Selasa, 14 Juni 2016

Catatan Berdarah

Laras benci ibunya. Ya, sangat benci. Tak ada makhluk yang lebih ia benci di dunia ini selain ibu yang membuangnya di tempat sampah dekat panti asuhan 14 tahun yang lalu. Selain itu, bahkan ibunya-pun tak pernah mencarinya lagi.
Kebencian yang amat mendalam itu membuat Laras tumbuh menjadi anak yang tak terkontrol. Selalu mencaci orang yang ia benci, tak pernah menurut kata ibu panti, dikeluarkan dari sekolah karena bertengkar dengan temannya dan membuat temannya itu cacat seumur hidup, dan kenakalan lain yang sungguh tak pantas dilakukan oleh seorang perempuan seusianya.
Laras adalah anak yang paling ditakuti di panti. Makanya, ia tak punya teman, dan tak ingin punya teman. Jika remaja normal seusianya sedang sangat suka bersosialisasi, maka ia layak disebut tidak normal. Hanya satu orang di panti asuhan yang masih mau berteman dengannya. Lia. Anak yang pemalu dan tak mudah bergaul. Sebenarnya, tidak bisa juga disebut berteman, lebih tepatnya Lia dimanfaatkan oleh Laras untuk melakukan apa yang ia perintahkan. Dari mengerjakan tugas sekitar panti, sampai mengerjakan PR sekolah saat Laras masih sekolah dulu.
Laras adalah anak yang tak mudah dikendalikan sampai seseorang datang dan mengalahkannya…
Pagi itu, Panti Asuhan Cahaya Insan kedatangan seorang penghuni baru. Adit namanya, usianya 15 tahun. Menurut kabar yang Laras dan anak-anak panti dengar, orangtua Adit mengalami kecelakaan pesawat, dan ia tak memiliki keluarga lain. Jadilah, ia dititipkan di panti asuhan sampai berusia 18 tahun. Adit dititipkan agar ada yang mengontrol perkembangannya. Karena biasanya, remaja sangat rentan pada hal-hal yang negatif.
Saat waktu makan siang, seperti biasanya Laras duduk sendirian, karena Lia yang biasanya (terpaksa) menemaninya sedang sakit demam dan berada di kamarnya. Tiba-tiba, Adit menghampiri meja tempat Laras duduk. “Ngapain kamu disini?” tanya Laras dengan nada membentak.
“Duduk.” jawab Adit singkat namun dingin menusuk.
“Nggak bisa ya duduk di meja lain?” tanya Laras sinis.
“Nggak. Udah penuh.” jawab Adit lagi dengan nada yang masih beku. Ini adalah kali pertama Adit membuka suaranya sejak ia datang ke panti kemarin sore.
Laras tak menanggapi lagi. Ia hanya diam dan melanjutkan makan.
Sejak hari itu, setiap hari Adit duduk bersama Laras ketika makan. Dan setelah Lia sembuh, bertiga bersama Lia. Jujur, Lia merasa sangat tidak nyaman berada bersama Adit dan Laras, dua orang yang paling dijauhi oleh anak-anak panti. Tapi, toh mau diapakan lagi, tak ada anak panti selain mereka berdua yang mau berteman dengannya.
Seiring berjalannya waktu, Adit dan Laras mulai akrab. Mungkin karena kesamaan sikap mereka yang dingin. Perlahan, Laras mulai tertarik pada Adit. Layaknya ketertarikan remaja lain pada lawan jenisnya. Dan, entah sejak kapan, Adit mulai cukup berpengaruh dalam hidupnya.
“Kenapa kamu benci pada ibumu?” tanya Adit pada Laras ketika mereka berbincang.
“Karena dia membuang gue di tempat sampah, dan nggak pernah berpikiran untuk nyari gue lagi.” jawab Laras singkat.
“Tapi, kalau nantinya ibumu datang mencarimu, kamu bagaimana?” tanya Adit lagi.
