Four Seasons (Empat Musim)
16.39.00Saat sebuah cerita berakhir di titik dimana ia dimulai.
Tinggal di negeri
empat musim memiliki nilai tersendiri bagiku.
Aku bisa
merasakan saat matahari membakar kulitku di musim panas, dedaunan menimpa
puncak kepalaku saat aku menapaki jalur pejalan kaki di musim gugur, salju
putih yang dingin menghujani mantel yang kukenakan di musim dingin, dan aku
dapat menghirup aroma bunga-bunga yang bermekaran di musim semi.
Bukannya aku
tidak suka tinggal di negeri dua musim. Apalagi negeriku memiliki kekayaan
panorama yang tidak bisa dibandingkan dengan negeri manapun. Hanya saja, empat
musim seakan benar-benar menggambarkan seperti apa manusia. Empat musim
memiliki nyawa dan ungkapan perasaannya sendiri.
Musim panas
mengungkapkan rasa benci. Kemarahan yang siap membakar siapapun yang masih
berada dalam jarak pandangnya. Namun, rasa marahnya bukan rasa marah yang tanpa
akhir. Ia akan mengakhirinya dan memulai perasaan yang baru.
Musim gugur.
Ketika rasa bersalah mulai menghantui, hingga bahkan pepohonan menggugurkan
keindahannya. Ia jatuhkan dedaunannya, sampai ia tak memiliki satupun lagi.
Hanya tinggal batang kayu yang terlihat kosong dan rapuh.
Musim dingin.
Kekosongan dan kesepian diterpa dingin yang menusuk. Tapi jika ada kekuatan untuk bertahan, di
tengah dingin itu boleh jadi ada perapian hangat tempat bernaung. Meski
menemukan atau menciptakan perapian itu memerlukan usaha yang tidak sederhana.
Dan setelah
begitu banyak perasaan bergejolak, musim semi memancarkan aura ketentraman.
Hilang kebencian dan rasa sesal, tumbuh helai dedaunan baru, harapan baru.
Aroma kehidupan terasa begitu nyata. Menyengat, namun menenangkan. Meski suatu
saat akan kembali lagi ke musim gugur, namun keinginan untuk menanti datangnya
musim semi kembali begitu kuat, mengalahkan ketakutan akan musim gugur.
Begitulah kisahku
dengannya mengalir. Bagaikan empat musim dengan emosinya masing-masing. Tawa,
tangis, rasa percaya, kegelisahan, keengganan, keraguan, penuh tanya, dan
harapan tanpa alasan silih berganti menghinggapiku. Apakah dia sama?
Di negeri empat
musim ini, aku menatap langit dan memanggil serpihan memori. Perlahan
kupejamkan mata dan mulai tenggelam dalam kerinduan. Apakah negeri empat
musimnya juga memiliki makna, dan menerawang perasaan yang tak sempat
tersampaikan jelas?
-o0o-
Kubaca headline surat kabar yang ada di
hadapanku. Lagi-lagi tentang korupsi. Sudah terlalu biasa untuk saat ini sampai
kadang aku muak sendiri. Aku hanya geleng-geleng kepala membacanya, sembari
terus berharap generasiku akan memperbaiki semua kekacauan ini, dan bukan malah
makin mengacaukannya.
Sedang fokus
dengan artikel itu, tiba-tiba aku merasakan seseorang tengah berdiri di sebelah
kananku. Kulirik sekilas, dan tidak heran ketika menemukan siapa yang ada
disana.
“Can I read this newspaper?” dia bertanya dengan Bahasa Inggris,
karena memang perpustakaan adalah Foreign
Language Area.
“But, I’m reading it, Ardian,” jawabku sambil agak menjauhkan surat
kabar itu darinya.
“Oh, come on, Nirmala, we can read it together,
right?” katanya sambil
menarik surat kabar yang tadi kujauhkan darinya.
“Please, Di. Can’t you just give me a private time
even just for a while?”
sahutku sambil memasang wajah sebal. Lalu, untuk yang kesekian kalinya
kuputuskan untuk mengalah. “Okay, if you
want to read this, just take it, now I’m not in a mood to read anything.”
Kutinggalkan Ardian dengan surat kabar itu.
