Unrequited Love

16.28.00

Ketika langit terbelah
Keegoisan bagai tercurah
Tiada lagi asa tertutup kerah
Dan tak pernah ada cinta berbuah

Andai tawa tertutup air mata
Wajah murung tampak biasa
Tertutup cadar nista kelana
Mata nanar hanyalah rupa

Aku tersentak bagai tak berkawan
Hanya karena cinta tak bertuan
Ketika cahaya tertutup awan
Hatiku rasa tertutup keriasauan

Jika saja mentari mampu kugapai
Kan kutukar sejuta cita dengan lunglai
Dan fikiran seakan terbengkalai
Hanya karenamu yang selalu jadikanku lalai

Neira menatap ulang tulisannya dalam secarik kertas. Kertas itu sekarang tak tampak lagi seperti kertas. Karena selain basah dengan air mata, kertas itu memang hanya kertas bekas coretan matematika. Untungnya kelas sedang kosong, jadi tak ada yang tahu ia menangis. Sejenak tatapan Neira kosong. Dia mencoba merenungi kembali apa yang terjadi tadi pagi. Ketika Rama menghampirinya dan memperkenalkan Fia sebagai pacar barunya.
Oke. Tak harus diulang-ulang lagi, Neira sudah cukup sadar kalau dia adalah sahabat Rama. Sejak dulu hingga sekarang. Bahkan, mereka telah berjanji untuk selalu bersama dan saling menjaga apapun yang terjadi.
Namun, tak ada satupun yang mampu membatasi sejauh mana perasaan Neira bergerak. Ia tak bisa memungkiri perasaannya terhadap Rama tak hanya sebatas sahabat. Rasa sayang itu ada pada tempat yang tak seharusnya. Neira telah… Jatuh cinta pada Rama sejak pertama kali mereka bertemu.
Ketika itu…
Neira berlari sepanjang lorong dengan gesit. Meski sekolah itu masih cukup sepi, namun ia merasa sangat terlambat untuk mengurus surat pindahnya ke sekolah itu. Pasalnya, 20 menit lagi bel tanda masuk sekolah berbunyi.
Sedang asik-asiknya berlari, tiba-tiba langkahnya tertahan. Sepersekian detik berikutnya, Neira sadar bahwa tali sepatunya belum terikat dengan baik. Namun, tentunya sangat terlambat untuk mencegahnya terjatuh.
Map dan berkas-berkas di tangan Neira berhamburan. Neira menutup matanya, bersiap menerima hantaman keras di tubuhnya akibat terjatuh. Tapi, alih-alih hantaman, yang ia rasakan adalah tubuhnya ditunjang oleh sesosok lain yang tak dikenalnya. Kaget, Neira berdiri. “Siapa lo?” tanyanya spontan.
Neira berfikir bahwa makhluk di hadapannya ini akan menjawab dengan lebih kasar. Tiba-tiba, laki-laki dihadapannya tersenyum, menghempaskan jauh-jauh prasangka Neira. Laki-laki itu berjongkok dan memunguti semua map dan berkas-berkas yang tadinya dibawa Neira. Reaksi yang sangat diluar dugaan.
Laki-laki itu lalu menyodorkan semua yang telah dipungutnya dan tersenyum.
Dengan perlahan dan agak ragu-ragu, Neira mengambil semua barang-barangnya dan berusaha memberikan senyum termanisnya yang saat itu sangat terlihat aneh. “Ma… Maka… Makasih…” ucap Neira tulus, tanpa melepaskan gagapnya.
Laki-laki itu lalu mengulurkan tangan. “Rama…”
Neira menyambutnya dengan cepat. “Neira…”
Sejenak mereka hanya nsaling menatap. Bola mata Neira yang hitam bertemu dengan bola mata Rama yang agak cokelat. Dalam warna teduh itu, Neira menemukan kedamaian. Tepat saat itu, jantungnya terasa dua kali lebih cepat dalam bekerja. Sampai-sampai, Neira mengira setiap orang akan mendengar detak jantungnya.
“Hei…” tegur Rama, sambil menyibakkan tangannya di depan wajah Neira.
“Ya?” sahut Neira kaget.
“Lagi buru-buru?” tanya Rama.
Neira tersadar dan langsung mengecek kembali map di tangannya. “Ya. Gue lagi buru-buru” jawabnya. “Duluan ya!” pamit Neira. Tanpa tahu setelah itu mereka akan jadi semakin dekat dan akhirnya menjadi sahabat.