“Apanya yang bagaimana?” Laras balik bertanya dan mengerutkan kening tanda tak mengerti.
“Kalau ibumu mencarimu kesini, dan memintamu untuk ikut bersamanya, apa yang akan kau jawab?” Adit memperjelas pertanyaannya.
Laras diam dan tak mampu menjawab. “Tergantung. Seberapa tulus ibu mencariku.” jawaban itulah yang Laras pilih.
-o0o-
Pagi itu, adalah pagi yang normal untuk seluruh anak Panti Asuhan Cahaya Insan. Setidaknya, sebelum mereka kedatangan tamu yang sangat mengejutkan.
Seorang wanita paruh baya datang berjalan kaki menuju panti asuhan itu. Dia berpapasan dengan Lia. “Maaf, Dik, ibu pantinya ada?” tanya wanita itu.
Lia melihat wajah wanita itu sangat pucat. Suaranya bergetar. Apakah maksud kedatangannya adalah untuk mengadopsi anak, atau untuk menitipkan? Lia tak tahu. Namun, ia menjawab, “ ada, Bu. Mari saya antar ke ruangannya.”
Wanita itu masuk ke dalam ruangan pengurus dan bertemu ibu panti. Ibu panti mempersilahkannya untuk duduk dan bertanya apa keperluannya. “Saya mau bertemu dan mengambil anak saya, bu.” jawab wanita itu.
Ibu panti mengangguk paham. “yang mana anaknya, bu?” tanya ibu panti.
“Empat belas tahun yang lalu, saya meninggalkannya di tempat sampah dekat panti ini.” jawab wanita itu dan ia meneteskan airmata. Ibu panti mengangguk paham. Jadi, wanita ini ibunya Laras.
Setelah menceramahi habis-habisan wanita di depannya, Ibu panti menyuruh rekannya memanggil Laras.
Laras yang dipanggil datang ke ruang pengurus bersama Adit yang ia minta menemaninya. Adit mengikuti Laras menuju ruang pengurus. Disana, mereka melihat seorang wanita paruh baya yang berwajah pucat dan pipi basah karena airmata. Laras mengacuhkan wanita itu dan menghadap ibu panti. “Ada apa, Bu?” tanyanya dengan nada datar.
“Ini ibumu, Laras.” Ibu panti berkata langsung sambil menunjuk wanita di hadapannya. Laras menatap wanita itu. Mata mereka saling bertemu. Yang mereka lakukan hanya saling terdiam dan saling tatap. Hingga Ibu panti memecah kesunyian. “Dia ingin mengajakmu pulang bersamanya.”
Sontak Laras berkata, “tidak! Aku tak mau bersama orang yang telah membuangku.” dan berlari meninggalkan ruang pengurus.
Adit berniat mengejar Laras, ketika wanita yang dikenalnya sebagai Ibu Laras menarik tangannya dan berkata, “kurasa kau bisa membanutuku menyampaikan pesan-pesanku padanya, Nak.” Adit hendak menolak. Namun, nuraninya tak tega berlaku kasar pada seorang wanita. Pada seorang ibu. Seburuk-buruknya, wanita itu masih tetap mencari anaknya, ‘kan. Ia lalu mengangguk.
-o0o-
Malam itu, Adit merasa pikiran Laras sudah cukup jernih untuk mendengar pesan yang harus ia sampaikan. Memendam semua ini sendirian dan membiarkannya menanggung beban seberat ini rasanya tak cukup baik. Lagipula, ini menyangkut durhaka-tidaknya seorang anak. Dan harus disampaikan sebelum besok.
Jadi, Adit memutuskan menarik Laras sesudah makan malam tanpa memberitahukan kemana mereka akan pergi. Adit pamit kepada Ibu panti secara berbisik. Dan, Ibu panti mengizinkannya.