Ardian adalah
teman sekelasku. Baru setengah tahun sekelas dengannya tapi hidupku rasanya
seperti dihantui. Bagaimana tidak, dimanapun dan di berbagai kesempatan dia
pasti selalu menggangguku. Pernah suatu hari dia melempariku balon-balon kecil
berisi air saat aku sedang belajar untuk ulangan kimia di taman. Ya, aku tahu
dia memang ahli kimia, maksudku dia memang ahli di setiap pelajaran, tapi bukan
berarti lalu dia bisa seenaknya mengerjaiku.
Yang membuatku
lebih sebal padanya adalah tingkahnya di kelas. Setiap pelajaran, yang dia
lakukan hanya bermain-main dengan sketch
book-nya, tapi dia tidak pernah absen menduduki peringkat tiga besar di
kelas sejak kelas satu. Bahkan dia sering menjuarai berbagai kompetisi, dari
mulai matematika, kimia, biologi, sampai yang tidak ada di kurikulum, yaitu
astronomi.
Aku melangkah
menjauhi meja tempat Ardian membaca tanpa menoleh lagi. Saat kakiku sampai di
depan pintu keluar perpustakaan, bel tanda masuk berbunyi. Aku segera berjalan
ke loker dan mengambil tasku disana. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah katapun,
kuayunkan kakiku menuju kelas berikutnya. Matematika.
-o0o-
“Jadi menurut
kamu, soal ini bisa dikerjakan dengan metode substitusi?”
“Iya, Di. Liat
deh, kalau yang di dalam akar ini kita misalkan suatu variabel terus diturunin,
dia bisa memuat bentuk kuadrat.”
“Tapi masih
tersisa satu variabel lagi yang nggak kuadrat, Nirmala.”
Aku dan Ardian
berdebat lagi. Entah yang keberapa kali hari ini. Yang kami perdebatkan adalah,
apakah soal matematika integral di hadapan kami bisa dikerjakan dengan metode
substitusi atau hanya dengan parsial. Herannya, kami kerap kali ada dalam satu
kelompok diskusi yang sama meskipun seringnya kelompok itu bukan jadi kelompok
diskusi, tapi kelompok debat.
“Udahlah, Di,
Nir, ngapain sih kalian berdua ngeributin yang nggak penting? Kan Pak Don udah
menjabarkan cara parsialnya secara lengkap barusan. Intinya, pertanyaan
terjawab,” timpal Farhan, teman sekelompok kami yang lain. Sepertinya dia mulai
lelah mendengarkan perdebatan kami.
“Tapi, Far,
Nirmala itu udah membuat suatu pertanyaan yang harus dipertanggungjawabkan,”
sahut Ardian. Aku hanya meringis mendengarnya, lalu memilih diam. Sepertinya
kali ini lebih baik aku mengalah lagi, daripada Farhan jadi tidak nyaman dan
anti sekelompok denganku.
“Jadi, Nirmala,
apa pertanggungjawabanmu?” tanya Ardian yang terlihat belum mau mengakhiri
perdebatan ini.
Belum sempat aku
menjawab bahwa aku menyerah dan ingin menyudahinya, aku mendengar namaku
dipanggil oleh Pak Don. Aku lalu beranjak dari tempat duduk dan menghampiri
beliau.
“Nirmala, kamu
dipanggil kepala sekolah,” ujar Pak Don.
Perasaanku jadi
sedikit tidak enak. Sepertinya aku tahu atas alasan apa kepala sekolah
memanggilku. Entah wajahku tampilannya seperti apa, tapi saat itu aku merasa
kusut. Kulangkahkan kakiku gontai keluar dari kelas. Segala tentang
perdebatanku tadi dengan Ardian menguap begitu saja. Sekejap, aku tenggelam
dalam bayanganku, sudah seberapa burukkah masalah ini.
-o0o-
“Sebentar lagi
pembagian rapor semester lima, Nirmala. Dengan nilai mata pelajaran kimia yang
seperti itu, saya sedikit tidak yakin kamu bisa lulus.”
Suara kepala
sekolah masuk ke dalam telingaku dan menusuk fikiranku. Empat semester
terakhir, nilai kimiaku lulus dengan berkali-kali tes ulang. Dan saat naik
kelas, kepala sekolah telah memperingatkanku bahwa ujian nasional dan ujian sekolah
tidak ada tes ulangnya. Jadi jika aku mau lulus, aku harus lebih giat belajar.
