‘ninja’. Disana tertulis, kemarin dia mengajakku bertemu di ‘negeri merdeka’. Negeri merdeka disini adalah Thailand, karena negara itu tak pernah dijajah dan dijuluki sebagai rumah rakyat merdeka.” Naomi menghela nafas.
Dia melanjutkan lagi, sementara aku menatapnya intens. “Lalu, selanjutnya ‘negeri tembok’. Kita semua bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah China yang terkenal dengan tembok raksasanya. Dan ‘benua baru’ adalah julukan yang cukup dikenal untuk Amerika Serikat.”
Benar dugaanku, dia tak menyadari kesalahannya.
Aku memutuskan untuk tetap diam dan terus mendengarkan analisisnya. “Sedangkan, negeri atlantik yang hilang, tentu saja Indonesia. Info itu sudah tersebar di internet sejak lama.”
“Tapi, kalau begitu siapa pelakunya?” tanya Inspektur Megure pada Naomi.
“Dengan mengambil kesimpulan dari situ, kita bisa tahu pelakunya adalah...” Naomi melirikku sedikit. Aku tetap tenang. Apa sih maksudnya?
“Jimmy Cloud!” tuding Naomi.
Awalnya aku kaget, apa yang bisa membuatnya tidak sadar akan kesalahan sepele itu. Tapi, flashback kejadian dari awal aku bertemu dengannya. Semua kata-kata dan ekspresinya saat itu menyadarkanku akan sesuatu yang lebih penting.
Bahwa wanita ini sangat mencurigakan. Tentu saja, dia sebenarnya tak sebodoh itu. Dia sangat pintar, karena hampir menipuku dengan penampilan dan sikapnya.
Aku tahu, apa yang harus kulakukan selanjutnya. Tentu saja...
Plok... Plok... Plok...
 Aku bertepuk tangan. “Sebuah pancingan yang hebat Naomi. Baiklah, sudah ya main-mainnya, pertunjukkan analisis akan segera dimulai.” aku membuka semua penuturanku. Lagi-lagi aku melihat senyum bercampur seringai Naomi ke arahku. Dasar wanita. Tak pernah bisa dimengerti apa maunya, dan apa maksudnya.
“Pertama, yang menjadi tersangka kejahatan adalah para pilot bar empat yang ada di hadapan saya. Mula-mula, saya ingin menjelaskan kronologi kejadian. Korban diminta bertemu oleh ‘ninja’ sejak dua bulan yang lalu. Karena dia enggan melakukan pertemuan, mungkin ‘ninja’ itu melakukan sesuatu yang buruk padanya. Misalnya, pemerasan.
“Mengapa aku bilang pemerasan? Karena meskipun enggan, pada akhirnya korban tetap datang.” aku menghela nafas sejenak. “Saat datang, si pelaku membawa sesuatu berwarna cokelat yang dibenci oleh korban. Sesuatu itu kusadari adalah kecoa yang kutemukan cukup banyak di dalam kamar mandi.”
“Takagi, perintahkan tim forensik untuk mengumpulkan kecoa-kecoa itu.” perintah Inspektur Megure.
Aku berani bertaruh, kalau aku melihat wajah pucat Naomi. Jangan-jangan, dia tak menyelidiki TKP karena...
“Kecoa-kecoa yang telah menjadi bangkai itu di taruh dalam sebuah wadah yang sedang dan ditaruh di atas pintu sedemikian rupa. Sehingga, ketika pintu terbuka, kecoa-kecoa itu jatuh ke bawah.
“Pelaku mungkin mengatakan, bahwa ada sesuatu yang menarik di dalam salah satu bilik kamar mandi sehingga korban tertarik untuk masuk. Dan begitu korban masuk, tamatlah dia. Setelah korban dipastikan mati, pelaku mendorong mayat korban ke depan pintu kamar mandi. Dan selesailah pembunuhan.”
“Lalu, Heiji, siapa pelakunya?” tanya Inspektur Megure penasaran.
“Pelakunya adalah orang yang melakukan perjalanan ke Indonesia dua bulan yang lalu, Papua Nugini sebulan yang lalu, ada di China kemarin lusa, dan di Thailand kemarin.” jelasku.
“Kenapa Papua Nugini? Bukankah Amerika Serikat?” tanya Inspektur Megure lagi padaku.
