Alunan Risau Melodi
16.20.00
“Melo, jangan lakukan itu!” bentak Mama.
Namun, Melo tak sedikitpun menyahut atau menghentikan
kegiatannya. Ia melemparkan biola ke halaman depan rumahnya.
“Melo, sudah Mama bilang kan …”
“Aku benci biola, Ma.” sergah Melo sebelum Mama selesai
bicara.
“Tapi, itu hadiah ulang tahun dari Oom Reza, Melo…” bujuk
Mama lagi.
“Siapa yang suruh Oom Reza memberikan aku biola? Aku kan nggak suka biola,
Ma.” bantah Melo.
“Tapi, Oom Reza nggak tahu kamu nggak suka biola, Melo.”
Mama memberi pengertian. “Pada waktu kejadian itu, dia sedang kuliah di New York . Dia nggak tahu
sama sekali kalau kamu nggak suka biola, karena…”
“Cukup, Ma!” lagi-lagi Melo memotong ucapan Mama. “Apapun
alasan Oom Reza, aku tetap nggak suka biola. Titik. Dan nggak ada yang bisa
menghapus kenyataan itu.” lanjutnya lagi dengan nada yang sudah mulai turun,
namun tetap tajam menusuk.
Melo menyiramkan minyak tanah yang diambilnya dari dapur ke
biola yang tadi dilemparnya. Mama mencengkeram tangan Melo. “Tapi, kamu nggak
harus membakarnya, ‘kan ?”
tanya Mama dengan air mata membasahi pipinya. Tanya yang berujung bujukan.
Melo menggeleng pelan dalam cengkeraman Mama. “Nggak, Ma.
Kalau aku nggak suka, berarti barang itu harus kumusnahkan. Aku benar-benar
nggak suka sama biola. Bukan hanya nggak suka memainkannya, tapi juga nggak
suka melihatnya, mendengarnya, apalagi memilikinya.” ujarnya dengan kata-kata
tegas, namun tak bisa dihindarkan adanya butiran yang mengumpul di sudut
matanya.
“Kamu kan
bisa memberikannya ke orang lain, Melo. Harga biola itu nggak murah. Dan kamu kan tahu, Mama nggak
bisa melihat kamu membakar biola. Segala jenis alat musik itu seperti menyatu
dalam tubuh Mama, Mel.” ujar Mama lagi. Masih menangis tentu saja.
“Terlambat, Ma. Aku udah terlanjur menyiramkan minyak ini. “
katanya sambil menunjuk botol minyak tanah yang kosong. “Dan, aku tinggal
menyalakan api dari sini.” Melo menunjuk korek api di genggamannya.
Mama terdiam. Menatap biola yang kondisinya tak memungkinkan
lagi itu. Wanita paruh baya itu lalu berlari ke dalam rumah. Meninggalkan anak
semata wayangnya sendirian.
Melo tahu, ia telah menghancurkan perasaan Mamanya. Sangat
tahu. Ia tahu musik adalah segalanya bagi Mamanya. Begitupun bagi Melo. Dulu.
Sebelum petaka itu terjadi.
“Melodi!” panggil Mama
pada anak kesayangannya itu.
“Iya, Ma.” sahut Melodi
dari dalam kamarnya.
Mama masuk ke kamar
Melodi dan melihat anaknya sedang mematuti diri di depan cermin. Mama
tersenyum. “Sudah siap menghadapi resital pertamamu, Melodi?” tanya Mama.
Melodi mengangguk.
“Aku siap, Ma.” sahutnya. “Biolaku mana, Ma?” tanyanya kemudian.
“Ada di depan. Ayo, Mel! Nanti telat, lagi.”
ajak Mama.
Melodi mengikuti
langkah Mamanya keluar dari kamar.
Di ruang santai, Melodi
menemukan biola kesayangannya. Duplikat Stradivarius. Tentu saja bukan yang
asli. Karena, yang asli sangatlah langka dan mahal. Walaupun hanya duplikat,
namun biola itu memiliki suara yang tak kalah indah. Apalagi, jika yang
memainkannya adalah calon maestro musik seperti Melodi.
