Selasa, 14 Juni 2016

Four Seasons (Empat Musim)

Saat sebuah cerita berakhir di titik dimana ia dimulai.
Tinggal di negeri empat musim memiliki nilai tersendiri bagiku.
Aku bisa merasakan saat matahari membakar kulitku di musim panas, dedaunan menimpa puncak kepalaku saat aku menapaki jalur pejalan kaki di musim gugur, salju putih yang dingin menghujani mantel yang kukenakan di musim dingin, dan aku dapat menghirup aroma bunga-bunga yang bermekaran di musim semi.
Bukannya aku tidak suka tinggal di negeri dua musim. Apalagi negeriku memiliki kekayaan panorama yang tidak bisa dibandingkan dengan negeri manapun. Hanya saja, empat musim seakan benar-benar menggambarkan seperti apa manusia. Empat musim memiliki nyawa dan ungkapan perasaannya sendiri.
Musim panas mengungkapkan rasa benci. Kemarahan yang siap membakar siapapun yang masih berada dalam jarak pandangnya. Namun, rasa marahnya bukan rasa marah yang tanpa akhir. Ia akan mengakhirinya dan memulai perasaan yang baru.
Musim gugur. Ketika rasa bersalah mulai menghantui, hingga bahkan pepohonan menggugurkan keindahannya. Ia jatuhkan dedaunannya, sampai ia tak memiliki satupun lagi. Hanya tinggal batang kayu yang terlihat kosong dan rapuh.
Musim dingin. Kekosongan dan kesepian diterpa dingin yang menusuk.  Tapi jika ada kekuatan untuk bertahan, di tengah dingin itu boleh jadi ada perapian hangat tempat bernaung. Meski menemukan atau menciptakan perapian itu memerlukan usaha yang tidak sederhana.
Dan setelah begitu banyak perasaan bergejolak, musim semi memancarkan aura ketentraman. Hilang kebencian dan rasa sesal, tumbuh helai dedaunan baru, harapan baru. Aroma kehidupan terasa begitu nyata. Menyengat, namun menenangkan. Meski suatu saat akan kembali lagi ke musim gugur, namun keinginan untuk menanti datangnya musim semi kembali begitu kuat, mengalahkan ketakutan akan musim gugur.
Begitulah kisahku dengannya mengalir. Bagaikan empat musim dengan emosinya masing-masing. Tawa, tangis, rasa percaya, kegelisahan, keengganan, keraguan, penuh tanya, dan harapan tanpa alasan silih berganti menghinggapiku. Apakah dia sama?
Di negeri empat musim ini, aku menatap langit dan memanggil serpihan memori. Perlahan kupejamkan mata dan mulai tenggelam dalam kerinduan. Apakah negeri empat musimnya juga memiliki makna, dan menerawang perasaan yang tak sempat tersampaikan jelas?

