Selasa, 14 Juni 2016

Teori Konspirasi

“Giliran Anda, Angkasa!”
Dosenku menyebut namaku. Aku bangkit dari kursi dan melangkahkan kakiku ke depan kelas sambil membawa memory chip yang memuat materi presentasiku. Aku sampai di depan layar sentuh lebar dan membuka media presentasi yang telah kusiapkan dua minggu terakhir.
Materi yang akan kubawakan tidak berbeda jauh dengan teman-temanku yang lain. Tugas pertama mata kuliah wajib ini meminta kami untuk menjelaskan tentang kemajuan teknologi secara umum dan menjabarkan dampak kemajuan teknologi berdasarkan apa yang kami lihat. Semua yang kami presentasikan harus berasal dari pemikiran kami sendiri, bukan dari buku apalagi internet.
Aku menghubungkan layar sentuh dihadapanku dengan proyektor yang memantulkan cahaya ke layar berukuran 6x8 meter di tengah ruangan. Saat layar besar itu menampilkan bagian pembuka materi, aku memulai presentasi.
“Selamat pagi, teman-teman! Pagi ini, Saya, Angkasa, akan membawakan materi tentang kemajuan teknologi dalam sudut pandang saya.”
Aku menekan tombol remote control dan tampilan pada layar berganti. Layar yang sebelumnya menampilkan halaman pembuka, kini menampilkan sebuah halaman dengan judul “Gambaran Mengenai Kemajuan Teknologi”. Aku menghela napas panjang.
Agak sulit menyampaikan ini karena apa yang akan kusampaikan kemungkinan besar bertentangan dengan sebagian besar isi kelas termasuk dosenku. Aku memandang sekeliling ruangan, menatap setiap pasang mata yang menantikan apa yang ingin kusampaiakan, lalu aku menunduk dan menghela napas lagi.
“Angkasa, Saya tidak meminta Anda ke depan hanya untuk diam dan menatap layar,” tegur Dosen. Ternyata tanpa sadar aku telah terdiam cukup lama.
“Ah, maaf, Pak! Saya segera melanjutkan,” sahutku.
“Menurut saya…” sepotong kata keluar lalu aku diam lagi. Aku terdiam lagi sampai-sampai wajah dosenku terlihat sangat kesal. Tepat ketika Beliau ingin mengatakan sesuatu, aku mengeluarkan kata lagi.
“Kemajuan teknologi …” aku kembali ragu untuk mengatakan apa yang sudah kusimpulkan. Tapi, aku harus meneruskan presentasi ini jika aku ingin lulus dari mata kuliah ini.
Wajah dosenku mulai tidak sabar. Beliau melangkah mendekat ke arahku.
“Kemajuan teknologi…” dan aku hanya mengulangi kesalahanku. Kali ini, dosenku benar-benar menghampiriku dengan wajah gusar.