Di bawanya biola itu
ke mobilnya, tempat Papa, Mama, dan adiknya yang masih bayi berada. Dan, ia-pun
naik. Menikmati perjalanannya ke aula tempat resitalnya. Sekaligus jalan awal
menuju puncak karirnya sebagai musikus.
Raysky.
Itulah nama aula besar
tempat resital pertama Melodi diadakan.
Mobil keluarga Melodi
tiba di gedung Raysky tepat waktu. Setelah parkir, Melodi sekeluarga masuk ke
dalam ruangan tamu. Melenggang dengan santai. Melodi menenteng tas biola yang
berisi biola kesayangannya dan menuju belakang panggung.
“Melodi!” panggil
Resi. Orang dari Event Organizer yang
disewa penyelenggara acara.
“Iya, Mbak?” sahut
Melo.
“Semua yang tampil
hari ini, harap berkumpul dahulu di pusat panggung. Ada acara perkenalan sebelum resital dimulai.”
Resi.
Melodi mengangguk. Ia
menyandarkan biolanya ke meja di sebelahnya. Dan meninggalkan ruangan tunggu di
belakang panggung.
Tema acara adalah Romantic
Recital. Jadi di sekitar panggung, sampai
ke belakang panggung, lampu dimatikan dan digantikan oleh cahaya ratusan lilin
yang diletakkan di berbagai tempat. Dan, salah satunya di sebelah biola Melodi.
Belakang panggung
kosong. Tentu saja karena seluruh pegawai EO berada di sekitar panggung
mengatur acara pembukaan. Karena mereka yakin ruang tunggu belakang panggung.
Itulah sebabnya tak ada
yang sadar ketika biola duplikat Stradivarius yang disandarkan Melodi terjatuh.
Dan ikut menjatuhkan lilin di sebelahnya. Serbet yang ada di meja terbakar.
Lilin belum mati dan
terus berguling di meja kayu itu. Terjatuh dan membakar karpet yang menyelimuti
seluruh ruangan itu.
“Nama saya Aluna
Melodia. Usia saya 12 tahun. Alat musik yang saya kuasai diantaranya piano, dan
biola. Namun, saya lebih menyukai biola. Karena…” ucapan Melodi terhenti ketika
cahaya merah yang panas muncul dari
belakangnya. Semua pengunjung berlarian kesana kemari. Mama terhuyung menuju ke
tempat Melodi yang ketakutan. Sedangkan Papa, memutuskan untuk keluar karena
kehilangan jejak Mama.
Mama sampai ke tempat
Melodi yang terdiam sendirian karena bingung dan takut. Tiang berapi di atasnya
akan jatuh di atasnya, tepat saat Mama menarik Melodi dari tempat itu. Dalam
gendongan Mama masih ada adik Melodi yang masih bayi.
Melodi masih bengong.
Bahkan setelah Mama menariknya.
“Ayo, Mel!” ajak Mama
sambil teriak. Mama terbatuk-batuk, begitupun Melodi. Dan adiknya, tak bersuara
sedikitpun.
Melodi dan Mama berlari
secepat mungkin keluar dari aula yang telah total terbakar tersebut.
Tak banyak yang Melodi
ingat lagi. Kecuali, adiknya meninggal karena keracunan karbon monoksida,
Mamanya harus terbaring di rumah sakit selama satu bulan, dan ia sendiri
menderita luka bakar. Yang lebih buruk, setelah penyelidikan polisi, diketahui
bahwa ternyata api berasal dari tempat yang sama dengan biola yang diletakkan
Melodi. Ia juga melihat ada lilin di sebelah biolanya. Dan, ia menyesal. Ia
menganggap biolanyalah yang menyebabkan ini terjadi.
Namun, bagaimanapun
semua telah terjadi. Dan, ia membenci biola yang membuat ia kehilangan adiknya,
dan membuat Mamanya menderita lahir batin. Sejak saat itu-pun Melo tak mau
dipanggil dengan nama ‘Melodi’ dan ia trauma pada resital. Bahkan parahnya, ia
membenci hampir segala sesuatu yang berkaitan dengan musik, terutama musik
klasik.