-o0o-

Kubaca headline surat kabar yang ada di hadapanku. Lagi-lagi tentang korupsi. Sudah terlalu biasa untuk saat ini sampai kadang aku muak sendiri. Aku hanya geleng-geleng kepala membacanya, sembari terus berharap generasiku akan memperbaiki semua kekacauan ini, dan bukan malah makin mengacaukannya.
Sedang fokus dengan artikel itu, tiba-tiba aku merasakan seseorang tengah berdiri di sebelah kananku. Kulirik sekilas, dan tidak heran ketika menemukan siapa yang ada disana.
“Can I read this newspaper?” dia bertanya dengan Bahasa Inggris, karena memang perpustakaan adalah Foreign Language Area.
“But, I’m reading it, Ardian,” jawabku sambil agak menjauhkan surat kabar itu darinya.
“Oh, come on, Nirmala, we can read it together, right?” katanya sambil menarik surat kabar yang tadi kujauhkan darinya.
“Please, Di. Can’t you just give me a private time even just for a while?” sahutku sambil memasang wajah sebal. Lalu, untuk yang kesekian kalinya kuputuskan untuk mengalah. “Okay, if you want to read this, just take it, now I’m not in a mood to read anything.” Kutinggalkan Ardian dengan surat kabar itu.
Ardian adalah teman sekelasku. Baru setengah tahun sekelas dengannya tapi hidupku rasanya seperti dihantui. Bagaimana tidak, dimanapun dan di berbagai kesempatan dia pasti selalu menggangguku. Pernah suatu hari dia melempariku balon-balon kecil berisi air saat aku sedang belajar untuk ulangan kimia di taman. Ya, aku tahu dia memang ahli kimia, maksudku dia memang ahli di setiap pelajaran, tapi bukan berarti lalu dia bisa seenaknya mengerjaiku.
Yang membuatku lebih sebal padanya adalah tingkahnya di kelas. Setiap pelajaran, yang dia lakukan hanya bermain-main dengan sketch book-nya, tapi dia tidak pernah absen menduduki peringkat tiga besar di kelas sejak kelas satu. Bahkan dia sering menjuarai berbagai kompetisi, dari mulai matematika, kimia, biologi, sampai yang tidak ada di kurikulum, yaitu astronomi.
Aku melangkah menjauhi meja tempat Ardian membaca tanpa menoleh lagi. Saat kakiku sampai di depan pintu keluar perpustakaan, bel tanda masuk berbunyi. Aku segera berjalan ke loker dan mengambil tasku disana. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, kuayunkan kakiku menuju kelas berikutnya. Matematika.

-o0o-

“Jadi menurut kamu, soal ini bisa dikerjakan dengan metode substitusi?”
“Iya, Di. Liat deh, kalau yang di dalam akar ini kita misalkan suatu variabel terus diturunin, dia bisa memuat bentuk kuadrat.”
“Tapi masih tersisa satu variabel lagi yang nggak kuadrat, Nirmala.”
Aku dan Ardian berdebat lagi. Entah yang keberapa kali hari ini. Yang kami perdebatkan adalah, apakah soal matematika integral di hadapan kami bisa dikerjakan dengan metode substitusi atau hanya dengan parsial. Herannya, kami kerap kali ada dalam satu kelompok diskusi yang sama meskipun seringnya kelompok itu bukan jadi kelompok diskusi, tapi kelompok debat.
“Udahlah, Di, Nir, ngapain sih kalian berdua ngeributin yang nggak penting? Kan Pak Don udah menjabarkan cara parsialnya secara lengkap barusan. Intinya, pertanyaan terjawab,” timpal Farhan, teman sekelompok kami yang lain. Sepertinya dia mulai lelah mendengarkan perdebatan kami.
“Tapi, Far, Nirmala itu udah membuat suatu pertanyaan yang harus dipertanggungjawabkan,” sahut Ardian. Aku hanya meringis mendengarnya, lalu memilih diam. Sepertinya kali ini lebih baik aku mengalah lagi, daripada Farhan jadi tidak nyaman dan anti sekelompok denganku.
“Jadi, Nirmala, apa pertanggungjawabanmu?” tanya Ardian yang terlihat belum mau mengakhiri perdebatan ini.
Belum sempat aku menjawab bahwa aku menyerah dan ingin menyudahinya, aku mendengar namaku dipanggil oleh Pak Don. Aku lalu beranjak dari tempat duduk dan menghampiri beliau.
“Nirmala, kamu dipanggil kepala sekolah,” ujar Pak Don.
Perasaanku jadi sedikit tidak enak. Sepertinya aku tahu atas alasan apa kepala sekolah memanggilku. Entah wajahku tampilannya seperti apa, tapi saat itu aku merasa kusut. Kulangkahkan kakiku gontai keluar dari kelas. Segala tentang perdebatanku tadi dengan Ardian menguap begitu saja. Sekejap, aku tenggelam dalam bayanganku, sudah seberapa burukkah masalah ini.

