Selasa, 14 Juni 2016

Alunan Risau Melodi

“Melo, jangan lakukan itu!” bentak Mama.
Namun, Melo tak sedikitpun menyahut atau menghentikan kegiatannya. Ia melemparkan biola ke halaman depan rumahnya.
“Melo, sudah Mama bilang kan…”
“Aku benci biola, Ma.” sergah Melo sebelum Mama selesai bicara.
“Tapi, itu hadiah ulang tahun dari Oom Reza, Melo…” bujuk Mama lagi.
“Siapa yang suruh Oom Reza memberikan aku biola? Aku kan nggak suka biola, Ma.” bantah Melo.
“Tapi, Oom Reza nggak tahu kamu nggak suka biola, Melo.” Mama memberi pengertian. “Pada waktu kejadian itu, dia sedang kuliah di New York. Dia nggak tahu sama sekali kalau kamu nggak suka biola, karena…”
“Cukup, Ma!” lagi-lagi Melo memotong ucapan Mama. “Apapun alasan Oom Reza, aku tetap nggak suka biola. Titik. Dan nggak ada yang bisa menghapus kenyataan itu.” lanjutnya lagi dengan nada yang sudah mulai turun, namun tetap tajam menusuk.
Melo menyiramkan minyak tanah yang diambilnya dari dapur ke biola yang tadi dilemparnya. Mama mencengkeram tangan Melo. “Tapi, kamu nggak harus membakarnya, ‘kan?” tanya Mama dengan air mata membasahi pipinya. Tanya yang berujung bujukan.
Melo menggeleng pelan dalam cengkeraman Mama. “Nggak, Ma. Kalau aku nggak suka, berarti barang itu harus kumusnahkan. Aku benar-benar nggak suka sama biola. Bukan hanya nggak suka memainkannya, tapi juga nggak suka melihatnya, mendengarnya, apalagi memilikinya.” ujarnya dengan kata-kata tegas, namun tak bisa dihindarkan adanya butiran yang mengumpul di sudut matanya.
“Kamu kan bisa memberikannya ke orang lain, Melo. Harga biola itu nggak murah. Dan kamu kan tahu, Mama nggak bisa melihat kamu membakar biola. Segala jenis alat musik itu seperti menyatu dalam tubuh Mama, Mel.” ujar Mama lagi. Masih menangis tentu saja.
“Terlambat, Ma. Aku udah terlanjur menyiramkan minyak ini. “ katanya sambil menunjuk botol minyak tanah yang kosong. “Dan, aku tinggal menyalakan api dari sini.” Melo menunjuk korek api di genggamannya.
Mama terdiam. Menatap biola yang kondisinya tak memungkinkan lagi itu. Wanita paruh baya itu lalu berlari ke dalam rumah. Meninggalkan anak semata wayangnya sendirian.
Melo tahu, ia telah menghancurkan perasaan Mamanya. Sangat tahu. Ia tahu musik adalah segalanya bagi Mamanya. Begitupun bagi Melo. Dulu. Sebelum petaka itu terjadi.