Melo tersadar dari lamunannya.
Ia tak sedikitpun ingin mengurungkan niat. Sungguh tak ada
sedikitpun yang membuatnya ingin mundur. Justru tiap adegan masa lalu itu makin
mendorong Melo untuk melakukan apa yang ia rencanakan.
Ia lemparkan batang korek api yang telah menyala ke benda
yang paling ia benci. Dan menatap kobaran api itu dengan airmata, sekaligus
senyuman.
-o0o-
“Mel.” panggil Randy.
Melo menengok. “Apa?’ tanyanya dengan nada datar.
“Nih” Randy menyodorkan sebuah amplop pada Melo.
Wajah Melo menyiratkan tanya. Diambilnya amplop itu dari
tangan Randy dan dibukanya perlahan. Matanya membelalak. “Undangan resital?”
baca Melo.
Randy mengangguk semangat. “Kata orang-orang, lo pernah
ngadain resital. Jadi…”
“Sorry, gue nggak bisa.” potong Melo.
“Tapi, Mel…” Randy masih berusaha.
“Kan
udah gue bilang kalau gue nggak bisa. Lo nggak dengar ya?” bentak Melo.
Randy cemberut. Dasar
nggak jelas. pikirnya dalam hati. Ia lalu melanjutkan perjalanannya membagi
undangan ke seluruh anak SMA 23 yang ada dalam daftarnya.
Dari jauh sesosok laki-laki menyaksikan kejadian itu sambil
menampilkan gurat-gurat kebingungan di wajahnya. Apa yang membuat Melo nggak mau menghadiri resital itu? tanyanya
dalam hati. Ia mulai tertarik pada gadis itu.
Karena ketertarikannya yang besar, ia mengejar Melo sampai
ke kelasnya.
“Melo!” teriaknya.
Melo yang tepat berada di depan pintu menoleh. “Alfa? Ada apa?” tanya Melo.
Alfa diam sebentar. Menyusun kata-kata yang pas. “Gue minta
alamat rumah lo dong!” akhirnya ia memutuskan untuk to the point.
Melo bingung. Apa yang membuat makhluk super dingin seperti
Alfa memanggilnya? Ya, Alfa adalah makhluk super dingin. Hampir tak punya
teman, berandalan, dan penuh misteri. Tak pernah berbicara dengan banyak orang.
Dan tak pernah berani tampil di depan umum.
Melo tak bergerak. Tak menyahuti permintaan Alfa. Tidak juga
menolaknya dengan cibiran, atau menghujaninya dengan pertanyaan. Alfa mengulang
permintaannya, “gue minta alamat rumah lo dong!”
Melo mulai bereaksi, “untuk?” tanya Melo.
“Untuk main ke rumah lo, lah.” jawab Alfa santai, seakan itu
adalah hal yang sangat wajar.
“Ngapain main ke rumah gue?” Melo melontarkan pertanyaan
lagi.
Alfa berpikir keras. Untuk apa ya? tanyanya pada diri
sendiri. Jujur, ia juga bingung, untuk apa ia meminta alamat rumah Melo.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menjawab “ hanya ingin berteman denganmu. Tidak
boleh ya?”
Melo menghela nafas. Alasan standar. Terlalu standar dan
malah jadi mencurigakan. Tapi, Melo tak menolak. Meskipun Image Alfa di mata
public kurang bagus, ia bukan tipe orang yang melihat teman dari tampilan
luarnya. “Baiklah.” ujar Melo akhirnya. Ia masuk ke kelasnya dan menuliskan
alamatnya pada secarik kertas. Sementara Alfa, menunggu dengan patuh di luar
kelas.
“Nih, Fa. Sekalian nomor HP gue. Kalau lo mau ke rumah gue,
kasih kabar dulu ya.” ujar Melo sambil menyerahkan kertas bertuliskan nama dan
nomor HPnya.
Alfa tak berucap sepatah katapun. Hanya menngangguk singkat
dan berlalu meninggalkan Melo.