Tentu saja Neira masih ingat. Dia tak mungkin bisa melupakan hal yang sangat penting dalam hidupnya itu.
Dia tak lupa, bahwa setelah itu ternyata mereka sekelas. Dan mereka ternyata duduk semeja. Atau ketika di hari pertama sekolah dan hari pertama mereka saling kenal Rama langsung meminta nomor handphone-nya. Obrolan-obrolan akrab mereka sampai pada hal yang sangat pribadi. Saat-saat Rama memintanya menjadi sahabat.
Tentu saja dia tak mampu melupakan saat-saat itu. Tapi, dari semua hal dan kenangan indah itu, hal yang paling tak bisa dilupakan Neira adalah sikap playboy Rama.
Rama yang berganti-ganti pacar semudah berganti sandal. Dan apa yang dirasakan Neira setiap kali Rama memperkenalkan pacar barunya. Rasa sakit yang amat menusuk itu takkan pernah Neira lupakan.
Hampir setiap Rama memperkenalkan pacarnya pada Neira, setelahnya Neira menangis. Dan pada saat Rama melihatnya, dia hanya bertanya pada Neira dengan tampang tanpa dosa. Seakan-akan ia tak pernah membuat Neira menangis.
Padahal nyatanya, hampir setiap butir air mata yang Neira teteskan adalah karena Rama. Karena sikap laki-laki bodoh itu.
“Neira…” panggil Rama lembut kepada sahabatnya. “Lo kenapa?” sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Rama. Pertanyaan yang sama yang diajukannya setiap Neira terlihat murung.
Neira hanya menggeleng lemah. “Cewek lo mana?” tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan. Neira paling tidak suka ketika Rama menanyakan keadaannya. Karena, itu artinya dia akan selalu berbohong pada Rama. Pasalnya, dia tak pernah merasa baik-baik saja ketika Rama menanyakan keadaannya.
“Di kelasnya, Ra. Dia itu baik banget deh. Kayaknya, gue sama dia akan bertahan lumayan lama.” jawab Rama dengan nada semangat. Namun, sudut matanya terlihat khawatir.
“Bagus lah, Ram. Gue harap lo sama Fia langgeng. Gue udah jenuh liat lo ganti-ganti pacar terus.” walaupun gue harap orang yang beruntung itu gue… lanjut Neira dalam hati.
Rama hanya tersenyum tipis. “Lo sendiri, Ra?” tanya Rama.
“Gue? Emang gue kenapa?’ Neira mengerutkan kening tak mengerti.
“Lo nggak pingin apa punya pacar?” Rama memperjelas maksud pertanyaannya.
“Emang harus ya?”
“Nggak harus sih, Ra. Tapi, emang lo nggak ngerasa kesepian?” lagi-lagi Rama bertanya. Dan ini mulai membuat hati Neira panas.
Untungnya, Neira mampu menguasai dirinya. Dia lalu menggeleng perlahan. “Gue kan punya lo. Sahabat gue dari pertama kali masuk SMA ini. Gue nggak akan merasa kesepian, Ram.” dia lalu tersenyum.
“Emangnya lo nggak suka sama seorang cowok, Ra?” pertanyaan yang satu ini membuat dada Neira terasa sesak. Haruskah dia menjawab jujur atau…
“Ada.” akhirnya dia memilih jujur.
“Siapa?” tanya Rama lagi. Entah mengapa, hari ini Rama sangat mirip reporter.
“Seseorang bodoh yang selalu ada di samping gue, tapi seakan dia nggak pernah melihat gue sebagai seorang cewek biasa.” jawab Neira memilih jujur. Namun dengan kata-kata yang berputar-putar sehingga Rama tak mengerti sama sekali siapa orang itu.
Alhasil, Rama hanya mengangguk-angguk tak jelas. “Kejar cinta lo, Ra.” ujarnya seraya menepuk bahu Neira. “Gue ke kelas Fia dulu ya. Mau pacaran.” pamit Rama sambil senyum-senyum. Lalu sosoknya menghilang di balik pintu kelas.
“Gue nggak akan mengejarnya, Ram. Karena gue saat ini sangat takut terjatuh…” gumam Neira perlahan. Neira membalikkan tubuhnya dan menatap jauh ke depan.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Minerva Glass. Bahwa, cinta itu nol. Dan, berapapun waktu yang terbuang untuk angka nol, semua hanya akan sia-sia. Dan terasa sia-sia juga perasaan Neira terhadap Rama. Selama apapun Neira mencintai Rama, yang didapatkannya hanyalah penyesalan dan rasa sakit.