-o0o-

“Sebentar lagi pembagian rapor semester lima, Nirmala. Dengan nilai mata pelajaran kimia yang seperti itu, saya sedikit tidak yakin kamu bisa lulus.”
Suara kepala sekolah masuk ke dalam telingaku dan menusuk fikiranku. Empat semester terakhir, nilai kimiaku lulus dengan berkali-kali tes ulang. Dan saat naik kelas, kepala sekolah telah memperingatkanku bahwa ujian nasional dan ujian sekolah tidak ada tes ulangnya. Jadi jika aku mau lulus, aku harus lebih giat belajar.
Aku merasa sudah giat. Nilai-nilaiku meningkat, meskipun tidak jauh dari nilai nilai tuntas minimum. Setidaknya, jika ujian akhir semesterku bisa mencapai 60, semester ini aku akan lulus. Tapi, kalau kepala sekolah sampai memanggilku, berarti...
“Sebenarnya nilai ulangan harian dan ujian tengah semestermu lumayan, Nirmala. Tapi, ujian akhir semester menjatuhkan semuanya. Sepertinya, semester ini kamu harus ujian ulang lagi.”
Aku terkesiap. Kalau kepala sekolah bilang aku harus ujian ulang, berarti nilaiku tidak mencapai 60. Tiba-tiba kepalaku sakit. Mungkin saat ini wajahku bukan lagi kusut, tapi benar-benar amburadul.
“Memangnya kamu tidak belajar, Nirmala?”
Aku menunduk dalam-dalam. Ingatanku kembali pada sehari sebelum ujian kimia. Itu adalah hari dimana Ardian melempariku dengan balon-balon air, dan karena itu catatan kimiaku basah dan tintanya luntur. Malamnya, aku hanya belajar dengan handout yang diberikan guru, sedangkan semua catatanku lenyap.
“Saya belajar, Bu. Hanya saja, mungkin memang kurang maksimal.” Hanya jawaban itulah yang kemudian kuberikan. Setengah mati kutahan amarah yang rasanya sudah siap meledak.
“Ya sudah. Sebaiknya kamu belajar lebih dan lebih giat lagi. Saya ingin melihat kamu wisuda, Nirmala,” ujar kepala sekolah  dengan senyuman memotivasi.
“Doakan saya, Bu,” sahutku lemas.
Kubalikkan tubuhku dan aku mulai berjalan. Entah kemana, namun kuharap aku tak bertemu dengan Ardian. Karena jika sampai aku melihatnya. Aku tidak tahu separah apa aku akan menyalahkannya atas ini semua.

-o0o-

Saat aku kembali ke kelas matematika, hanya tinggal barang-barangku yang masih berada disana. Teman-teman sekelasku sepertinya sudah pindah ke kelas berikutnya.
Saat tubuhku sepenuhnya berada di dalam kelas, aku baru menyadari bahwa ternyata aku tidak sendirian. Di pojok belakang kelas ada seseorang yang paling tidak ingin kutemui. Ardian.
“Kenapa lo dipanggil kepala sekolah? Kena kasus?” tanyanya seenaknya. Aku masih menahan amarah yang rasanya benar-benar ingin kuledakkan. Kubenahi barang-barangku secepat aku bisa.
“Makanya, Nirmala, belajar yang rajin, jangan nakal,” ujarnya menambahkan karena aku hanya diam dan menganggapnya tak ada disana.
Saat dia mengucapkan kalimat terakhir, tanganku yang menggenggam buku matematika bergetar. Aku tidak kuat lagi menahan marah yang luar biasa, jadi aku hanya terduduk di atas kursi sambil menunduk. Air mataku mengalir deras, bukan lagi menetes. Ardian yang melihat tubuhku bergetar dari belakang, menghampiriku lalu duduk di depanku. Aku masih terus menangis dan enggan melihatnya, karena semakin aku melihatnya akan lebih banyak air mata yang keluar.
“Siapa, Nirmala?” tanyanya perlahan. “Siapa yang membuat kamu nangis?”
Dengan segenap kekuatan untuk menahan diri yang masih kumiliki, kuangkat wajahku dan kutatap matanya lekat. “Gue salah apa sih sama lo, Di?”
Ardian mengerutkan kening, tampaknya tak bisa berkata-kata.
“Gue tau lo cerdas, tapi apa harus selalu mempermasalahkan setiap omongan gue? Gue tau lo suka baca, tapi apa harus merebut semua yang lagi gue baca? Gue tau lo jago kimia, tapi apa harus lo ngeledek gue sampe buku catetan kimia gue basah, gue nggak bisa belajar, dan sekarang gue terancam nggak lulus? Empat semester, Di, gue harus tes ulang kimia. Saat semester kelima gue bener-bener berjuang untuk dapet nilai lebih baik, keisengan lo menghancurkan semuanya. Mungkin bagi lo, itu ‘cuma’ kimia, tapi bagi gue, itu tiket kelulusan, Di.”
Aku mendengar Ardian menghela nafas. Tapi, dia masih diam tak berbicara sepatah katapun. Seakan masih memberikan waktu untukku memuntahkan segalanya.
“Apa lo punya penjelasan kenapa lo selalu ganggu gue? Apa lo punya alasan yang bisa gue terima?” tanyaku menuntut jawaban.
Ardian terdiam. Selama beberapa detik yang terjadi hanyalah keheningan. Keheningan yang terdengar, karena begitu terasa lambat. Sampai akhirnya, Ardian menggeleng dan hanya berucap, “gue minta maaf ya, Nirmala,” lalu pergi meninggalkanku sendirian, tanpa aku tahu butuh waktu lama untukku kembali menemuinya setelah itu.