Melo juga tak terlalu memedulikannya. Ia yakin Alfa hanya
bercanda atau bahkan hanya ingin mempermainkannya. Cowok seberandal dan tak
jelas seperti Alfa tak mungkin bersungguh-sungguh ingin berteman dengannya.
Sangat mustahil.Melo pun kembali ke kelas dengan wajah biasa.
-o0o-
Ini mungkin adalah hal yang paling luar biasa sepanjang abad
21.
Seorang Alfa, datang ke rumah Melo. Dan, yang paling membuat
Melo kesal adalah karena Alfa tak memberitahu Melo bahwa ia akan datang.
“Kenapa nggak kasih tahu dulu kalau lo mau datang?” Melo
mengomel dan menginterogasi Alfa.
Alfa baru hendak menjawab ketika Mama Melo bertanya, “Siapa,
Mel? Temanmu ya? Suruh masuk dong!” Perintah Mama. Melo menarik nafas panjang.
“Oke, Fa. Kalau Mama yang suruh lo masuk, silahkan masuk!” Melo mempersilahkan
dengan nada seikhlas mungkin.
“Makasih.” sahut Alfa datar. Sampai saat ini Melo masih
bingung, apa yang menarik cowok sedingin dan semenyebalkan Alfa berada di
rumahnya saat ini.
“Mau minum apa, Fa?” tanya Melo setelah Alfa duduk.
“Terserah lo.” jawab Alfa masih dengan nada datar. Dasar
orang menyebalkan. gerutu Melo dalam hati.
Melo berjalan pelan ke dapur. Mengambilkan minum untuk Alfa.
Tepat saat itu Mama masuk ke ruang tamu. Dari pintu dapur
yang terbuat dari kaca, Melo bisa melihat ekspresi Alfa berubah menjadi lebih
ramah. Bahkan hanya dari raut wajahnya, Melo tahu kalau Alfa mencair. Sifat
dinginnya yang membeku, perlahan menjadi sikap yang penuh sopan santun.
Melo mengalihkan pandangan dari Mama dan Alfa. Melihat air
dalam dispenser habis. Arrgghhh!! Gerutunya dalam hati. Jadi, daripada menunggu
memasak air yang membutuhkan waktu lebih lama, Melo berlari ke kamar, mengambil
kunci motor dan pergi lewat pintu belakang ke tempat pengiaian galon. Mumpung
Mama masih menahan Alfa, pikirnya.
Sementara itu, Mama telah berbicara sangat banyak pada Alfa.
Bercerita banyak hal mengenai masa kecil Melo. Berharap agar anak laki-laki pertama
yang berani dibawa Melo ke rumah itu dapat menghilangkan trauma Melo terhadap
hal bernama musik.
Hampir satu jam kemudian, Melo tiba di ruang tamu bersama
tiga gelas besar sirup rasa jeruknya. Mama dan Alfa yang masih asik bercerita
sontak menoleh.
“Makasih, Mel.” ujar Alfa yang entah mengapa suaranya jadi
melembut.
“Iya sama-sama, Fa.” jawab Melo dan mengembangkan senyum
termanisnya.
-o0o-
Melo tak tahu kenapa. Yang jelas setelah kunjungan Alfa ke
rumahnya, ia dan Alfa jadi semakin dekat. Entah apa yang menarik dari kunjungan
tiga bulan lalu itu.
Alfa memang tak pernah berubah dengan Alfa yang dulu.
Berandalan, dingin, dan misterius. Namun sikapnya pada Melo tidaklah seperti
itu.
Kerap kali mereka jalan-jalan bersama atau Alfa mengunjungi
rumah Melo. Sedangkan Melo sendiri, tentu saja tak pernah mengunjungi rumah
Alfa. Selain karena Alfa tak pernah mengajaknya, ia juga tak mau hubungannya
dengan Alfa menjadi renggang.
