Catatan Berdarah
16.22.00
Laras benci ibunya. Ya, sangat benci. Tak ada makhluk yang
lebih ia benci di dunia ini selain ibu yang membuangnya di tempat sampah dekat
panti asuhan 14 tahun yang lalu. Selain itu, bahkan ibunya-pun tak pernah
mencarinya lagi.
Kebencian yang amat mendalam itu membuat Laras tumbuh
menjadi anak yang tak terkontrol. Selalu mencaci orang yang ia benci, tak
pernah menurut kata ibu panti, dikeluarkan dari sekolah karena bertengkar
dengan temannya dan membuat temannya itu cacat seumur hidup, dan kenakalan lain
yang sungguh tak pantas dilakukan oleh seorang perempuan seusianya.
Laras adalah anak yang paling ditakuti di panti. Makanya, ia
tak punya teman, dan tak ingin punya teman. Jika remaja normal seusianya sedang
sangat suka bersosialisasi, maka ia layak disebut tidak normal. Hanya satu
orang di panti asuhan yang masih mau berteman dengannya. Lia. Anak yang pemalu
dan tak mudah bergaul. Sebenarnya, tidak bisa juga disebut berteman, lebih
tepatnya Lia dimanfaatkan oleh Laras untuk melakukan apa yang ia perintahkan.
Dari mengerjakan tugas sekitar panti, sampai mengerjakan PR sekolah saat Laras
masih sekolah dulu.
Laras adalah anak yang tak mudah dikendalikan sampai
seseorang datang dan mengalahkannya…
Pagi itu, Panti Asuhan Cahaya Insan kedatangan seorang
penghuni baru. Adit namanya, usianya 15 tahun. Menurut kabar yang Laras dan
anak-anak panti dengar, orangtua Adit mengalami kecelakaan pesawat, dan ia tak
memiliki keluarga lain. Jadilah, ia dititipkan di panti asuhan sampai berusia
18 tahun. Adit dititipkan agar ada yang mengontrol perkembangannya. Karena
biasanya, remaja sangat rentan pada hal-hal yang negatif.
Saat waktu makan siang, seperti biasanya Laras duduk
sendirian, karena Lia yang biasanya (terpaksa) menemaninya sedang sakit demam
dan berada di kamarnya. Tiba-tiba, Adit menghampiri meja tempat Laras duduk. “Ngapain
kamu disini?” tanya Laras dengan nada membentak.
“Duduk.” jawab Adit singkat namun dingin menusuk.
“Nggak bisa ya duduk di meja lain?” tanya Laras sinis.
“Nggak. Udah penuh.” jawab Adit lagi dengan nada yang masih
beku. Ini adalah kali pertama Adit membuka suaranya sejak ia datang ke panti
kemarin sore.
Laras tak menanggapi lagi. Ia hanya diam dan melanjutkan
makan.
Sejak hari itu, setiap hari Adit duduk bersama Laras ketika
makan. Dan setelah Lia sembuh, bertiga bersama Lia. Jujur, Lia merasa sangat
tidak nyaman berada bersama Adit dan Laras, dua orang yang paling dijauhi oleh
anak-anak panti. Tapi, toh mau diapakan lagi, tak ada anak panti selain mereka
berdua yang mau berteman dengannya.
Seiring berjalannya waktu, Adit dan Laras mulai akrab.
Mungkin karena kesamaan sikap mereka yang dingin. Perlahan, Laras mulai
tertarik pada Adit. Layaknya ketertarikan remaja lain pada lawan jenisnya. Dan,
entah sejak kapan, Adit mulai cukup berpengaruh dalam hidupnya.
“Kenapa kamu benci pada ibumu?” tanya Adit pada Laras ketika
mereka berbincang.
“Karena dia membuang gue di tempat sampah, dan nggak pernah
berpikiran untuk nyari gue lagi.” jawab Laras singkat.
“Tapi, kalau nantinya ibumu datang mencarimu, kamu
bagaimana?” tanya Adit lagi.