-o0o-
“Nama saya Revan, pindahan dari SMA 26 Bandung.” ujar seorang siswa pindahan memperkenalkan diri. Semua mata tertuju pada Revan, kecuali sepasang bola mata hitam yang sejak tadi terus menatap komik yang telah dimanipulasinya dengan buku sejarah.
“Nah, Revan.” panggil Bu Sitta. “Kamu bisa duduk di sebelah Neira.”
Sepasang bola mata hitam itu menoleh meninggalkan dunia komiknya. Melihat sesosok laki-laki berjalan gontai ke kursi di sebelahnya.
Bahkan saat Revan telah mendarat di kursinya, mata itu tetap tak lepas memandanginya.
“Woy!” Plakk! Revan berseru sambil menampar pipi Neira pelan.
“Eh, sakit tau.” Neira meringis.
“Makanya jangan ngelamun aja. Ngapain sih ngeliatin gue kayak gitu? Gue jadi takut deh sama lo.” ujar Revan.
“Ngapain lo takut sama gue? Emangnya bakal gue makan apa?” tanya Neira.
“Nggak tau ya… kalo lo termasuk…”
“Neira! Revan! Kalian tidak menghargai saya ya.” teriak Bu Sitta. “Kalau kalian merasa keberatan mengikuti pelajaran saya, silahkan keluar sekarang juga!” tambahnya.
Seisi kelas sontak terdiam. Tak terkecuali Neira dan Revan.
Namun, ketegangan itu tak berlangsung lama, karena Revan berdiri dari kursinya dan membungkuk. “Maaf, Bu!” ucapnya sungguh-sungguh.
Semua penghuni kelas itu berbalik menatap Revan. Termasuk Bu Sitta. Dan, sedetik kemudian beliau tersenyum, lalu berkata, “baik, saya maafkan. Tapi, lain kali tolong hargai keberadaan saya disini.”
Revan duduk kembali. Neira menatapnya dengan pandangan tidak percaya. “Kenapa?” tanya Revan, merasa tak nyaman diperhatikan sedetail itu  oleh Neira.
Neira hanya menggeleng dan memperhatikan ke depan. Tak ingin insiden kemarahan Bu Sitta terulang lagi.
-o0o-
“Nama gue Neira.” ujar gadis itu seraya menyodorkan tangan untuk berkenalan.
“Harusnya sih lo udah tau nama gue, karena tadi pagi gue udah nyebutin nama kenceng-kenceng di depan kelas. Tapi, kalau lo nggak denger karena terlalu sibuk baca komik, nama gue Revan.” jawab Revan panjang lebar.
Neira meringis ngeri mendengar Revan berbicara. Baru kali ini ditemuinya laki-laki secerewet Revan. “Whatever!” itulah kata-kata yang akhirnya dipilih Neira sebelum dia melenggang ke kantin.
Tapi, tangan Revan menahannya. “Temenin gue yuk!” ajak Revan.
“Kemana?” tanya Neira.
“Keliling sekolah ini. Gue kan belum terlalu hafal seluk-beluknya. Hitung-hitung lo Bantu gue lah. Daripada lo nyamperin pacar lo itu.” sahut Revan sambil menunjuk ke arah Rama. “Lagian dia juga pergi tanpa menengok ke arah lo sama sekali tuh.” tambahnya.
“Dia bukan pacar gue.” sahut Neira.
“Masa sih? kayaknya tadi sepanjang pelajaran, mata lo nggak pernah lepas dari dia deh. Gue perhatiin, lo ngeliatin dia terus. Kalau lo bukan pacarnya, berarti lo penggemar rahasianya dong? Atau…”
“Dia sahabat gue…” potong Neira. “Dan, kalau lo masih mau gue temenin keliling sekolah, sebaiknya lo nggak perlu ikut campur urusan gue.” Neira memanas.
“Iya, tante… Gitu aja ngambek.” ledek Revan.
Neira meninggalkan Revan dengan sebal. Namun, Revan mengikutinya. Dan, akhirnya mereka mengelilingi sekolah bersama-sama, dengan Neira sebagai pemandunya.
-o0o-
“Jadi, lo suka sama sahabat lo sendiri?” tanya Revan dengan nada serius. Dua minggu setelah ia resmi menjadi murid SMA Pertiwi.
Neira yang sedang membaca komik Detektif Conan favoritnya mendongak. “Maksudnya?”
“Maksud gue kan jelas, lo suka sama Rama, ‘kan?” tanya Revan.
“Yaiyalah.” jawab Neira santai sambil kembali membaca komiknya. “Kalau gue nggak suka sama Rama, gue nggak akan mau jadi sahabatnya.”