“Kita mau kemana, Dit?” tanya Laras ketika mereka berada dalam angkutan umum menuju ke suatu tempat. Adit tak menjawab.
Mereka turun di depan sebuah rumah sakit yang tak diketahui namanya oleh Laras. Mereka masuk dan melihat meja resepsionis, mencari sebuah nama. Laras memandang Adit dengan tatapan bingung. Bahkan ketika Adit menariknya menuju sebuah ruangan, ia hanya menurut. Nuraninya merasa tak ada yang salah dengan ini. Dan ini adalah hal yang paling benar.
Barulah ketika mereka hendak memasuki sebuah ruangan, Laras menarik tangannya dari genggaman Adit. “Kita mau apa sih sebenarnya?” tanyanya.
Adit menarik nafas dan menjawab dengan nada dingin. “Jika seorang wanita besok akan dioperasi, kemungkinan 60% gagal, kau belum bertemu dengannya selama empat belas tahun, kemarin kau memakinya, dan orang itu adalah ibumu, pantaskah kau hanya bersantai di rumah?”
Laras terdiam. Mencerna setiap kata-kata yang dilontarkan Adit. Jadi, ibunya akan operasi? “Operasi apa?” tanyanya. “Pencangkokan hati.” jawab Adit.
Tanpa sadar, airmata Laras menetes, menyadari bahwa kemungkinan besar ia akan kehilangan ibu yang selalu dibencinya untuk selamanya. Ia lalu menyeruak masuk ke kamar rawat di depannya. Memeluk ibunya dengan terisak. Wanita itu sadar dan membuka mata perlahan. “Laras…” ucap wanita itu lirih.
“Aku disini, Bu. Aku disini. Ibu harus kuat. Aku janji akan pulang bersama ibu kalau ibu kuat.” ujar Laras. Namun, ibunya menjawab, “maaf, Laras. Waktu ibu telah habis. Maafkan ibu ya!”
Laras terus menangis. Ibu Laras lalu menoleh ke Adit. “Nak Adit!” panggilnya “terima kasih karena telah menyampaikan pesan ibu. Jaga Laras ya!” pinta Ibu Laras.
Tanpa sadar, Adit juga meneteskan airmata dan menggenggam tangan wanita itu, lalu berkata “selalu, tanpa diminta, Bu.”
Ibu Laras menarik nafas lega. Ia lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya. Layar di sebelah tempat tidur menampilkan garis lurus. “IBUUU!!!” teriak Laras. Adit memanggil dokter dan berusaha menenangkan Laras di luar ruangan. Hingga dokter keluar dari ruangan dan berkata “maaf, kami sudah berusaha.”
Tangis pecah malam itu. Laras memeluk Adit dan menangis dalam pelukannya. Adit-pun menangis.
Tak lama kemudian, datanglah seorang laki-laki yang kira-kira lebih tua sedikit dari Ibu Laras. Laki-laki itu menghampiri Laras dan bertanya, “anda siapa? Apa yang terjadi dengan istri saya?” tanya laki-laki itu.
Laras melepaskan pelukannya dari Adit “saya anaknya.” jawabnya dengan berani. Laki-laki itu tiba-tiba memeluk Laras dan berkata lirih, “anakku, Elisa…” Laras mengerutkan kening, namun sedetik kemudian mengerti. Elisa adalah nama kecilnya.
-o0o-
Laras telah mendengar semuanya dari ayahnya. Tentang tantenya (adik ibunya) yang membuangnya karena iri terhadap ibunya. Dan tantenya-pun memanipulasi bahwa ia telah meninggal. Sampai, tantenya yang akhirnya mengaku karena kasihan melihat ibunya yang kemungkinan besar tak akan lama bertahan hidup.
Laras membenci tantenya. Namun, buat apa? Laras tahu kebencian hanya akan membawa petaka. Untung saja Adit menyadarkannya. Kalau tidak, ia takkan bisa bertemu ibunya lagi selamanya. Hanya karena mementingkan ego dan kebencian.