Lima tahun yang lalu…
“Melodi!” panggil Mama pada anak kesayangannya itu.
“Iya, Ma.” sahut Melodi dari dalam kamarnya.
Mama masuk ke kamar Melodi dan melihat anaknya sedang mematuti diri di depan cermin. Mama tersenyum. “Sudah siap menghadapi resital pertamamu, Melodi?” tanya Mama.
Melodi mengangguk. “Aku siap, Ma.” sahutnya. “Biolaku mana, Ma?” tanyanya kemudian.
Ada di depan. Ayo, Mel! Nanti telat, lagi.” ajak Mama.
Melodi mengikuti langkah Mamanya keluar dari kamar.
Di ruang santai, Melodi menemukan biola kesayangannya. Duplikat Stradivarius. Tentu saja bukan yang asli. Karena, yang asli sangatlah langka dan mahal. Walaupun hanya duplikat, namun biola itu memiliki suara yang tak kalah indah. Apalagi, jika yang memainkannya adalah calon maestro musik seperti Melodi.
Di bawanya biola itu ke mobilnya, tempat Papa, Mama, dan adiknya yang masih bayi berada. Dan, ia-pun naik. Menikmati perjalanannya ke aula tempat resitalnya. Sekaligus jalan awal menuju puncak karirnya sebagai musikus.
Raysky.
Itulah nama aula besar tempat resital pertama Melodi diadakan.
Mobil keluarga Melodi tiba di gedung Raysky tepat waktu. Setelah parkir, Melodi sekeluarga masuk ke dalam ruangan tamu. Melenggang dengan santai. Melodi menenteng tas biola yang berisi biola kesayangannya dan menuju belakang panggung.
“Melodi!” panggil Resi. Orang dari Event Organizer yang disewa penyelenggara acara.
“Iya, Mbak?” sahut Melo.
“Semua yang tampil hari ini, harap berkumpul dahulu di pusat panggung. Ada acara perkenalan sebelum resital dimulai.” Resi.
Melodi mengangguk. Ia menyandarkan biolanya ke meja di sebelahnya. Dan meninggalkan ruangan tunggu di belakang panggung.
Tema acara adalah Romantic Recital. Jadi di sekitar panggung, sampai ke belakang panggung, lampu dimatikan dan digantikan oleh cahaya ratusan lilin yang diletakkan di berbagai tempat. Dan, salah satunya di sebelah biola Melodi.
Belakang panggung kosong. Tentu saja karena seluruh pegawai EO berada di sekitar panggung mengatur acara pembukaan. Karena mereka yakin ruang tunggu belakang panggung.
Itulah sebabnya tak ada yang sadar ketika biola duplikat Stradivarius yang disandarkan Melodi terjatuh. Dan ikut menjatuhkan lilin di sebelahnya. Serbet yang ada di meja terbakar.
Lilin belum mati dan terus berguling di meja kayu itu. Terjatuh dan membakar karpet yang menyelimuti seluruh ruangan itu.
“Nama saya Aluna Melodia. Usia saya 12 tahun. Alat musik yang saya kuasai diantaranya piano, dan biola. Namun, saya lebih menyukai biola. Karena…” ucapan Melodi terhenti ketika cahaya merah  yang panas muncul dari belakangnya. Semua pengunjung berlarian kesana kemari. Mama terhuyung menuju ke tempat Melodi yang ketakutan. Sedangkan Papa, memutuskan untuk keluar karena kehilangan jejak Mama.
Mama sampai ke tempat Melodi yang terdiam sendirian karena bingung dan takut. Tiang berapi di atasnya akan jatuh di atasnya, tepat saat Mama menarik Melodi dari tempat itu. Dalam gendongan Mama masih ada adik Melodi yang masih bayi.
Melodi masih bengong. Bahkan setelah Mama menariknya.
“Ayo, Mel!” ajak Mama sambil teriak. Mama terbatuk-batuk, begitupun Melodi. Dan adiknya, tak bersuara sedikitpun.
Melodi dan Mama berlari secepat mungkin keluar dari aula yang telah total terbakar tersebut.
Tak banyak yang Melodi ingat lagi. Kecuali, adiknya meninggal karena keracunan karbon monoksida, Mamanya harus terbaring di rumah sakit selama satu bulan, dan ia sendiri menderita luka bakar. Yang lebih buruk, setelah penyelidikan polisi, diketahui bahwa ternyata api berasal dari tempat yang sama dengan biola yang diletakkan Melodi. Ia juga melihat ada lilin di sebelah biolanya. Dan, ia menyesal. Ia menganggap biolanyalah yang menyebabkan ini terjadi.
Namun, bagaimanapun semua telah terjadi. Dan, ia membenci biola yang membuat ia kehilangan adiknya, dan membuat Mamanya menderita lahir batin. Sejak saat itu-pun Melo tak mau dipanggil dengan nama ‘Melodi’ dan ia trauma pada resital. Bahkan parahnya, ia membenci hampir segala sesuatu yang berkaitan dengan musik, terutama musik klasik.

Melo tersadar dari lamunannya.
Ia tak sedikitpun ingin mengurungkan niat. Sungguh tak ada sedikitpun yang membuatnya ingin mundur. Justru tiap adegan masa lalu itu makin mendorong Melo untuk melakukan apa yang ia rencanakan.
Ia lemparkan batang korek api yang telah menyala ke benda yang paling ia benci. Dan menatap kobaran api itu dengan airmata, sekaligus senyuman.