“Bukan suka yang kayak gitu. Maksud gue, suka sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lebih tepatnya lagi, jatuh cinta.” Revan ngotot.
Kali ini Neira benar-benar mendongak sampai menutup komiknya. “Lo bercanda ya?” tanyanya balik.
“Apa untungnya gue bercanda?” Revan mengerutkan kening. “Gue serius, Neira.”
“Kenapa juga lo bisa berfikiran kayak gitu?”
“Gue nggak buta, Neira.” jawab Revan. “Gue cukup tau, kalau cara lo ngeliat Rama itu beda. Ada sesuatu yang lebih disana.” lanjutnya.
“Nggak usah sok psikolog deh, Van.” sergah Neira. “Gue tegasin sekali lagi, dan untuk yang terakhir kalinya. Gue nggak suka sama Rama!” bentaknya begitu keras. Berusaha menahan perih hatinya karena sekali lagi harus membohongi perasaannya sendiri.
Revan diam. Dia lalu berjalan menjauhi Neira. Mencoba membiarkan Neira sendiri. Namun, baru beberapa langkah dia berbalik menatap Neira. “Gue yakin,” gumamnya perlahan, namun masih terdengar oleh Neira. Revan lalu melanjutkan, “suatu saat nanti, lo sendiri yang akan membuktikan kalau ucapan gue benar.” dan Revan pun pergi.
Neira menatap Revan menjauh dengan jantung berdebar. Detik-detik kebohongannya terulang lagi. Dia lalu membuka lagi komiknya yang tadi sempat tertutup, dan mulai membaca dengan serius. Mencoba meninggalkan dunia nyatanya yang memperburuk suasana hati, dan memasuki dunia komik yang mendebarkan namun menyenangkan itu.
Dia terus membaca sampai seseorang memegang bahunya. Sontak dia berbalik. “Rama?” ucapnya meyakinkan.
“Cie yang baca komik, serius banget sih.” goda Rama.
“Yah, Ram. Lo kayak nggak tau gue aja sih. Gue kan suka banget komik yang satu ini. Ngomong-ngomong, lo ada perlu apa sama gue?” tanya Neira.
“Emangnya kalau gue mau ngobrol sama sahabat gue sendiri harus pake keperluan dulu ya?”
“Bukan gitu, Ram. Gue heran aja, biasanya kan jam segini lo di kelasnya Fia.” jawab Neira jujur, dan sedikit menahan sakit hati mengucapkan nama Fia.
“Gue udah putus kali sama Fia.” ujar Rama.
Dahi Neira berkerut. Namun tak bisa berbohong, hati Neira bersorak senang. “Kok bisa?” tanya Neira dengan aksen serius.
“Habisnya, dia itu cemburuan.”
“Lho, kan lo sendiri yang bilang waktu itu kalau dia pengertian. Nggak konsekuen banget sih lo.” maki Neira.
“Waktu itu belum kelihatan aslinya, Ra.” sahut Rama. “Daripada ngomongin Fia, gue mau tanya sama lo, gimana ya cara yang unik buat nembak cewek? Gue mau nembak Irsha nih..”
Gubrakk!! Atap kelas itu terasa jatuh di atas kepala Neira. Dan tentu saja air mukanya berubah. Semua sakit hati, amarah, serba salah, kecewa, dan cinta tergabung jadi satu di wajahnya.
Neira menjawab singkat, “cari aja cara sendiri.” lalu berlari meninggalkan Rama yang terdiam dengan wajah bingung. Dan juga meninggalkan sesosok laki-laki yang berwajah prihatin, namun tersenyum puas.
Neira berlari entah kemana. Ia tak tahu arah mana yang ia tuju. Yang ia tahu sekarang hanyalah mencoba menenangkan diri dan lagi-lagi menabahkan hati. Ternyata benar apa yang ia ungkap tempo hari. Cinta itu nol, dan seberapa lamapun waktu terbuang untuk angka nol, hanya akan menjadi sia-sia. Dan seberapa banyakpun airmata yang terbuang untuk angka nol itu, tetap tak bisa mengubah nol itu menjadi sesuatu yang bernilai.
Tapi, meski Neira tahu tangisnya sia-sia, ia tetap menangis. Karena, baginya tangis mungkin takkan menyelesaikan masalah. Tapi, mampu mengurangi perih hati akibat masalah itu. Tangis akan melegakan hati. Jadi ia menangis sepuas-puasnya di tempat itu. Tempat yang saat itu tak dikenalnya. Dan bahkan, Neira tak menyadari sepasang bola mata yang menatapnya dari kejauhan.