-o0o-

“Jadi Saya akan kembali ke kota kelahiran Saya, Pak?”
“Ya, Saya baru mendapatkan email konfirmasi beasiswa studimu di Universitas Ayashi.”
“Saya akan menjadi mahasiswa Universitas Ayashi, Pak? Universitas yang luar biasa itu?”
Guruku tersenyum lalu mengangguk. “Iya, Angkasa. Kamu akan ke Ayashi dan menjadi mahasiswa di universitas besar itu.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Saya berhutang pada Bapak.” Aku mencium tangan guruku lalu melompat-lompat di sepanjang koridor. Aku luar biasa bahagia. Setelah bertahun-tahun tidak kembali ke kota itu, aku akhirnya punya kesempatan.
Ayashi adalah kota kelahiranku. Dulu namanya bukan Ayashi, tapi Gerang. Kala itu Gerang bukan sebuah kota, melainkan kabupaten. Aku lahir di pinggiran Kabupaten Gerang delapan belas tahun yang lalu dan hidup disana bersama Ayah sampai beliau meninggal dunia. Ibuku meninggal dunia setelah melahirkanku, jadi aku hanya dibesarkan oleh Ayah.
Ayah sangat menyayangiku. Beliau berjuang sangat keras untuk bisa menyekolahkanku. Padahal, beliau hanya seorang penyembelih ayam di pasar, pekerjaan yang bahkan tak disadari keberadaannya oleh kebanyakan orang. Ayah selalu berkata bahwa apapun yang terjadi aku tidak boleh putus sekolah, aku harus menjadi orang yang berpendidikan, aku harus bermimpi tinggi setinggi namaku, Angkasa.
Aku dan Ayah tinggal di sebuah rumah kayu kecil yang memang hanya cukup untuk kami berdua. Kami tinggal di dekat hutan, sedikit jauh dari pusat pemukiman. Di depan rumah kayu kami mengalir sungai yang jernih. Aku sekolah di SD dekat pasar. Jadi, setiap hari sekolah, aku biasanya ikut Ayah ke pasar dan membantu menata ayam-ayam yang sudah disembelih. Kami biasa berangkat dari rumah pukul dua dini hari agar pukul tiga kami sudah bisa tiba di Pasar dan pukul empat ayam sudah bisa dijual oleh para pedagang.
Di sore hari sepulang sekolah, aku biasa bermain di dekat pemukiman dengan teman-teman satu sekolahku. Dari mulai gobak sodor, petak umpet, sampai lempar bata, rasanya permainan kami tidak pernah habis dan kami tidak pernah merasa bosan.
Kehidupan seperti itu kujalani sejak aku mulai sekolah SD sampai aku kelas empat SD. Di tahun itu, Kabupaten Gerang dibagi menjadi Kabupaten Gerang dan Kota Gerang. Daerah pusat menjadi kota, sedangkan daerah pinggiran seperti daerah tempat tinggalku ini menjadi kabupaten. Di tahun itu juga sebuah pabrik didirikan dekat pemukiman kami. Aku tidak tahu pabrik apa itu, yang aku tahu pabrik itu mengancam kehidupan di pemukiman kami. Warga-warga berjatuhan meninggal dunia karena keracunan limbah pabrik, Ayah termasuk salah satu yang meninggal. Aku sedih bukan main dan merasa sangat marah, tapi tidak mengerti harus marah kepada siapa. Aku hanya bocah SD berumur sepuluh tahun yang polos saat itu.
Pamanku lalu datang mengambilku dan merawatku sampai saat ini. Beliau memperlakukanku dengan baik. Beliau bahkan bersedia menyekolahkanku sampai tamat SD. Sisanya, aku berjuang dengan tangan dan kakiku sendiri. Aku menjadi kuli angkut di pasar pada hari libur, menjadi loper koran setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, berjualan es keliling di dekat jalan raya sepulang sekolah, apapun yang bisa kulakukan agar bisa menjalankan pesan Ayah untuk tidak putus sekolah.
Kota Gerang mengalami kemajuan yang begitu pesat. Hanya dua tahun setelah aku meninggalkan kota itu, ia berganti nama menjadi Ayashi. Ayashi menjadi kota pertama yang diberi gelar kota teknologi di negeri ini. Ayashi juga merupakan kota pertama yang memiliki universitas berbasis teknologi. Sejujurnya aku tidak begitu mengerti apa yang mereka maksud kota teknologi dan universitas berbasis teknologi. Satu-satunya yang aku tahu dari berita-berita di surat kabar adalah bahwa Kota Ayashi dan Universitas Ayashi benar-benar menakjubkan.
Aku tidak sabar untuk kembali ke kota itu. Mungkin aku bisa bertemu dengan teman masa kecilku yang masih tinggal disana. Mungkin juga aku bisa bertemu dengan anak pedagang ayam yang dulu sering membantuku menata ayam yang sudah disembelih, atau mungkin aku bisa melihat lagi hutan lebat dan sungai dekat rumah kayuku dulu. Entah apa yang akan kutemui disana, yang jelas aku sudah tidak sabar untuk melihat kembali kota kelahiranku.

-o0o-

“Kenapa Anda tidak melanjutkan presentasi Anda, Angkasa? Bagaimana saya bisa menilai Anda jika Anda hanya mengulang kata-kata yang sama?” ujar dosenku sedikit gusar, terdengar dari suaranya yang agak meninggi.
“Maafkan Saya, Pak. Saya akan melanjutkan presentasinya,” sahutku dengan nada sopan.
Sebelum melanjutkan, aku kembali menoleh kea rah dosenku dan bertanya,”Pak, benarkah Saya boleh mempresentasikan apa yang saya lihat dan saya pikirkan?”
“Bukan hanya boleh, Angkasa. Anda harus,” kata dosenku tegas.
“Baiklah,” kataku akhirnya.
Aku menarik napas panjang dan melanjutkan presentasi, “Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan dua minggu terakhir, menurut saya kemajuan teknologi adalah…”