-o0o-

“Mel.” panggil Randy.
Melo menengok. “Apa?’ tanyanya dengan nada datar.
“Nih” Randy menyodorkan sebuah amplop pada Melo.
Wajah Melo menyiratkan tanya. Diambilnya amplop itu dari tangan Randy dan dibukanya perlahan. Matanya membelalak. “Undangan resital?” baca Melo.
Randy mengangguk semangat. “Kata orang-orang, lo pernah ngadain resital. Jadi…”
“Sorry, gue nggak bisa.” potong Melo.
“Tapi, Mel…” Randy masih berusaha.
Kan udah gue bilang kalau gue nggak bisa. Lo nggak dengar ya?” bentak Melo.
Randy cemberut. Dasar nggak jelas. pikirnya dalam hati. Ia lalu melanjutkan perjalanannya membagi undangan ke seluruh anak SMA 23 yang ada dalam daftarnya.
Dari jauh sesosok laki-laki menyaksikan kejadian itu sambil menampilkan gurat-gurat kebingungan di wajahnya. Apa yang membuat Melo nggak mau menghadiri resital itu? tanyanya dalam hati. Ia mulai tertarik pada gadis itu.
Karena ketertarikannya yang besar, ia mengejar Melo sampai ke kelasnya.
“Melo!” teriaknya.
Melo yang tepat berada di depan pintu menoleh. “Alfa? Ada apa?” tanya Melo.
Alfa diam sebentar. Menyusun kata-kata yang pas. “Gue minta alamat rumah lo dong!” akhirnya ia memutuskan untuk to the point.
Melo bingung. Apa yang membuat makhluk super dingin seperti Alfa memanggilnya? Ya, Alfa adalah makhluk super dingin. Hampir tak punya teman, berandalan, dan penuh misteri. Tak pernah berbicara dengan banyak orang. Dan tak pernah berani tampil di depan umum.
Melo tak bergerak. Tak menyahuti permintaan Alfa. Tidak juga menolaknya dengan cibiran, atau menghujaninya dengan pertanyaan. Alfa mengulang permintaannya, “gue minta alamat rumah lo dong!”
Melo mulai bereaksi, “untuk?” tanya Melo.
“Untuk main ke rumah lo, lah.” jawab Alfa santai, seakan itu adalah hal yang sangat wajar.
“Ngapain main ke rumah gue?” Melo melontarkan pertanyaan lagi.
Alfa berpikir keras. Untuk apa ya? tanyanya pada diri sendiri. Jujur, ia juga bingung, untuk apa ia meminta alamat rumah Melo. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjawab “ hanya ingin berteman denganmu. Tidak boleh ya?”
Melo menghela nafas. Alasan standar. Terlalu standar dan malah jadi mencurigakan. Tapi, Melo tak menolak. Meskipun Image Alfa di mata public kurang bagus, ia bukan tipe orang yang melihat teman dari tampilan luarnya. “Baiklah.” ujar Melo akhirnya. Ia masuk ke kelasnya dan menuliskan alamatnya pada secarik kertas. Sementara Alfa, menunggu dengan patuh di luar kelas.
“Nih, Fa. Sekalian nomor HP gue. Kalau lo mau ke rumah gue, kasih kabar dulu ya.” ujar Melo sambil menyerahkan kertas bertuliskan nama dan nomor HPnya.
Alfa tak berucap sepatah katapun. Hanya menngangguk singkat dan berlalu meninggalkan Melo.
Melo juga tak terlalu memedulikannya. Ia yakin Alfa hanya bercanda atau bahkan hanya ingin mempermainkannya. Cowok seberandal dan tak jelas seperti Alfa tak mungkin bersungguh-sungguh ingin berteman dengannya. Sangat mustahil.Melo pun kembali ke kelas dengan wajah biasa.