Setelah cukup lama menangis di tempat itu, Neira merasa seseorang melangkah mendekatinya. Dia pun berbalik. “Revan?” matanya melebar karena terkejut.
Revan hanya dian dan tak berkata apa-apa. Lalu, ia menyodorkan sebuah sapu tangan ke hadapan Neira. Selama beberapa detik, mereka berdua hanya diam.
Neira lah yang lebih dulu tersadar dan langsung mengambil sapu tangan itu “Kok lo ada disini?” tanyanya.
“Nanti malam ada accara nggak?” tanya Revan seolah tak memedulikan pertanyaan Neira.
Neira memasang tampang sewot. Tapi, Revan berkata lagi, “gue akan jelasin semuanya nanti malam. Makanya, gue tanya lo ada acara nggak?”
Neira menggeleng.
“Oke, nanti malam jam tujuh di Cafetaria ujung Jalan Merpati.” ujar Revan lalu berlari meninggalkan Neira.
“Kenapa sih tu cowok?” tanya Neira pada diri sendiri.
-o0o-
Neira berlari di sepanjang Jalan Merpati. Bergegas menuju cafetaria tempat ia dan Revan janjian. Dan, sepuluh menit kemudian, Neira tiba di depan cafetaria. Dia memang tidak telat, karena biasa tepat waktu. Namun rupanya Revan telah mendahuluinya. “Udah lama, Van?” tanya Neira ketika menghampiri Revan.
“Belum kok. Baru sebentar.” jawabnya sopan. “Yuk, ikut gue.” ajaknya, lalu menarik tangan Neira ke dalam cafeteria.
Mereka duduk di sebuah meja yang agak terpencil dari tempat duduk lainnya. Nyaris tak terlihat karena berada di sudut. Pelayan menghampiri meja mereka. “Mau pesan apa, Mas?” tanyanya menatap Revan.
“Lo mau makan apa, Ra?” tanya Revan ke Neira.
“Terserah lo deh, Van.” jawabnya pasrah. Yang lebih penting baginya saat ini bukanlah makan, tapi mencari tahu apa maksud Revan mengajaknya kemari malam minggu begini. Kesannya kan seperti… Kencan. Tapi…
“Nggak usah mikir macam-macam, Ra. Gue ngajak lo kesini untuk ngasih tau lo sesuatu yang sangat penting.” Revan telah selesai memesan makanaan dan pelayan pun telah meninggalkan mereka. Neira menatap Revan dalam-dalam.
 “Tapi daripada gue kasih tau, mending juga lo yang liat sendiri.” lanjut Revan. Neira masih tak mengerti, namun memutuskan untuk diam saja.
Bahkan sampai pelayan datang, Neira masih tetap diam saja. Dan dia sama sekali tak tahu apa yang dia makan. Yang dia tahu, rasanya cukup enak.
Namun, ketika matanya mengedar ke arah jam tiga, dia tak bisa diam lagi. Dilihatnya lekat-lekat sosok berkemeja biru yang sedang bercengkerama bersama seorang wanita. Sosok itu Rama. Tak terasa mata Neira berembun, hendak menjatuhkan airmata. Saat…
“Gue nggak ngajak lo kesini untuk nangis. Lagipula, ini belum seperempatnya dari apa yang akan gue tunjukkin ke lo. Jadi lebih baik lo simpen dulu tu airmata.” ucap Revan datar. Lalu melanjutkan kegiatan makannya.
“Mereka pergi…” gumam Neira lirih.
“Oh, jadi sudah dimulai ya?” ujar Revan. “Ayo, Ra. Gue nggak mau melewatkan detik-detik kebejatan dia terungkap.” Revan menyelipkan uaang seratus ribu di bawah piring, lalu menarik Neira keluar dari cafetaria. Neira hanya menurut pasrah.
-o0o-
Motor Rama melaju dengan cepat, namun sepertinya Revan tak mau kalah membuntutinya. Rupanya, Revan benar-benar cerdas. Meski membuntuti, ia benar-benar menjaga jarak dengan motor Rama agar tak dicurigai.
Revan sepertinya tidak takut kehilangan jejak Rama. Mungkin karena dia sudah tau pasti rute yang dituju oleh Rama.
Rama berhenti di sebuah rumah. Revan menyembunyikan diri di pertigaan yang tidak terlalu jauh dari rumah itu. Neira sama sekali tak mengenal wanita itu, jadi ia hanya menyaksikan kejadian itu dengan seksama, sambil mencoba menguatkan hati.