“Apanya yang bagaimana?” Laras balik bertanya dan
mengerutkan kening tanda tak mengerti.
“Kalau ibumu mencarimu kesini, dan memintamu untuk ikut
bersamanya, apa yang akan kau jawab?” Adit memperjelas pertanyaannya.
Laras diam dan tak mampu menjawab. “Tergantung. Seberapa
tulus ibu mencariku.” jawaban itulah yang Laras pilih.
-o0o-
Pagi itu, adalah pagi yang normal untuk seluruh anak Panti
Asuhan Cahaya Insan. Setidaknya, sebelum mereka kedatangan tamu yang sangat
mengejutkan.
Seorang wanita paruh baya datang berjalan kaki menuju panti
asuhan itu. Dia berpapasan dengan Lia. “Maaf, Dik, ibu pantinya ada?” tanya
wanita itu.
Lia melihat wajah wanita itu sangat pucat. Suaranya
bergetar. Apakah maksud kedatangannya adalah untuk mengadopsi anak, atau untuk
menitipkan? Lia tak tahu. Namun, ia menjawab, “ ada, Bu. Mari saya antar ke
ruangannya.”
Wanita itu masuk ke dalam ruangan pengurus dan bertemu ibu
panti. Ibu panti mempersilahkannya untuk duduk dan bertanya apa keperluannya.
“Saya mau bertemu dan mengambil anak saya, bu.” jawab wanita itu.
Ibu panti mengangguk paham. “yang mana anaknya, bu?” tanya
ibu panti.
“Empat belas tahun yang lalu, saya meninggalkannya di tempat
sampah dekat panti ini.” jawab wanita itu dan ia meneteskan airmata. Ibu panti
mengangguk paham. Jadi, wanita ini ibunya Laras.
Setelah menceramahi habis-habisan wanita di depannya, Ibu
panti menyuruh rekannya memanggil Laras.
Laras yang dipanggil datang ke ruang pengurus bersama Adit
yang ia minta menemaninya. Adit mengikuti Laras menuju ruang pengurus. Disana,
mereka melihat seorang wanita paruh baya yang berwajah pucat dan pipi basah
karena airmata. Laras mengacuhkan wanita itu dan menghadap ibu panti. “Ada apa, Bu?” tanyanya
dengan nada datar.
“Ini ibumu, Laras.” Ibu panti berkata langsung sambil
menunjuk wanita di hadapannya. Laras menatap wanita itu. Mata mereka saling
bertemu. Yang mereka lakukan hanya saling terdiam dan saling tatap. Hingga Ibu
panti memecah kesunyian. “Dia ingin mengajakmu pulang bersamanya.”
Sontak Laras berkata, “tidak! Aku tak mau bersama orang yang
telah membuangku.” dan berlari meninggalkan ruang pengurus.
Adit berniat mengejar Laras, ketika wanita yang dikenalnya
sebagai Ibu Laras menarik tangannya dan berkata, “kurasa kau bisa membanutuku
menyampaikan pesan-pesanku padanya, Nak.” Adit hendak menolak. Namun, nuraninya
tak tega berlaku kasar pada seorang wanita. Pada seorang ibu. Seburuk-buruknya,
wanita itu masih tetap mencari anaknya, ‘kan .
Ia lalu mengangguk.
-o0o-
Malam itu, Adit merasa pikiran Laras sudah cukup jernih
untuk mendengar pesan yang harus ia sampaikan. Memendam semua ini sendirian dan
membiarkannya menanggung beban seberat ini rasanya tak cukup baik. Lagipula,
ini menyangkut durhaka-tidaknya seorang anak. Dan harus disampaikan sebelum
besok.
Jadi, Adit memutuskan menarik Laras sesudah makan malam
tanpa memberitahukan kemana mereka akan pergi. Adit pamit kepada Ibu panti
secara berbisik. Dan, Ibu panti mengizinkannya.