-o0o-

“Selamat datang di kelas Pengembangan Teknologi! Saya Indra dan Saya akan menjadi dosen Anda satu semester ke depan,” sapa dosen pertama yang kelasnya kumasuki semester ini.
Aku sudah tiba di Ayashi sejak sebulan lalu, melewati serangkaian orientasi perkuliahan, perjalanan keliling kota, dan pengenalan tentang tujuan Universitas Ayashi secara umum. Kesan yang aku dapat selama sebulan terakhir adalah luar biasa dan benar-benar sesuai ekspektasi. Kota ini benar-benar rapih. Kota ini memiliki sistem industri yang baik, sistem pengolahan sampah yang nyaris sempurna, teknologi terbaru, gadget tercanggih yang mendukung pembelajaran, akses internet tercepat di negeri ini gratis tanpa batas untuk seluruh penduduk kota, angkutan umum yang cepat dan murah dijalankan oleh sistem kontrol pusat.
Universitas Ayashi pun tak kalah hebat. Universitas ini memiliki laboratorium super lengkap dengan keseluruhan sistemnya digital. Tidak ada lagi kertas, yang ada hanya layar sentuh dimana-mana. Untuk mengajar, mencatat, mengerjakan tugas, ujian, segalanya dilakukan dengan layar sentuh. Kota Ayashi adalah kota terpintar yang pernah aku kunjungi dan Universitas Ayashi adalah aset berharga di dalamnya.
“Saya akan memulai mata kuliah ini dengan tugas observasi individu. Dalam tugas pertama ini, Anda diminta untuk melakukan observasi di dalam Kota Ayashi mengenai kemajuan teknologi. Saya ingin masing-masing dari Anda mempresentasikan tentang kemajuan teknologi secara umum dan dampak kemajuan teknologi yang Anda amati sendiri. Rincian tugas dapat Anda lihat di akun Anda masing-masing.”
Kami menyimak baik-baik apa yang ditugaskan dosen. Aku membuka akunku dan membaca rincian tugas. Disana tertulis bahwa aku harus membatasi daerah yang kuamati. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan bahwa daerah yang akan aku amati adalah daerah pemukimanku. Daerah kecil di pinggiran Kota Ayashi yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Gerang. Kesanalah aku akan melangkah.

-o0o-

“Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan dua minggu terakhir, menurut saya kemajuan teknologi yang terjadi di Kota Ayashi mengarah pada teori konspirasi yang bertujuan untuk menghancurkan kota ini sebagai awal kehancuran negeri ini.”
Seisi kelas melotot ke arahku. Wajah dosenku mengernyit. Beliau memotong presentasiku.
“Apa maksudnya ini, Angkasa?”
“Mohon maaf sebelumnya, Pak! Bisakah Saya melanjutkan presentasi Saya terlebih dahulu?” kataku sesopan mungkin.
Dosenku tidak berkata apa-apa dan memersilahkan aku untuk melanjutkan dengan isyarat.

-o0o-

Menangis.
Itulah hal pertama yang ingin kulakukan saat pertama kali menginjakkan kaki di desa tempatku lahir ini. Tidak ada lagi hutan lebat atau sungai jernih. Hutan telah terbabat menyisakan sangat sedikit pohon untuk menyerap air dan sungai berubah menjadi keruh berlimbah pabrik. Kata orang di desa, sistem pengolahan limbah ‘orang kota’ itu hanya bisa mengolah sebagian, sedang sisanya dialirkan ke sungai ini. Warga desa sakit-sakitan, bahkan sudah cukup banyak yang meninggal dunia akibat keracunan air berlimbah.
Pasar tempat aku dan Ayah dahulu bekerja, sekarang diubah menjadi pasar modern dimana harga sewa kiosnya jauh lebih mahal. Jasa penyembelih ayam dan kuli angkut tidak lagi digunakan, semua menggunakan mesin. Warga desa banyak yang menjadi pengangguran, angka kriminalitas meningkat, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan oleh kelaparan juga meningkat.
Anak-anak berhenti bermain permainan tradisional. Mereka berhenti berinteraksi dan asik bermain dengan gadget mereka masing-masing. Tidak ada yang lebih penting daripada gadget mereka. Bahkan tidak juga pendidikan dan orangtua mereka sekalipun. Tak jarang yang kemudian menjadi ‘berani’ kepada orangtua dan menjadi anak durhaka.
Akses informasi menjadi begitu mudah. Budaya malas berkembang pesat. Bahkan para ‘kaum terpelajar’ berhenti mengamati lingkungan sekitar karena malas dan menganggap semua sudah bisa diketahui dari dunia maya, tidak perlu terjun langsung. Para siswa hanya terkonsentrasi bagaimana lulus ujian dan memperoleh tiket melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Para mahasiswa hanya berkonsentrasi pada hal-hal yang akan memengaruhi penyematan gelar sarjana di nama mereka. Mereka terlalu terobsesi dengan prestasi dan kebanggaan, sampai-sampai lupa apa esensi belajar itu sendiri. Mereka lupa bahwa pendidikan adalah untuk membekali diri agar dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga yang terjadi adalah mereka lalai pada kehancuran masyarakat yang terjadi persis di depan batang hidung mereka.
Dua minggu itu benar-benar memberikanku banyak pandangan baru mengenai kemajuan teknologi. Aku menyadari bahwa kemajuan teknologi yang tidak didukung dengan pembinaan karakter yang baik dapat menimbulkan masalah yang menghancurkan tatanan masyarakat, moral, dan bahkan membunuh orang-orang yang tidak ada kaitannya. Seperti sebuah teori konspirasi yang dirancang oleh orang-orang yang bertujuan untuk menghancurkan negeri ini dari dalam.