Tanpa di duga, Rama mencium pipi wanita itu dengan hangat. Membuat Neira makin meringis.
Setelah wanita itu menutup pintu, Rama kembali melaju. Dan kali ini menuju tengah kota. Neira tak bisa lagi berkonsentrasi. Hatinya terlalu sakit untuk memperhatikan dimana Rama turun.
“Ra…” panggil Revan menyadari tatapan kosong Neira.
“Apa, Van?” sahut Neira tanpa ekspresi.
“Ini diskotek.” ujar Revan perlahan. Mereka berdua menyaksikan Rama merangkul dua wanita sekaligus dan melihatnya mengenggak minuman keras. Neira mencengkeram bahu Revan ketika Rama mulai mengeluarkan jarum suntik secara sembunyi-sembunyi, namun tampak jelas dari tempat mereka sembunyi.
Dan ketika jarum itu menusuk lengan Rama, Neira memejamkan mata dan berkata, “bawa gue pergi, Van. Gue mohon…”
Dan sepeda motor Revan langsung melaju meninggalkan tempat maksiat itu. Revan sadar, telah membuat wanita di belakangnya ini sangat shock, tapi itu lebih baik, daripada ia harus terus-terusan melihat gadis itu memendam perasaan pada orang yang tak layak.
-o0o-
Revan dan Neira duduk berdampingan di kursi Taman Jalan Merpati. Neira yang saat ini fikirannya sangat campur aduk, mencoba mendengarkan cerita Revan dengan sisa-sisa kesadarannya.
“Cewek yang di cafetaria sama Rama adalah adik gue. Dan rumah itu adalah rumah gue.” Revan mengawali cerita.
Neira menoleh perlahan. Mulai serius mendengarkan cerita Revan.
“Awal gue tau aslinya Rama adalah malam minggu kemarin, gue ditugasin nyokap untuk membuntuti adik gue yang pergi sama orang yang belum dikenal asal-usulnya. Terus, gue ngikutin adik gue sesuai perintah nyokap.
“Ternyata, yang ketemu sama adik gue itu Rama. Tapi, waktu itu gue nggak tau kalau Rama itu bejat seandainya aja nggak ada Fia.”
“Fia?” Neira mengerutkan kening.
“Iya, Fia. Pacarnya Rama waktu itu. Jadi, Fia memergoki Rama selingkuh. Jadilah Fia minta putus malam itu. Tapi, karena adik gue masih polos, dia percaya aja kata-kata Rama yang bilang kalau sebenarnya dialah pacar Rama satu-satunya.
“Malam itu, gue curiga banget sama Rama. Kalau dia bisa selingkuh kayak gitu, bukan mustahil kalau dia memang tukang mainin cewek. Akhirnya malam itu, gue ngikutin Rama sampai ke diskotek. Tapi, sumpah, gue sama sekali nggak tau kalau ternyata dia pecandu.”
“Terus kenapa lo masih biarin adik lo deket sama Rama?” tanya Rama memotong cerita Revan.
“Gue yang minta sama adik gue untuk malam ini berpura-pura udah maafin Rama. Tapi, setelah ini, dia harus jauhi Rama.”
“Kenapa lo melakukan itu?” tanya Neira lagi.
“Buat lo…” ujar Revan perlahan. “Supaya lo tau kalau lo mencintai orang yang salah.”
Neira baru hendak berbicara ketika Revan melanjutkan ucapannya. “Gue tau, Ra kalau lo suka sama Rama. Gue liat saat lo nangis denger Rama mau nembak Irsha, gue liat tatapan lo ke Rama yang berbeda, gue liat perhatian lo ke dia yang nggak biasanya. Gue nggak buta dan bisa liat semua itu.
“Tapi, gue juga nggak buta soal kejahatan Rama. Dan gue mau lo juga membuka mata lo dan liat kalau dia itu bukan orang baik-baik. Dia jahat, Ra. Dia suka mainin perasaan cewek, dia suka ke diskotek, dia biasa minum minuman keras, dia pecandu, dia…”
“Gue tau dia jahat!” bentak Neira. “Tapi, apakah karena dia jahat terus gue bisa lupain dia? Nggak, Van. Perasaan gue ke Rama bukan perasaan picik yang butuh alasan. Dan ketika alasan itu hilang perasaan itu juga akan hilang. Nggak kayak gitu, Van. Gue tulus sama dia.” air mata Neira mengalir dengan deras, tak tahan sejak tadi tersendat.