-o0o-

Esoknya, Ardian tidak ada di kelas. Aku tidak tahu kemana dia, tapi aku juga tidak mau bertanya. Aku masih merasa sangat marah padanya atas banyak hal. Terutama masalah nilai kimiaku.
Seharian ini di waktu luang, aku hanya menghabiskan waktuku di perpustakaan sendirian. Sesaat, aku merasa sepi juga tidak diganggu oleh Ardian hampir seharian ini. Namun kuyakinkan diriku untuk menikmatinya, karena tak selamanya aku bisa seperti ini.
Seminggu berlalu, dan aku masih tidak bertanya-tanya tentangnya. Tiga hari lagi pembagian rapor semester. Aku mulai membolak-balik buku kimia dan menyerap berbagai hal dari sana. Minggu pertama semester depan adalah hari ujian ulangku. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik.
Hari pembagian rapor tiba. Seperti yang biasa kulakukan saat bagi rapor, aku menjaga meja registrasi wali murid yang akan mengambil rapor. Pagi itu, aku sudah duduk disana sejak pukul tujuh pagi. Walaupun biasanya wali murid baru akan datang pukul delapan, kurasa tidak ada salahnya datang lebih awal.
Diluar dugaan, sudah ada seorang wali murid yang menunggu di depan meja debelum aku dan bahkan wali kelasku datang. Kuhampiri beliau, lalu kusalami.
“Pagi, Tante!” sapaku ramah.
“Pagi! Pembagian rapor dimulai jam berapa ya kira-kira?” tanya beliau.
“Biasanya jam delapan tante, tertulis di jadwal juga jam segitu,” jawabku.
“Haduh, bagaimana ya? Tante mengejar jadwal pesawat. Di tiketnya tertulis jam sembilan,” sahutnya lagi.
Aku lalu mengernyitkan kening mencoba mencari jalan keluar. Kuraih telepon genggamku dan ku telepon wali kelasku untuk memberitahukan masalahnya. Ternyata wali kelasku bersedia untuk datang lebih awal.
Sambil menunggu, aku banyak mengobrol dengan beliau. Setelah panjang lebar, aku baru sadar kalau aku belum bertanya beliau wali murid siapa.
“Maaf, Tante, kalau boleh tanya, Tante wali murid dari siapa?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.
“Kamu bisa panggil Tante Rina, Tante Ibunya Satria Ardian Mahdi, namamu siapa?”
Aku terkesiap mendengar nama Ardian. Sudah lebih dari seminggu dia tidak masuk sekolah. Awalnya memang aku senang karena tak ada yang menggangguku, tapi lama-kelamaan aku jadi merasa kehilangan. Dan sekarang, ibunya tepat berada di depanku.
“Dik, namamu siapa?” Tante Rina mengulangi pertanyaannya.
“Nama saya Nirmala Diana Sakura, Tante,” jawabku akhirnya setelah susah payah mengumpulkan suara.
“Oh, jadi kamu yang namanya Nirmala?” tanya Tante Rina lagi.
Aku bertanya-tanya apa maksudnya, sampai Tante Rina menyodorkan sebuah kotak terbungkus kertas kado rapi. Kuambil kotak itu. Kotak yang tak pernah kukira akan kudapatkan.