“Kita mau kemana, Dit?” tanya Laras ketika mereka berada
dalam angkutan umum menuju ke suatu tempat. Adit tak menjawab.
Mereka turun di depan sebuah rumah sakit yang tak diketahui
namanya oleh Laras. Mereka masuk dan melihat meja resepsionis, mencari sebuah
nama. Laras memandang Adit dengan tatapan bingung. Bahkan ketika Adit
menariknya menuju sebuah ruangan, ia hanya menurut. Nuraninya merasa tak ada
yang salah dengan ini. Dan ini adalah hal yang paling benar.
Barulah ketika mereka hendak memasuki sebuah ruangan, Laras
menarik tangannya dari genggaman Adit. “Kita mau apa sih sebenarnya?” tanyanya.
Adit menarik nafas dan menjawab dengan nada dingin. “Jika
seorang wanita besok akan dioperasi, kemungkinan 60% gagal, kau belum bertemu
dengannya selama empat belas tahun, kemarin kau memakinya, dan orang itu adalah
ibumu, pantaskah kau hanya bersantai di rumah?”
Laras terdiam. Mencerna setiap kata-kata yang dilontarkan
Adit. Jadi, ibunya akan operasi? “Operasi apa?” tanyanya. “Pencangkokan hati.”
jawab Adit.
Tanpa sadar, airmata Laras menetes, menyadari bahwa kemungkinan
besar ia akan kehilangan ibu yang selalu dibencinya untuk selamanya. Ia lalu
menyeruak masuk ke kamar rawat di depannya. Memeluk ibunya dengan terisak.
Wanita itu sadar dan membuka mata perlahan. “Laras…” ucap wanita itu lirih.
“Aku disini, Bu. Aku disini. Ibu harus kuat. Aku janji akan
pulang bersama ibu kalau ibu kuat.” ujar Laras. Namun, ibunya menjawab, “maaf,
Laras. Waktu ibu telah habis. Maafkan ibu ya!”
Laras terus menangis. Ibu Laras lalu menoleh ke Adit. “Nak
Adit!” panggilnya “terima kasih karena telah menyampaikan pesan ibu. Jaga Laras
ya!” pinta Ibu Laras.
Tanpa sadar, Adit juga meneteskan airmata dan menggenggam
tangan wanita itu, lalu berkata “selalu, tanpa diminta, Bu.”
Ibu Laras menarik nafas lega. Ia lalu menarik nafas panjang
dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya. Layar di sebelah tempat tidur
menampilkan garis lurus. “IBUUU!!!” teriak Laras. Adit memanggil dokter dan
berusaha menenangkan Laras di luar ruangan. Hingga dokter keluar dari ruangan
dan berkata “maaf, kami sudah berusaha.”
Tangis pecah malam itu. Laras memeluk Adit dan menangis
dalam pelukannya. Adit-pun menangis.
Tak lama kemudian, datanglah seorang laki-laki yang
kira-kira lebih tua sedikit dari Ibu Laras. Laki-laki itu menghampiri Laras dan
bertanya, “anda siapa? Apa yang terjadi dengan istri saya?” tanya laki-laki
itu.
Laras melepaskan pelukannya dari Adit “saya anaknya.”
jawabnya dengan berani. Laki-laki itu tiba-tiba memeluk Laras dan berkata
lirih, “anakku, Elisa…” Laras mengerutkan kening, namun sedetik kemudian
mengerti. Elisa adalah nama kecilnya.
-o0o-
Laras telah mendengar semuanya dari ayahnya. Tentang
tantenya (adik ibunya) yang membuangnya karena iri terhadap ibunya. Dan
tantenya-pun memanipulasi bahwa ia telah meninggal. Sampai, tantenya yang
akhirnya mengaku karena kasihan melihat ibunya yang kemungkinan besar tak akan
lama bertahan hidup.
Laras membenci tantenya. Namun, buat apa? Laras tahu
kebencian hanya akan membawa petaka. Untung saja Adit menyadarkannya. Kalau
tidak, ia takkan bisa bertemu ibunya lagi selamanya. Hanya karena mementingkan
ego dan kebencian.