Pagi ini, Ibu Laras akan dimakamkan. Seluruh anak panti dan ibu panti hadir dalam pemakaman itu. Tak lupa seluruh keluarganya, bahkan tantenya.
Laras terus menggandeng tangan Adit. Satu-satunya hal yang masih menahannya untuk meraung dan berteriak adalah genggaman tangan Adit yang penuh pengertian. Genggam tangan seorang sahabat.
Setelah pemakaman, Ayah menghampiri Laras dan anak-anak panti. Ia berkata pada ibu panti bahwa ia akan mengajak Laras tinggal dirumahnya. Namun, Laras menolak, “Ayah, aku mendapatkan hal yang tidak orang lain dapatkan disini. Mungkin dengan disini aku akan lebih baik.”
“Bagaimana kalau teman Ayah ingin mengadopsi Adit, Elisa?” goda Ayahnya.
“Kalau itu, lain ceritanya. Dan, Ayah, maukah kau memanggilku Laras. Kurasa aku lebih nyaman.” ujar Laras sambil tersenyum. Tante Rosi menghampiri Laras. Laras menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menerjang dan memaki orang yang telah menghancurkan sebagian hidupnya itu. Tante Rosi menyerahkan sebuah buku pada Laras. “Ini catatan Ibumu. Untukmu, Elis… maksudku Laras.”
Laras mengambil buku itu dan menggenggamnya dan tersenyum. “Terima kasih, Tante.” ujarnya. Ia lalu memeluk Tantenya sambil tersenyum.
“Jadi bagaimana, Laras?” tanya Ayahnya.
“Tanya Adit dulu Ayah.” pinta Laras.
“Bagaimana, Nak Adit?”
“Saya tak keberatan, Oom.” jawab Adit sopan.
“Kalau begitu, apa yang membuatku keberatan?” Laras menegaskan sambil tersenyum.
-o0o-
Sepuluh tahun kemudian…
Laras menatap makam ibunya dengan jas putih yang masih tersampir di bahunya. Meletakkan bunga Lili kegemaran ibunya, dan menangis, menumpahkan semua kerinduannya.
Laras memutuskan untuk sekolah lagi. Ada satu hal yang mendorong Laras untuk melanjutkan sekolah. Catatan ibunya yang menyerupai diary. Melukiskan perasaannya sejak tahu anaknya masih hidup, dan yang paling membuat Laras miris adalah bercak darah cukup banyak pada halaman terakhir yang ditulis dalam catatan itu. Ia tahu itu adalah darah ibunya, karena dari yang ia pelajari, seseorang yang menderita penyakit hati akan batuk berdarah. Di halaman berdarah itu tertulis ‘Meski Ibu telah pergi, wujudkanlah harapan Ibu. Jangan biarkan orang lain kehilangan ibunya karena penyakit yang ibu derita. Dan, jangan biarkan orang lain menderita seperti Ibu. Cegahlah sebisamu, Elisa anakku.’ Jadi, Laras memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan menjadi dokter.
Sekarang, ia telah menjadi seorang dokter yang sukses. Dan, bulan depan ia akan menikah dengan seorang dokter lulusan Australia.
“Ayo, Ras.” ajak sosok disampingnya yang mengenakan jas putih. Laras bangkit dan mengangguk. “Ayo, Dit.” lalu ia menatap sosok yang bulan depan akan bersanding dengannya di pelaminan dengan tatapan penuh perhatian. Adit menatapnya balik dan tersenyum.

Laras tak pernah menyangka, ia yang dulunya dikeluarkan dari sekolah, saat ini menjadi seorang dokter, dan bersanding dengan dokter terhebat dalam hatinya. Semua karena catatan berdarah yang menggugah hatinya.

Jakarta
6 Oktober 2011

0 comments:

Posting Komentar