“Gue tau, Ra. Gue tau lo tulus. Tapi, dia nggak layak mendapatkan ketulusan lo. Lo bisa melakukan sesuatu untuk bisa membuang jauh-jauh perasaan lo. Ungkapkan itu, Ra. Ungkapkan perasaan lo ke Rama, tapi jangan minta dia jadi pacar lo. Bilang kalau Rama bukan orang yang cukup baik untuk mendampingi lo. Lakukan itu, Ra. Dan gue yakin, akan lebih mudah untuk lo menjalani semuanya.” kata-kata itu mengakhiri ucapan Revan.
Neira bersandar di bahu Revan dan mengeluarkan semua airmata yang ingin ia keluarkan. Agar besok, ketika ia akan mengakhiri semuanya, tak ada lagi air mata tersisa untuk dikeluarkan.
Revan menggenggam tangan Neira dan mencoba menguatkannya. Lalu tangan yang satu lang merangkul Neira untuk tenggelam dalam pelukannya.
-o0o-
“Ram, gue mau ngomong sama lo.” Neira menghampiri meja Rama dan mengucapkan kata-kata itu.
“Yaudah, ngomong aja kali, Ra.” ujar Rama santai.
“Tapi nggak disini. Di belakang sekolah.”
“Sekarang?” tanya Rama.
“Ya sekaranglah, masa besok.” jawab Neira, lalu menggandeng Rama menuju ke belakang sekolah.
“Mau ngomong apa sih?” tanya Rama ketika mereka sampai.
“Gue mau ngomong ini, mungkin untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”
Rama diam. Memberi kesempatan Neira melanjutkan ucapannya.
“Sejak pertama kali kita bertemu, gue…” Neira mulai terbata. “Gue suka sama lo!” teriaknya. “Gue jatuh cinta sama lo.” ujar Neira sambil menunduk.
“Oh ya?” Rama tersenyum memamerkan giginya. “Kalau gitu, lo mau nggak jadi pacar gue?” tanya Rama.
Saat ini Neira benar-benar hampir goyah. Jadi pacar Rama adalah hal yang paling diinginkannya sejak dulu sekali. Tapi, sekarang ketika kesempatan itu terbuka lebar haruskah ia…
“Maaf, Neira nggak bisa jadi pacar lo?” sahut sebuah suara dari belakang Neira.
Neira berbalik. “Revan?”
“Heh, banci! Nggak usah ikut campur deh. Emangnya Neira punya alasan untuk nolak gue?” tanya Rama percaya diri.
“Sangat banyak.” jawab Revan santai. Lalu dia melanjutkan. “Alasan pertama, lo suka mainin cewek, salah satunya adik gue.”
“Adik lo?” Rama terlihat bingung.
“Prita adik gue.” wajah Rama langsung pucat.
“Alasan kedua,” kali ini Neira langsung yang berbicara. “Lo suka pergi ke diskotek, terus lo suka minum-minuman keras, terus lo pecandu.” mendengar kata terakhir itu, Rama langsung mencekik Neira dan merogoh pisau lipat di saku celananya. Dia lalu menarik Neira mendekat.
“Lo maju selangkah aja, gue akan bunuh dia!” ancam Rama.
Neira nyaris menangis. Tapi herannya, Revan tersenyum sumringah. Dan penyebabnya…
Grepp!! Rama disergap dari belakang oleh dua orang polisi dan Neira bebas. Refleks, ia langsung berhambur ke pelukan Revan.
“Saudara Rama, anda ditahan atas tuduhan keterkaitan jaringan narkotika dan percobaan pembunuhan.” ujar salah satu polisi yang menyergap Rama dengan suara sangar.
Rama tak bersuara sedikitpun wajahnya pucat pasi. Dia digiring dengan tangan diborgol oleh dua orang polisi yang tadi.
Neira masih memeluk Revan erat sambil menangis, dan Revan balik memeluknya. Tak peduli meski nanti bajunya terendam oleh airmata Neira.
-o0o-
Sebulan kemudian…
Neira keluar dari ruang sidang sebagai saksi. Orangtua Rama mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang telah Rama lakukan terhadapnya.
Dan sebagai seorang pengacara, ayah Rama berusaha memperingan hukuman bagi anaknya, meski ia sama sekali tak menolak anaknya dihukun.
Ia sangat menyadari dampak kesibukannya dan istrinya hingga tak sempat memperhatikan Rama. Apalagi selama ini ia terlalu memanjakan Rama.
Persidangan Rama akan jadi persidangaan yang cukup panjang karena pihak terdakwa benar-benar berupaya untuk memperingan hukuman Rama.