Sikap bencinya pada hampir semua yang berhubungan dengan
musik, membuat Melo jarang memiliki teman dekat. Saking bencinya ia pada musik,
ia bahkan rela mendapatkan nilai seni musik di rapornya merah hanya demi
memenangkan kebenciannya. Temannya hanya sekadar kenal, tak ada yang mendalam
dan layak disebut ‘sahabat’. Alfa adalah orang pertama yang bagi Melo layak
disebut sebagai ‘sahabat’.
Sampai sekarang, berjuta tanya masih bermunculan di otak
Melo. Apa yang membuat Alfa mau menjadi temannya? Bahkan, Alfa yang tiba-tiba
memanggilnya, meminta alamatnya, dan akhirnya mereka semakin dekat. Benar-benar
aneh menurut Melo.
Apa ada sesuatu dari dirinya yang ingin Alfa manfaatkan.
Tapi apa? Dia bukan juara kelas. Jawara olahraga. Ahli matematika. Atau biang
fisika. Dia hanya seorang gadis biasa berotak pas-pasan yang sangat membenci
musik.
Tepat saat itu, Alfa menepuk bahu Melo.
Melo menoleh. Ia sudah sangat hafal, jika ada orang yang
seenaknya menyolek bahunya tanpa berkata sepatah katapun, itu pasti adalah
Alfa. “Kenapa, Fa?” tanya Melo.
“Ntar pulang sekolah ikut gue yuk!” ajak Alfa.
Melo mengerutkan kening. Ikut Alfa? Kemana? Kenapa dia nggak
bilang-bilang dulu sebelumnya? Jadi, Melo memutuskan untuk bertanya, “kemana?”
“Kejutan.” jawab Alfa singkat.
“Tapi, gue belum izin Mama.” bantah Melo.
“Gue udah bilangin ke Tante, kalau gue mau kasih lo kejutan.”
jawab Alfa.
“Bener?” Melo meyakinkan.
Alfa mengangguk dan berhasil membuat Melo mengatakan, “oke!
Pulang sekolah ya.” setelah itu mereka berpisah menuju kelas masing-masing
karena bel telah berbunyi.
-o0o-
“Masih jauh nggak, Fa?” tanya Melo. Saat ini matanya
ditutup, karena Alfa bilang ini kejutan.
“Nggak kok. Sebentar lagi sampai.” jawab Alfa.
Melo mendecak kesal. Sudah sejak setengah jam yang lalu
pertanyaan Melo yang sama dijawab dengan jawaban yang sama oleh Alfa.
Tak lama kemudian, Alfa berhenti. Melo bersyukur dalam hati.
Akhirnya berhenti juga. Ia sudah sangat lelah berjalan. Dan lebih tepat lagi,
tak sabar menunggu.
Perlahan, Alfa membuka ikatan yang menutupi mata Melo.
Setelah ikatan benar-benar terbuka, Melo mengerjap. Menatap
sekeliling ruangan itu. Itu adalah ruangan semacam studio. Dengan dinding yang
kelihatannya kedap suara. Ruangan itu hanya berisi speaker, grand piano, dan…
Tunggu… Alat musik?
Melo yang sadar langsung berbalik dan hendak berlari, namun
sebuah tangan menahan dan mencengkeram erat lengannya. “Sampai kapan?” ujar
Alfa.
“Ini dimana?” Melo malah balik bertanya.
“Ini rumahku. Dan, kau belum menjawab pertanyaanku. Sampai
kapan kau terus menjebak dirimu dalam kebencian tak beralasan dan tak masuk
akal seperti ini, Melo?” jawab Alfa sengit.
“Apa maksudmu? Kau tak mengerti!” bentak Melo. “Aku punya
alasan yang kuat mengapa aku membenci musik, terlebih…”
“Biola.” Alfa memotong ucapan Melo. “Kau benci biola, karena
kau menganggap benda mati itu telah membunuh adikmu, membuat ibumu harus
terbaring di rumah sakit, dan kau harus mengalami luka bakar sehingga tak dapat
menghadiri pemakaman adikmu.”
Alfa memberi jeda sebentar. Berharap Melo akan berkomentar.