“Tidak tahu ya? Julukan Amerika Serikat adalah ‘dunia baru’ bukan ‘benua baru’. Tapi, daerah yang disebut benua baru adalah Papua New Guinea, yang namanya berasal dari Bahasa Inggris. Dengan kata lain, pelakunya adalah...” aku mencari si pelaku untuk menunjuknya. Aku sempat memandang Naomi. Berusaha memberitahu dengan mataku bahwa analisis kami berbeda...
“Hattori Jay! Kaulah orangnya!” Aku tersenyum sinis pada si pelaku.
“Hah? Jangan membuatku tertawa bocah. Kenapa aku harus dituduh melakukan pembunuhan hanya karena rute pesawatku? Omong kosong!” bentak Hattori Jay.
“Bukan hanya itu!” tambahku.
“Lalu apa lagi omong kosong itu?” tanyanya.
“Ninja!” sahut Paman Takagi tiba-tiba. Aku menoleh ke arah laki-laki kikuk itu.
“Aku teringat dengan salah satu film kartun Jepang ketika tahu bahwa korban pecinta kartun.” Paman Takagi mulai memaparkan. “Yaitu, film Ninja Hattori. Bagian dari namamu tuan Hattori Jay.”
“Apalagi ini, hah? Sekarang Ninja?” dia mulai marah-marah.
“Bagaimana kalau satu bukti ini, tuan. Bukankah tadi kubilang, pelaku membutuhkan sebuah wadah berukuran sedang untuk meletakkan kecoa. Tapi, tim forensik tak menemukan apa-apa yang mencurigakan darimu saat interogasi. Kesimpulanku adalah, barang bukti itu ada di atas kepalamu.”
“Hah?” semua menoleh ke arahku.
“Ya, bukti itu dikenakan di kepalanya. Topinya. Jika diperiksa, mungkin akan ada bukti, bahwa lebih dari satu kecoa pernah ada di dalamnya.”
“OMONG KOSONG!! MEMANGNYA SALAHKU HAH??!! KENAPA KALIAN MENUDUHKU??!!” Hattori Jay menggeram marah. “MEMANGNYA SALAHKU KALAU SETAN ITU MATI JANTUNGAN KARENA TAKUT KECOA?!” tiba-tiba dia membekap mulutnya.
Aku tersenyum sinis. STRIKE!
“Kok tahu kalau korban terkena serangan jantung?” tanyaku menjebaknya.
Dia diam. Wajahnya tampak pucat dan agak ketakutan.
“Tahu, ‘kan? Karena kamu yang membunuhnya?” ujarku lagi. Awalnya hening, namun tiba-tiba...
“YA, AKU YANG MEMBUNUHNYA.” teriak Hattori Jay. “DIA MENGGELAPKAN UANG PERUSAHAAN EKSPOR-IMPOR MILIK IBUKU. DAN SEKARANG PERUSAHAAN ITU NYARIS BANGKRUT. IBUKU MENINGGAL, DAN DIA PINDAH KE PERUSAHAAN LAIN. AKU MENJEBAKNYA, MEMERASNYA, HANYA UNTUK MEMBUNUHNYA.”
Usai mengatakan hal yang panjang lebar itu, dia mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku celananya. Dia menarik tubuh Naomi dengan cepat dan mengancam, “kalau kalian berani bergerak, nyawa wanita ini akan hilang.”
Kami semua panik. Terutama pihak kepolisian. Aku tahu, mereka tak mungkin memilih antara melepaskan tersangka atau menangkapnya dengan seorang korban.
Tapi, aku mendengar sesuatu dari mulut Naomi. “Sebenarnya, aku memang ingin mati.” semua menoleh, bahkan Hattori Jay. “Tapi, maaf ya, aku tak sudi mati di tangan pembunuh bermental payah sepertimu.” dengan kilat, Naomi melemparkan pisau yang menyandera lehernya, dan mengunci lengan pelaku, kemudian mengunci mulutnya dengan tendangan telak di wajah.
Hattori Jay ditangkap kepolisian Jepang. Paman Takagi dimarahi habis-habisan oleh Inspektur Megure karena membiarkan tersangka memiliki benda tajam yang cukup berbahaya. Aku hanya meringis sedikit melihat polisi kikuk itu dimarahi.
Aku diminta untuk interogasi oleh polisi, namun aku dengan sopan menolaknya, karena Shinichi tampaknya sekarang makin marah-marah menungguku. Herannya, Naomi juga ikut menolak interogasi, dan meminta agar keterlibatannya dalam kasus ini tak disebutkan.
Huh, semakin mirip Shinichi. Ya, semua gerak-geriknya benar-benar mirip Shinichi. Apa sebenarnya hubungan dia dengan Shinichi ya?