Neira juga sejujurnya merasa tak tega melihat Rama terkurung dalam jeruji besi. Tapi, mau bagaimana lagi. Itu adalah konsekuensi dari perbuatannya.
Selain Neira, Revan juga diundang sebagai saksi. Dan saat ini, mereka tengah berjalan beriringan keluar dari Gedung Pengadilan.
Sepanjang jalan itu mereka berbincang-bincang.
“Mungkin ini yang terbaik ya, Ra.” Revan mengawali pembicaraan.
“Ya, dengan begini, kita jadi bisa banyak belajar dari pengalaman. Terutama orang tua Rama.” sahut Neira.
“Ya, semoga setelah suatu saat nanti Rama keluar dari penjara, dia akan menjadi manusia yang lebih baik dan berubah.”
“Ya, gue juga jadi banyak belajar. Ternyata selama gue jadi sahabatnya Rama, gue belum mengenalnya dengan baik. Masih banyak sisi dirinya yang nggak gue tau. Malah lo, yang baru sebentar banget kenal sama dia, bisa buka sisi gelapnya dengan sukses. Iri gue sama lo.”
Revan tersenyum tipis. “Ya, gue fikir ini juga bagus buaat lo sih.”
“Bagus apa?” tanya Neira.
“Yah, dengan nggak adanya Rama, kayaknya lo akan jauh lebih mudah untuk melupakan dia.” ujar Revan.
“Sebenarnya nggak ngaruh juga sih. Sekarangpun, perasaan gue ke Rama udah nggak kayak dulu. Kali ini gue murni sayang sebagai temen.”
“Berarti, lo udah siap membuka hati lo dong?” tanya Revan.
“Emang harus ya? Gue rasa, gue jauh lebih nyaman kayak gini.”
“Hidup kita nggak akan terasa berwarna kalau nggak ada cinta.” komentar Revan.
“Huh, cinta ya?” remeh Neira. “Gue setuju kok sama Holmes, cinta itu adalah sesuatu yang emosional dan segala sesuatu yang emosional itu bertentangan dengan logika.”
“Emang cinta butuh logika?” tanya Revan sambil menarik tangan Neira untuk berbelok di sebuah taman. “Lagipula,” lanjutnya, “Holmes bukan orang yang tak pernah tertarik pada seorang wanita. Bahkan, beliau tak bisa memungkiri kekagumannya pada Iryn Adler, satu-satunya wanita yang diakui Holmes. Dan, sampai sekarang, tak ada yang bisa membuktikan bahwa manusia bisa hidup tanpa cinta.”
Mereka berhenti di sebuah kursi dan duduk berdampingan.
“Gue juga percaya kata-kata Minerva Glass, kalau…”
“Cinta itu nol.” Revan memotong ucapan Neira. “Selama apapun waktu yang terbuang untuk angka nol hanya akan sia-sia, dan sebanyak apapun kau menambahkannya, tak akan pernah bertambah.”
Neira terpaku.
“Ayolah, Ra. Cinta itu memang nol. Tapi, lo nggak boleh lupa kata-kata Shinichi, nol adalah awal mula dari suatu keberhasilan. Tanpa angka nol, tak akan ada kesuksesan. Lo jangan nerima persepsi itu setengah-setengah.” ujar Revan.
“Lo baca juga?” tanya Neira.
Revan mengangguk. “Gue suka banget Detektif Conan. Lo fikir darimana ide gue untuk ngikutin Rama dari jauh? Tentu aja dari komik itu.” Revan menghela nafas. “Dan, Neira. Angka nol itu nggak akan jadi permulaan keberhasilan tanpa diungkapkan. Jadi yang paling penting, ketika lo jatuh cinta sama seseorang, coba lo ungkapkan. Perasaan yang lo pendam itu cuma akan bikin lo tambah sakit hati, dan lo bisa aja frustasi sampai bunuh diri.”
Neira terdiam. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum sambil berkata, “kalau gitu gue bakal ungkapin deh.”
Revan menoleh.
“Van,” panggil Neira. “Kalau cinta itu nol dan nol adalah awal keberhasilan, mau nggak lo mengawali semua keberhasilan itu sama gue?”
Revan mengangguk, “ini tau yang gue tungguin dari tadi.” sahut Revan sambil tersenyum dan merangkul Neira.

Mulai saat ini, ia berjanji, tak akan lagi menjadikan perasaannya menjadi Unrequited Love--- cinta tak terungkap.

Jakarta
28 April 2011

You Might Also Like

1 Comments