-o0o-

Ini mungkin adalah hal yang paling luar biasa sepanjang abad 21.
Seorang Alfa, datang ke rumah Melo. Dan, yang paling membuat Melo kesal adalah karena Alfa tak memberitahu Melo bahwa ia akan datang.
“Kenapa nggak kasih tahu dulu kalau lo mau datang?” Melo mengomel dan menginterogasi Alfa.
Alfa baru hendak menjawab ketika Mama Melo bertanya, “Siapa, Mel? Temanmu ya? Suruh masuk dong!” Perintah Mama. Melo menarik nafas panjang. “Oke, Fa. Kalau Mama yang suruh lo masuk, silahkan masuk!” Melo mempersilahkan dengan nada seikhlas mungkin.
“Makasih.” sahut Alfa datar. Sampai saat ini Melo masih bingung, apa yang menarik cowok sedingin dan semenyebalkan Alfa berada di rumahnya saat ini.
“Mau minum apa, Fa?” tanya Melo setelah Alfa duduk.
“Terserah lo.” jawab Alfa masih dengan nada datar. Dasar orang menyebalkan. gerutu Melo dalam hati.
Melo berjalan pelan ke dapur. Mengambilkan minum untuk Alfa.
Tepat saat itu Mama masuk ke ruang tamu. Dari pintu dapur yang terbuat dari kaca, Melo bisa melihat ekspresi Alfa berubah menjadi lebih ramah. Bahkan hanya dari raut wajahnya, Melo tahu kalau Alfa mencair. Sifat dinginnya yang membeku, perlahan menjadi sikap yang penuh sopan santun.
Melo mengalihkan pandangan dari Mama dan Alfa. Melihat air dalam dispenser habis. Arrgghhh!! Gerutunya dalam hati. Jadi, daripada menunggu memasak air yang membutuhkan waktu lebih lama, Melo berlari ke kamar, mengambil kunci motor dan pergi lewat pintu belakang ke tempat pengiaian galon. Mumpung Mama masih menahan Alfa, pikirnya.
Sementara itu, Mama telah berbicara sangat banyak pada Alfa. Bercerita banyak hal mengenai masa kecil Melo. Berharap agar anak laki-laki pertama yang berani dibawa Melo ke rumah itu dapat menghilangkan trauma Melo terhadap hal bernama musik.
Hampir satu jam kemudian, Melo tiba di ruang tamu bersama tiga gelas besar sirup rasa jeruknya. Mama dan Alfa yang masih asik bercerita sontak menoleh.
“Makasih, Mel.” ujar Alfa yang entah mengapa suaranya jadi melembut.
“Iya sama-sama, Fa.” jawab Melo dan mengembangkan senyum termanisnya.

-o0o-

Melo tak tahu kenapa. Yang jelas setelah kunjungan Alfa ke rumahnya, ia dan Alfa jadi semakin dekat. Entah apa yang menarik dari kunjungan tiga bulan lalu itu.
Alfa memang tak pernah berubah dengan Alfa yang dulu. Berandalan, dingin, dan misterius. Namun sikapnya pada Melo tidaklah seperti itu.
Kerap kali mereka jalan-jalan bersama atau Alfa mengunjungi rumah Melo. Sedangkan Melo sendiri, tentu saja tak pernah mengunjungi rumah Alfa. Selain karena Alfa tak pernah mengajaknya, ia juga tak mau hubungannya dengan Alfa menjadi renggang.
Sikap bencinya pada hampir semua yang berhubungan dengan musik, membuat Melo jarang memiliki teman dekat. Saking bencinya ia pada musik, ia bahkan rela mendapatkan nilai seni musik di rapornya merah hanya demi memenangkan kebenciannya. Temannya hanya sekadar kenal, tak ada yang mendalam dan layak disebut ‘sahabat’. Alfa adalah orang pertama yang bagi Melo layak disebut sebagai ‘sahabat’.
Sampai sekarang, berjuta tanya masih bermunculan di otak Melo. Apa yang membuat Alfa mau menjadi temannya? Bahkan, Alfa yang tiba-tiba memanggilnya, meminta alamatnya, dan akhirnya mereka semakin dekat. Benar-benar aneh menurut Melo.
Apa ada sesuatu dari dirinya yang ingin Alfa manfaatkan. Tapi apa? Dia bukan juara kelas. Jawara olahraga. Ahli matematika. Atau biang fisika. Dia hanya seorang gadis biasa berotak pas-pasan yang sangat membenci musik.
Tepat saat itu, Alfa menepuk bahu Melo.
Melo menoleh. Ia sudah sangat hafal, jika ada orang yang seenaknya menyolek bahunya tanpa berkata sepatah katapun, itu pasti adalah Alfa. “Kenapa, Fa?” tanya Melo.
“Ntar pulang sekolah ikut gue yuk!” ajak Alfa.
Melo mengerutkan kening. Ikut Alfa? Kemana? Kenapa dia nggak bilang-bilang dulu sebelumnya? Jadi, Melo memutuskan untuk bertanya, “kemana?”
“Kejutan.” jawab Alfa singkat.
“Tapi, gue belum izin Mama.” bantah Melo.
“Gue udah bilangin ke Tante, kalau gue mau kasih lo kejutan.” jawab Alfa.
“Bener?” Melo meyakinkan.
Alfa mengangguk dan berhasil membuat Melo mengatakan, “oke! Pulang sekolah ya.” setelah itu mereka berpisah menuju kelas masing-masing karena bel telah berbunyi.