-o0o-

Belum sampai setengah tahun yang lalu aku mengenalmu, dan aku langsung tertarik. Begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Bagiku kau adalah gadis empat musim. Kenapa? Karena emosimu selalu tampak meski tak pernah kau ledakkan. Kadang kau tersenyum membawa aura musim semi, kadang kau marah membawa tegangnya musim panas, kadang kau hanya diam membawa sunyinya musim dingin, dan kadang kau terlihat begitu rapuh membawa keringnya musim gugur.
Aku selalu ingin berada di dekatmu, dan mengamati saat musim itu berganti. Hanya saja, mungkin aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku sungguh-sungguh minta maaf, aku memang salah. Jadi, meskipun kau tak bisa memaafkanku, izinkan aku memperbaiki banyak hal dengan kotak ini.
Nirmala Diana Sakura, di negeri dua musim ini aku tak bisa menemukan empat musim lain, maka saat kamu membuka kotak ini, aku telah berada di tempat dimana seharusnya aku berada. Negeri empat musim. Mengejar mimpiku, melepaskan apa yang seharusnya tak pernah ada. Karena bagaimanapun, empat musim di negeri dua musim tak semestinya kumiliki.

Air mataku menetes lagi. Walau entah telah berapa juta kali aku membaca ulang surat itu. Surat itu kuterima tujuh tahun yang lalu, di dalam sebuah kotak berisi dua buah buku, dan satu buah sketch book. Buku pertama berisi ringkasan kimia SMA lengkap, yang sepertinya adalah tulisan tangan Ardian, buku kedua berisi kliping artikel-artikel yang pernah kuperdebatkan dengan Ardian, termasuk artikel yang dulu pernah kami perebutkan di perpustakaan, dan sketch book-nya berisi lukisan wajahku dengan berbagai emosi. Ada wajahku yang sedang tersenyum dan bertuliskan ‘musim semi’, wajahku sedang diam tanpa ekspresi bertuliskan ‘musim dingin’, wajahku sedih dan menangis bertuliskan ‘musim gugur’, dan wajah marahku bertuliskan ‘musim panas’.
Dengan buku ringkasan itu, aku akhirnya bisa lulus sekolah dengan nilai diatas rata-rata, dan bahkan aku bisa mendaftar ke salah satu perguruan tinggi di Jepang.
Maka saat ini disinilah aku, terduduk di bangku taman menikmati angin musim gugur sambil mengenang kembali tentang masa lalu yang tak pernah bisa kuulangi.
Aku tak tahu dimana Ardian sekarang. Bahkan sejak awal aku tidak tahu ke negeri mana dia pergi. Seandainya ini hanya sebuah cerita, maka tentulah aku akan berharap tiba-tiba dia muncul disampingku agar aku bisa mengatakan semuanya. Tapi, sepertinya, bahkan jikapun ini hanya sebuah cerita, cerita ini takkan mudah untuk kami yang kini hanya seserpih memori.

-o0o-


Sebuah cerita akan berakhir di titik dimana dia dimulai. Maka, setelah delapan tahun berlalu sejak kejadian di kelas matematika, kami kembali dipertemukan disana dalam keadaan yang berbeda. Yang kuingat adalah kami saling berbalas senyum dan memandang penuh arti. Tidak ada kata-kata kerinduan, hanya tatapan namun rasanya sudah cukup untuk kami saling mengerti. Bahwa suatu hari, kami akan mengenang hari ini sebagai hari dimana kami kembali, memenuhi takdir yang seharusnya. Bahwa empat musim yang kumiliki, memang hanya untuknya.

Serpong
3 Oktober 2013

0 comments:

Posting Komentar