-o0o-

“Kemajuan teknologi di kota ini menyebabkan pencemaran lingkungan yang berujung pada menurunnya kesehatan masyarakat, meledaknya angka pengangguran, meningkatnya angka kematian, rusaknya tatanan sosial, hancurnya moral dan kemanusiaan, serta hilangnya kepekaan masyarakat berpendidikan. Semua dampak negatif ini menyerang harta terpenting yang dimiliki negeri ini, yaitu sumber daya manusia.”
Aku menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. Kali ini seisi kelas tampak tertarik menyimak presentasiku.
“Sumber daya manusia yang sudah tua dan berpendidikan diserang dengan proyek-proyek berkeuntungan tak wajar yang berkedok untuk memajukan negeri ini.
“Sumber daya manusia yang tua dan pekerja keras tapi tidak berpendidikan dipaksa menjadi pengangguran karena mesin-mesin mengambil pekerjaannya. Beberapa dipenjarakan karena menjadi pelaku kriminal, beberapa lagi keracunan limbah yang tak bisa diolah alat-alat, dan sisanya mati kelaparan.
“Sumber daya manusia yang muda dan berpendidikan diserang kreativitasnya dengan kemudahan akses informasi sehingga membuat mereka malas berpikir dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka juga diserang moralnya dengan berbagai jenis gadget yang dilengkapi permainan dan aplikasi digital sehingga tidak akan ada sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan karena moral pendidiknya telah dirusak terlebih dahulu.
“Sebuah negara yang sumber daya manusianya telah dirusak, seperti apapun kekayaan sumber daya alamnya, tidak akan lagi mencapai kemakmuran. Maka Saya rasa, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan bahwa kemajuan teknologi yang terjadi di kota ini adalah sebuah teori konspirasi untuk menghancurkan negeri ini dimulai dari kota ini. Sebab tidak ada pendidikan karakter manusia yang berjalan beriringan dengan kemajuan teknologi ini.
“Kita boleh saja berbangga karena karena teknologi yang dimiliki kota ini jauh lebih hebat daripada kota lainnya di negeri ini, bahkan jauh lebih hebat dari kota-kota di negara tetangga. Kota ini sangat pintar. Hanya dengan mesin, kota ini dapat berjalan dengan begitu apik. Tapi, bagaimana dengan kualitas manusianya? Apakah manusia di kota ini sama pintarnya dengan kota ini sendiri? Apakah kita sama pintarnya dengan kota yang kita tinggali ini?
“Kita patut mempertimbangkan tentang adanya teori konspirasi yang bertujuan untuk menghancurkan kota ini sebagai awal kehancuran negeri ini. Kalaupun ternyata teori ini tidak pernah ada, toh tidak ada salahnya memperbaiki kembali kualitas sumber daya manusia yang telah bertahun-tahun rusak akibat kemajuan teknologi yang tidak terkontrol.”
Seluruh isi kelas berdiri dan bertepuk tangan secara meriah. Dosenku secara khusus datang ke depan kelas dan menyalamiku erat, lalu memberikan tiga kali tepukan di bahuku.
“Angkasa, kau sungguh-sungguh mengamati!” ujarnya sambil tersenyum.

Meskipun aku sendiri tidak tahu benar atau tidaknya teori konspirasi itu, aku berharap semoga belum terlambat untuk kami mengembalikan hal-hal positif yang hilang dari kota ini. Semoga masih sempat sebelum kota ini benar-benar menjadi titik mula kehancuran negeri yang kucintai ini.

Bandung
14 April 2015

0 comments:

Posting Komentar