...
“Heiji!” aku menoleh, Naomi memanggilku.
“Ehm, analisismu hebat.” pujinya.
“Tidak.” jawabku. “Orang yang berpura-pura tidak tahu jauh lebih hebat, kurasa.”
“Eh? Tahu darimana kalau aku berpura-pura tidak tahu?” tanya Naomi. Benar ternyata dugaanku. Dia sebenarnya tahu.
“Orang yang bisa tahu tentang ‘negeri atlantik yang hilang’ adalah orang yang hobby mencari informasi. Dia tidak mungkin tertukar antara ‘benua baru’ dan ‘dunia baru’.” aku menjelaskan padanya.
“Kau hebat bisa mengetahuinya. Tapi, walaupun aku memaparkan yang sebenarnya, aku sama sekali tak tahu bagaimana kronologi kejadiannya, karena aku tidak mau pergi untuk memeriksa TKP. Meskipun, aku sangat ingin melakukannya.” katanya merendah.
“Iya, kau bukannya tidak ingin memeriksa TKP, tapi kamu tidak bisa melakukannya, ‘kan? Karena kamu takut kecoa.” tambahku lagi.
Wajah Naomi memerah, namun tetap berkata, “ya, benar sekali.”
Aku sekuat tenaga menahan tawa. Bagaimanapun tak sopan jika aku mentertawakannya.Jadi, aku mengalihkan pembicaraan.
“Kau itu sebenarnya detektif yang cukup hebat. Kau itu, mirip seseorang yang kukenal.” aku berharap bisa membuka identitasnya. Aku sangat penasaran dengannya.
“Oh ya?” meskipun suaranya terdengar kaget, tapi tampaknya dia tidak kaget sama sekali. “Mungkin seseorang bernama Kudo yang meneleponmu.” lalu dia menambahkan, “aku merindukannya, sungguh. Tapi, sekarang bukan saatnya aku menemuinya. Setidaknya, belum. Dan kuharap kau mengerti.”
“Dia detektif hebat, Naomi.” komentarku tentang Shinichi. Meskipun aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengannya.
“Kau juga hebat Heiji. Dan, analisis ini, kau yang menang. Aku kalah.” katanya lagi.
“Bodoh... Dalam analisis tak ada menang atau kalah...”
“Karena kebenaran selalu hanya ada satu? Itu kan yang mau kau katakan?” Naomi melanjutkan kata-kataku.
“Ya, detektif itu memberitahuku ketika aku menantangnya adu analisis.” ujarku.
“Huaaaah... Aku jadi semakin merindukannya, Heiji.” kata wanita itu sambil berlalu, tanpa mengucapkan selamat tinggal.
“Memang kau siapanya dia?” tanyaku langsung. Aku sangat penasaran untuk bisa berbasa-basi.
“My name is Ranaomi Kudo. And he’s my brother.” jawabnya cepat. Dan begitu bisa mencernanya, mataku terbelalak.