Namun, apa yang diharapkannya tak juga terlontar. Jadi, ia memutuskan untuk melanjutkan
ucapannya. “Kau heran mengapa aku tahu? Ibumu yang menceritakannya. Dan, bagiku
itu hanya alasan klise.” cibir Alfa. Ia lalu melanjutkan, “kau hanya tak
sanggup menyalahkan dirimu sendiri. Alih-alih menyalahkan diri, kau malah
menyalahkan biola, benda mati yang tak salah apapun.”
“Kau tak mengerti, Alfa.” ujar Melo membela diri. Air mata
telah tertumpuk di sudut matanya. “Kau tak pernah merasakannya.”
“Kata siapa?” bantah Alfa. “Aku pernah merasakan yang lebih
darimu. Kedua orang tuaku tewas hanya karena menyaksikan aku yang mengadakan
resital di Belanda. Tewas ketika perjalanan menuju gedung karena mereka
bersikeras untuk menyaksikan debut pertamaku sebagai pianis termuda di luar
negeri, 7 tahun yang lalu.” Alfa berhenti sejenak. “Bayangkan, Melo. Adakah
yang lebih buruk bagi anak usia sepuluh tahun dari kehilangan kedua orangtua
dalam waktu bersamaan, dan berada di negeri orang lain. Bayangkan itu, Melo.
Dan kau masih berkata bahwa aku tak mengerti? Dimana hati nuranimu?”
Melo menangis dalam diam.
“Namun, aku tak pernah menyalahkan pianoku. Aku yang bahkan
waktu itu baru sepuluh tahun, tak berpikir sepicik itu. Aku tak membenci musin,
Melo. Justru karena musiklah aku bangkit. Karena musik adalah hal yang aku
yakini dapat mengusir sedihku. Sesuatu yang aku sukai, yang aku cintai.
Duniaku. Jika tanpa musik, mungkin saat ini aku telah menyusul kedua orang
tuaku angkat kaki dari dunia ini. Musik itu tak salah, malah mereka selalu
mengerti. Kalau waktu itu perantara meninggalnya adikmu adalah biolamu, kau
harus yakin bahwa itu takdir Tuhan. Bahkan, kalaupun malam itu kau tak
mengadakan resital, mungkin adikmu tetap akan mengikuti kehendak Tuhan. Mati
dengan jalan lain.”
Alfa menutup kata-katanya yang membuat Melo jadi terisak. Ia
lalu melepaskan cengkeramannya dari Melo dan menghampiri piano yang letaknya
tak cukup jauh.
Melo tak bergerak. Ia tak berniat pergi. Ia tahu apa yang
dikatakan Alfa benar. Kebenciannya tak beralasan. Hanya alasan klise. Namun, ia
tak sepenuhnya yakin. Rasa benci itu masih ada dalam dirinya. Masih bersarang
dengan erat.
Alfa duduk di kursi piano dan mulai bicara, “ini dunia kita,
Mlo. Percayalah, bahwa musik dapat mengangkat seluruh rasa gelisah dan
kebencian yang ada dalam dirimu. Karena, ini duniamu. Sebelum itu,
kupersembahkan Menuet, Kabalevsky…”
Piano Alfa mulai berdenting. Mengalunkan lagu klasik itu.
Melo tahu lagu itu. Namun, jujur saja notnya sudah dilupakannya, karena
kebenciannya yang mendalam. Perlahan, seiring setiap denting piano Alfa, dia
menghentikan tangisnya. Dan, saat Alfa menyelesaikan lagunya, Melo tampak tak
memiliki alasan lagi untuk menangis. Namun rasa benci itu masih ada.
Kegelisahan itu tetap ada.
Alfa berdiri dari kursinya. Berjalan menuju sebuah meja dan
mengambil sesuatu dari sana .
Lalu membawanya ke hadapan Melo. Sebuah biola. Ya. Biola baru yang masih sangat
mulus. Mata Melo membelalak. Meminta penjelasan. “Mainkan sendiri duniamu,
maestro.” ujar Alfa. “Agar kau bisa merasakan kembalinya duniamu ke dalam
hatimu dan mengangkat kebencian tak beralasan itu.”