Aku merasa sudah
giat. Nilai-nilaiku meningkat, meskipun tidak jauh dari nilai nilai tuntas
minimum. Setidaknya, jika ujian akhir semesterku bisa mencapai 60, semester ini
aku akan lulus. Tapi, kalau kepala sekolah sampai memanggilku, berarti...
“Sebenarnya nilai
ulangan harian dan ujian tengah semestermu lumayan, Nirmala. Tapi, ujian akhir
semester menjatuhkan semuanya. Sepertinya, semester ini kamu harus ujian ulang
lagi.”
Aku terkesiap.
Kalau kepala sekolah bilang aku harus ujian ulang, berarti nilaiku tidak
mencapai 60. Tiba-tiba kepalaku sakit. Mungkin saat ini wajahku bukan lagi
kusut, tapi benar-benar amburadul.
“Memangnya kamu
tidak belajar, Nirmala?”
Aku menunduk dalam-dalam.
Ingatanku kembali pada sehari sebelum ujian kimia. Itu adalah hari dimana
Ardian melempariku dengan balon-balon air, dan karena itu catatan kimiaku basah
dan tintanya luntur. Malamnya, aku hanya belajar dengan handout yang diberikan guru, sedangkan semua catatanku lenyap.
“Saya belajar,
Bu. Hanya saja, mungkin memang kurang maksimal.” Hanya jawaban itulah yang
kemudian kuberikan. Setengah mati kutahan amarah yang rasanya sudah siap
meledak.
“Ya sudah.
Sebaiknya kamu belajar lebih dan lebih giat lagi. Saya ingin melihat kamu
wisuda, Nirmala,” ujar kepala sekolah
dengan senyuman memotivasi.
“Doakan saya,
Bu,” sahutku lemas.
Kubalikkan
tubuhku dan aku mulai berjalan. Entah kemana, namun kuharap aku tak bertemu
dengan Ardian. Karena jika sampai aku melihatnya. Aku tidak tahu separah apa
aku akan menyalahkannya atas ini semua.
-o0o-
Saat aku kembali
ke kelas matematika, hanya tinggal barang-barangku yang masih berada disana.
Teman-teman sekelasku sepertinya sudah pindah ke kelas berikutnya.
Saat tubuhku
sepenuhnya berada di dalam kelas, aku baru menyadari bahwa ternyata aku tidak
sendirian. Di pojok belakang kelas ada seseorang yang paling tidak ingin
kutemui. Ardian.
“Kenapa lo
dipanggil kepala sekolah? Kena kasus?” tanyanya seenaknya. Aku masih menahan
amarah yang rasanya benar-benar ingin kuledakkan. Kubenahi barang-barangku
secepat aku bisa.
“Makanya,
Nirmala, belajar yang rajin, jangan nakal,” ujarnya menambahkan karena aku
hanya diam dan menganggapnya tak ada disana.
Saat dia
mengucapkan kalimat terakhir, tanganku yang menggenggam buku matematika
bergetar. Aku tidak kuat lagi menahan marah yang luar biasa, jadi aku hanya
terduduk di atas kursi sambil menunduk. Air mataku mengalir deras, bukan lagi
menetes. Ardian yang melihat tubuhku bergetar dari belakang, menghampiriku lalu
duduk di depanku. Aku masih terus menangis dan enggan melihatnya, karena
semakin aku melihatnya akan lebih banyak air mata yang keluar.
“Siapa, Nirmala?”
tanyanya perlahan. “Siapa yang membuat kamu nangis?”
Dengan segenap
kekuatan untuk menahan diri yang masih kumiliki, kuangkat wajahku dan kutatap
matanya lekat. “Gue salah apa sih sama lo, Di?”
Ardian
mengerutkan kening, tampaknya tak bisa berkata-kata.