...

“Shinichi! Maaf aku terlambat.” Heiji masuk ke rumah Shinichi sambil berbisik perlahan.
“Ya, tak apa.” sahut Shinichi (Conan). Heiji memperhatikan Conan dari atas ke bawah. Tak lama kemudian...
“Hmph.. Huahahahahaha..” Heiji tertawa terbahak-bahak. “Kau aneh dengan pakaian wanita itu, bocah. Hahahaha...”
“Jangan mentertawaiku...” Shinichi jengkel. “Sudah sana temui ibuku. Dia menunggumu dari tadi.”
Heiji mengangguk dan berniat meninggalkan Shinichi di ruangan itu, ketika ia teringat sesuatu.
“Hei Shinichi, boleh aku bertanya?” Heiji berniat menanyakan soal wanita yang ditemuinya saat kasus di bandara tadi. Tapi pikirannya melayang ke kata-kata wanita itu, ‘aku merindukannya, sungguh. Tapi, sekarang bukan saatnya aku menemuinya. Setidaknya, belum. Dan kuharap kau mengerti.’
“Heiji?” panggil Shinichi sambil melambaikan tangannya ke depan mata pemuda Kansai yang melamun itu.
“Ah sudahlah, lupakan saja...”

...

“Kasusnya sulit, Naomi?” tanya seorang wanita yang menjemputnya di bandara.
“Yah, tak terlalu. Hanya saja ada hal yang kubenci di dalam sana.” komentar Naomi sambil memencet-mencet tombol smartphone-nya.
“Hei, jangan bilang itu kecoa?” wanita itu bertanya dengan nada meledek. Wajah Naomi sontak memerah. Terkadang, dia juga malu karena seorang detektif seperti dia harus takut pada seekor kecoa. Yukz!
“Yah, sayangnya iya Kak Jodie.” jawab Naomi akhirnya. Memalingkan wajah ke jendela, berharap bisa mengurangi rasa malunya.
“Hahahaha.. Kamu ini detektif yang lucu Naomi. Berani pada banyak hal berbahaya, bahkan berani menjadi Sniper Hare, tapi takut pada kecoa? Benar-benar konyol.” Jodie Starling tak juga berhenti mengejek Naomi. Huh, yang benar saja.
“Yah, mau diapakan lagi Kak.” sahut Naomi. Lalu ia melanjutkan dengan mata menatap dasbor. “I’m not perfect, and nothing perfect. Dan itu sudah takdirku mungkin.”
“Naomi, ingatlah, Fear of cockroach is worse than cockroach itself.” ujar Jodie seserius mungkin.
Naomi meledakkan tawa sekencang-kencangya. “Hahahahaha.. Kau ini aneh-aneh saja, Kak.”
“Tapi, kata-kataku benar, ‘kan?” goda Jodie lagi, namun tetap berkonsentrasi pada setirnya.
“No. I think, cockroach is the worst thing.” jawab Naomi dengan wajah agak pucat dan nada bicara menyermkan.
“Ya sudahlah.” kata Jodie. Mencoba mencairkan suasana. “Nanti malam, kami akan melakukan penjebakan. Mau ikut?” tawar Jodie Starling.
Naomi benar-benar bersyukur dengan pergantian topik pembicaraan. Sungguh, dia hampir mati jika selalu membicarakan soal kecoa. Lalu, teringat akan pertanyaan Jodia, dia menggeleng. “Aku hanya akan mengintip dari balik Porsche Carrera ku.”
“Porsche? Kau memesannya?” tanya Jodie mengerutan keningnya.
“Ya, tentu saja. Aku kan sudah 17 tahun, apa salahnya aku punya mobil?” timpal Naomi.
“Yah, nggak salah sih. Tapi, Porsche Carrera? Kau ini boros sekali ya.” komentar wanita itu.
“Biarlah, Kak Jodie. Sekali-kali, aku ingin melihat geramnya Gin punya saingan.” ujar Naomi sambil menyeringai. Dan Jodie hanya menatapnya dengan tatapan yang-benar-saja-?.

...end of I’m NOT Perfect...


Baca lanjutannya di fanfic Invisible Detective --- coming soon

0 comments:

Posting Komentar