Butuh waktu selama lebih dari satu menit untuk Melo
mengambil biola dari tangan Alfa. Setelah biola itu berada di tangan Melo, Alfa
mundur beberapa langkah.
Melo masih diam. Namun, beberapa saat kemudian mulai
memainkan lagu yang bahkan judulnya-pun ia lupa. Namun, entah mengapa, not-not
lagu ini terbayang ketika ia memejamkan mata. Ia baru ingat bahwa ini adalah
karya Ludwig Van Beethoven, Moonlight Sonata. Lagu yang mencerminkan kesepian
karena kehilangan.
Setiap gesekan biola itu menyatu dalam diri Melo. Bagai ikut
mengalir dalam darahnya. Kebenciannya perlahan menyurut sampai habis sama
sekali. Ia tak pernah merasakan setenang ini sebelumnya. Kembali terpampang
dalam pikirannya detik-detik ketika ia membakar biola pemberian Oom Reza, yang
waktu itu tak tahu bahwa ia benci musik, terlebih biola, sejak peristiwa
resital itu.
Andai saja ia memainkannya saat itu. Andai saja ia tak
membakarnya, tapi memainkannya, mungkin ia akan lebih cepat sadar akan
kekeliruannya. Bahwa semua adalah takdir Tuhan. Namun, ia segera menepis
penyesalannya. Kalau ia lebih cepat sadar, iaa takkan bisa akrab dengan Alfa,
dan mengalami saat indah seperti sekarang ini. Alfa, sosok yang telah
mengembalikan dunianya ke dalam hatinya.
Sementara Alfa menyaksikan Melo memainkan biola sambil ikut
menikmati setiap alunan risau yang dimainkan Melodi.
-o0o-
Setahun kemudian…
Riuh tepuk tangan memenuhi gedung Baretta Indonesia tempat diadakannya resital tunggal dua
maestro Indonesia
dalam dua alat musik. Piano dan biola. Tentu saja Alfa dan Melo. Setelah
kejadian di rumah Alfa setahun lalu, Alfa memutuskan untuk membuka diri,
sedangkan Melo memutuskan untuk kembali menyentuh dunianya.
Dan, jadilah mereka berdua disini. Selesai memainkan Two
Waltzes karya Franz Schubert secara kolaborasi yang membuat beberapa tamu
mencari lantai dansa untuk ber-waltz ria. Penampilan itu menutup resital mereka
malam ini. Dan lusa, rencananya mereka akan diberangkatkan ke Jerman untuk
bergabung mengadakan resital akbar bersama sepuluh Negara lainnya.
Melo dan Alfa menuju belakang panggung. Setelah lulus SMA,
Melo dan Alfa sepakat untuk mengambil kuliah jurusan musik di beberapa
universitas yang terkenal dengan musiknya di seluruh dunia. Iseng-iseng dan
menghabiskan waktu, mereka berbincang.
“Iya deh yang udah jadi maestro Indonesia.” sindir Alfa.
“Hah? Lo juga kali, Fa. Apa maksudnya nyindir kayak gitu?”
ujar Melo.
“Wah… Aku juga ya? Berarti kita bisa jadi pasangan maestro
paling hebat di manapun kita berada dong, Melo.” goda Alfa.
Aku? Dahi Melo mengernyit. Tapi, ditanggapi juga perkataan
Alfa. “Panggil aku Melodi mulai sekarang, Alfa.” Melo, maksudnya Melodi
mengingatkan. Ia memang sudah memutuskan untuk memakai nama kecil kebanggaannya
itu lagi. “Dan, kolaborasi kita di atas panggung memang menurutku hebat.”
“Bukan itu Melodi, sayang. Maksudnya pasangan di belakang
panggung.” ujar Alfa, kali ini mengembangkan senyum jahil.
Melodi yang mengerti arah pembicaraan Alfa, langsung
mencubit lengan laki-laki itu. Wajahnya memerah. Sedangakan Alfa memandang
Melodi dengan mata jenaka dan senyum jahilnya. Benar-benar pasangan maestro
yang hebat, unik, dan… aneh.
Jakarta
1 September 2011
0 Comments