“Gue tau lo
cerdas, tapi apa harus selalu mempermasalahkan setiap omongan gue? Gue tau lo
suka baca, tapi apa harus merebut semua yang lagi gue baca? Gue tau lo jago
kimia, tapi apa harus lo ngeledek gue sampe buku catetan kimia gue basah, gue
nggak bisa belajar, dan sekarang gue terancam nggak lulus? Empat semester, Di,
gue harus tes ulang kimia. Saat semester kelima gue bener-bener berjuang untuk
dapet nilai lebih baik, keisengan lo menghancurkan semuanya. Mungkin bagi lo,
itu ‘cuma’ kimia, tapi bagi gue, itu tiket kelulusan, Di.”
Aku mendengar
Ardian menghela nafas. Tapi, dia masih diam tak berbicara sepatah katapun.
Seakan masih memberikan waktu untukku memuntahkan segalanya.
“Apa lo punya
penjelasan kenapa lo selalu ganggu gue? Apa lo punya alasan yang bisa gue
terima?” tanyaku menuntut jawaban.
Ardian terdiam.
Selama beberapa detik yang terjadi hanyalah keheningan. Keheningan yang
terdengar, karena begitu terasa lambat. Sampai akhirnya, Ardian menggeleng dan
hanya berucap, “gue minta maaf ya, Nirmala,” lalu pergi meninggalkanku
sendirian, tanpa aku tahu butuh waktu lama untukku kembali menemuinya setelah
itu.
-o0o-
Esoknya, Ardian
tidak ada di kelas. Aku tidak tahu kemana dia, tapi aku juga tidak mau
bertanya. Aku masih merasa sangat marah padanya atas banyak hal. Terutama
masalah nilai kimiaku.
Seharian ini di
waktu luang, aku hanya menghabiskan waktuku di perpustakaan sendirian. Sesaat,
aku merasa sepi juga tidak diganggu oleh Ardian hampir seharian ini. Namun
kuyakinkan diriku untuk menikmatinya, karena tak selamanya aku bisa seperti
ini.
Seminggu berlalu,
dan aku masih tidak bertanya-tanya tentangnya. Tiga hari lagi pembagian rapor
semester. Aku mulai membolak-balik buku kimia dan menyerap berbagai hal dari
sana. Minggu pertama semester depan adalah hari ujian ulangku. Aku hanya bisa
berdoa yang terbaik.
Hari pembagian
rapor tiba. Seperti yang biasa kulakukan saat bagi rapor, aku menjaga meja
registrasi wali murid yang akan mengambil rapor. Pagi itu, aku sudah duduk
disana sejak pukul tujuh pagi. Walaupun biasanya wali murid baru akan datang
pukul delapan, kurasa tidak ada salahnya datang lebih awal.
Diluar dugaan,
sudah ada seorang wali murid yang menunggu di depan meja debelum aku dan bahkan
wali kelasku datang. Kuhampiri beliau, lalu kusalami.
“Pagi, Tante!”
sapaku ramah.
“Pagi! Pembagian
rapor dimulai jam berapa ya kira-kira?” tanya beliau.
“Biasanya jam
delapan tante, tertulis di jadwal juga jam segitu,” jawabku.
“Haduh, bagaimana
ya? Tante mengejar jadwal pesawat. Di tiketnya tertulis jam sembilan,” sahutnya
lagi.
Aku lalu
mengernyitkan kening mencoba mencari jalan keluar. Kuraih telepon genggamku dan
ku telepon wali kelasku untuk memberitahukan masalahnya. Ternyata wali kelasku
bersedia untuk datang lebih awal.
Sambil menunggu,
aku banyak mengobrol dengan beliau. Setelah panjang lebar, aku baru sadar kalau
aku belum bertanya beliau wali murid siapa.
“Maaf, Tante,
kalau boleh tanya, Tante wali murid dari siapa?” tanyaku berusaha sesopan
mungkin.
“Kamu bisa
panggil Tante Rina, Tante Ibunya Satria Ardian Mahdi, namamu siapa?”
Aku terkesiap
mendengar nama Ardian. Sudah lebih dari seminggu dia tidak masuk sekolah.
Awalnya memang aku senang karena tak ada yang menggangguku, tapi lama-kelamaan
aku jadi merasa kehilangan. Dan sekarang, ibunya tepat berada di depanku.
“Dik, namamu
siapa?” Tante Rina mengulangi pertanyaannya.