Pagi ini, Ibu Laras akan dimakamkan. Seluruh anak panti dan
ibu panti hadir dalam pemakaman itu. Tak lupa seluruh keluarganya, bahkan
tantenya.
Laras terus menggandeng tangan Adit. Satu-satunya hal yang
masih menahannya untuk meraung dan berteriak adalah genggaman tangan Adit yang
penuh pengertian. Genggam tangan seorang sahabat.
Setelah pemakaman, Ayah menghampiri Laras dan anak-anak
panti. Ia berkata pada ibu panti bahwa ia akan mengajak Laras tinggal
dirumahnya. Namun, Laras menolak, “Ayah, aku mendapatkan hal yang tidak orang
lain dapatkan disini. Mungkin dengan disini aku akan lebih baik.”
“Bagaimana kalau teman Ayah ingin mengadopsi Adit, Elisa?”
goda Ayahnya.
“Kalau itu, lain ceritanya. Dan, Ayah, maukah kau
memanggilku Laras. Kurasa aku lebih nyaman.” ujar Laras sambil tersenyum. Tante
Rosi menghampiri Laras. Laras menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menerjang
dan memaki orang yang telah menghancurkan sebagian hidupnya itu. Tante Rosi
menyerahkan sebuah buku pada Laras. “Ini catatan Ibumu. Untukmu, Elis … maksudku Laras.”
Laras mengambil buku itu dan menggenggamnya dan tersenyum.
“Terima kasih, Tante.” ujarnya. Ia lalu memeluk Tantenya sambil tersenyum.
“Jadi bagaimana, Laras?” tanya Ayahnya.
“Tanya Adit dulu Ayah.” pinta Laras.
“Bagaimana, Nak Adit?”
“Saya tak keberatan, Oom.” jawab Adit sopan.
“Kalau begitu, apa yang membuatku keberatan?” Laras
menegaskan sambil tersenyum.
-o0o-
Sepuluh tahun kemudian…
Laras menatap makam ibunya dengan jas putih yang masih
tersampir di bahunya. Meletakkan bunga Lili kegemaran ibunya, dan menangis,
menumpahkan semua kerinduannya.
Laras memutuskan untuk sekolah lagi. Ada satu hal yang mendorong Laras untuk
melanjutkan sekolah. Catatan ibunya yang menyerupai diary. Melukiskan
perasaannya sejak tahu anaknya masih hidup, dan yang paling membuat Laras miris
adalah bercak darah cukup banyak pada halaman terakhir yang ditulis dalam
catatan itu. Ia tahu itu adalah darah ibunya, karena dari yang ia pelajari, seseorang
yang menderita penyakit hati akan batuk berdarah. Di halaman berdarah itu
tertulis ‘Meski Ibu telah pergi, wujudkanlah harapan Ibu. Jangan biarkan orang
lain kehilangan ibunya karena penyakit yang ibu derita. Dan, jangan biarkan
orang lain menderita seperti Ibu. Cegahlah sebisamu, Elisa anakku.’ Jadi, Laras
memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan menjadi dokter.
Sekarang, ia telah menjadi seorang dokter yang sukses. Dan,
bulan depan ia akan menikah dengan seorang dokter lulusan Australia .
“Ayo, Ras.” ajak sosok disampingnya yang mengenakan jas
putih. Laras bangkit dan mengangguk. “Ayo, Dit.” lalu ia menatap sosok yang
bulan depan akan bersanding dengannya di pelaminan dengan tatapan penuh
perhatian. Adit menatapnya balik dan tersenyum.
Laras tak pernah menyangka, ia yang dulunya dikeluarkan dari
sekolah, saat ini menjadi seorang dokter, dan bersanding dengan dokter terhebat
dalam hatinya. Semua karena catatan berdarah yang menggugah hatinya.
Jakarta
6 Oktober 2011
0 Comments