“Nama saya
Nirmala Diana Sakura, Tante,” jawabku akhirnya setelah susah payah mengumpulkan
suara.
“Oh, jadi kamu
yang namanya Nirmala?” tanya Tante Rina lagi.
Aku
bertanya-tanya apa maksudnya, sampai Tante Rina menyodorkan sebuah kotak
terbungkus kertas kado rapi. Kuambil kotak itu. Kotak yang tak pernah kukira
akan kudapatkan.
-o0o-
Belum sampai setengah tahun yang lalu aku
mengenalmu, dan aku langsung tertarik. Begitu saja, tanpa alasan yang jelas.
Bagiku kau adalah gadis empat musim. Kenapa? Karena emosimu selalu tampak meski
tak pernah kau ledakkan. Kadang kau tersenyum membawa aura musim semi, kadang
kau marah membawa tegangnya musim panas, kadang kau hanya diam membawa sunyinya
musim dingin, dan kadang kau terlihat begitu rapuh membawa keringnya musim
gugur.
Aku selalu ingin berada di dekatmu, dan mengamati
saat musim itu berganti. Hanya saja, mungkin aku tidak tahu bagaimana caranya.
Aku sungguh-sungguh minta maaf, aku memang salah. Jadi, meskipun kau tak bisa
memaafkanku, izinkan aku memperbaiki banyak hal dengan kotak ini.
Nirmala Diana Sakura, di negeri dua musim ini aku
tak bisa menemukan empat musim lain, maka saat kamu membuka kotak ini, aku
telah berada di tempat dimana seharusnya aku berada. Negeri empat musim.
Mengejar mimpiku, melepaskan apa yang seharusnya tak pernah ada. Karena
bagaimanapun, empat musim di negeri dua musim tak semestinya kumiliki.
Air mataku
menetes lagi. Walau entah telah berapa juta kali aku membaca ulang surat itu.
Surat itu kuterima tujuh tahun yang lalu, di dalam sebuah kotak berisi dua buah
buku, dan satu buah sketch book. Buku
pertama berisi ringkasan kimia SMA lengkap, yang sepertinya adalah tulisan
tangan Ardian, buku kedua berisi kliping artikel-artikel yang pernah
kuperdebatkan dengan Ardian, termasuk artikel yang dulu pernah kami perebutkan
di perpustakaan, dan sketch book-nya
berisi lukisan wajahku dengan berbagai emosi. Ada wajahku yang sedang tersenyum
dan bertuliskan ‘musim semi’, wajahku sedang diam tanpa ekspresi bertuliskan
‘musim dingin’, wajahku sedih dan menangis bertuliskan ‘musim gugur’, dan wajah
marahku bertuliskan ‘musim panas’.
Dengan buku
ringkasan itu, aku akhirnya bisa lulus sekolah dengan nilai diatas rata-rata,
dan bahkan aku bisa mendaftar ke salah satu perguruan tinggi di Jepang.
Maka saat ini
disinilah aku, terduduk di bangku taman menikmati angin musim gugur sambil
mengenang kembali tentang masa lalu yang tak pernah bisa kuulangi.
Aku tak tahu
dimana Ardian sekarang. Bahkan sejak awal aku tidak tahu ke negeri mana dia
pergi. Seandainya ini hanya sebuah cerita, maka tentulah aku akan berharap
tiba-tiba dia muncul disampingku agar aku bisa mengatakan semuanya. Tapi,
sepertinya, bahkan jikapun ini hanya sebuah cerita, cerita ini takkan mudah
untuk kami yang kini hanya seserpih memori.
-o0o-
Sebuah cerita
akan berakhir di titik dimana dia dimulai. Maka, setelah delapan tahun berlalu
sejak kejadian di kelas matematika, kami kembali dipertemukan disana dalam
keadaan yang berbeda. Yang kuingat adalah kami saling berbalas senyum dan
memandang penuh arti. Tidak ada kata-kata kerinduan, hanya tatapan namun
rasanya sudah cukup untuk kami saling mengerti. Bahwa suatu hari, kami akan
mengenang hari ini sebagai hari dimana kami kembali, memenuhi takdir yang
seharusnya. Bahwa empat musim yang kumiliki, memang hanya untuknya.
Serpong
3 Oktober 2013
0 Comments