-o0o-

“Masih jauh nggak, Fa?” tanya Melo. Saat ini matanya ditutup, karena Alfa bilang ini kejutan.
“Nggak kok. Sebentar lagi sampai.” jawab Alfa.
Melo mendecak kesal. Sudah sejak setengah jam yang lalu pertanyaan Melo yang sama dijawab dengan jawaban yang sama oleh Alfa.
Tak lama kemudian, Alfa berhenti. Melo bersyukur dalam hati. Akhirnya berhenti juga. Ia sudah sangat lelah berjalan. Dan lebih tepat lagi, tak sabar menunggu.
Perlahan, Alfa membuka ikatan yang menutupi mata Melo.
Setelah ikatan benar-benar terbuka, Melo mengerjap. Menatap sekeliling ruangan itu. Itu adalah ruangan semacam studio. Dengan dinding yang kelihatannya kedap suara. Ruangan itu hanya berisi speaker, grand piano, dan…
Tunggu… Alat musik?
Melo yang sadar langsung berbalik dan hendak berlari, namun sebuah tangan menahan dan mencengkeram erat lengannya. “Sampai kapan?” ujar Alfa.
“Ini dimana?” Melo malah balik bertanya.
“Ini rumahku. Dan, kau belum menjawab pertanyaanku. Sampai kapan kau terus menjebak dirimu dalam kebencian tak beralasan dan tak masuk akal seperti ini, Melo?” jawab Alfa sengit.
“Apa maksudmu? Kau tak mengerti!” bentak Melo. “Aku punya alasan yang kuat mengapa aku membenci musik, terlebih…”
“Biola.” Alfa memotong ucapan Melo. “Kau benci biola, karena kau menganggap benda mati itu telah membunuh adikmu, membuat ibumu harus terbaring di rumah sakit, dan kau harus mengalami luka bakar sehingga tak dapat menghadiri pemakaman adikmu.”
Alfa memberi jeda sebentar. Berharap Melo akan berkomentar. Namun, apa yang diharapkannya tak juga terlontar. Jadi, ia memutuskan untuk melanjutkan ucapannya. “Kau heran mengapa aku tahu? Ibumu yang menceritakannya. Dan, bagiku itu hanya alasan klise.” cibir Alfa. Ia lalu melanjutkan, “kau hanya tak sanggup menyalahkan dirimu sendiri. Alih-alih menyalahkan diri, kau malah menyalahkan biola, benda mati yang tak salah apapun.”
“Kau tak mengerti, Alfa.” ujar Melo membela diri. Air mata telah tertumpuk di sudut matanya. “Kau tak pernah merasakannya.”
“Kata siapa?” bantah Alfa. “Aku pernah merasakan yang lebih darimu. Kedua orang tuaku tewas hanya karena menyaksikan aku yang mengadakan resital di Belanda. Tewas ketika perjalanan menuju gedung karena mereka bersikeras untuk menyaksikan debut pertamaku sebagai pianis termuda di luar negeri, 7 tahun yang lalu.” Alfa berhenti sejenak. “Bayangkan, Melo. Adakah yang lebih buruk bagi anak usia sepuluh tahun dari kehilangan kedua orangtua dalam waktu bersamaan, dan berada di negeri orang lain. Bayangkan itu, Melo. Dan kau masih berkata bahwa aku tak mengerti? Dimana hati nuranimu?”
Melo menangis dalam diam.
“Namun, aku tak pernah menyalahkan pianoku. Aku yang bahkan waktu itu baru sepuluh tahun, tak berpikir sepicik itu. Aku tak membenci musin, Melo. Justru karena musiklah aku bangkit. Karena musik adalah hal yang aku yakini dapat mengusir sedihku. Sesuatu yang aku sukai, yang aku cintai. Duniaku. Jika tanpa musik, mungkin saat ini aku telah menyusul kedua orang tuaku angkat kaki dari dunia ini. Musik itu tak salah, malah mereka selalu mengerti. Kalau waktu itu perantara meninggalnya adikmu adalah biolamu, kau harus yakin bahwa itu takdir Tuhan. Bahkan, kalaupun malam itu kau tak mengadakan resital, mungkin adikmu tetap akan mengikuti kehendak Tuhan. Mati dengan jalan lain.”
Alfa menutup kata-katanya yang membuat Melo jadi terisak. Ia lalu melepaskan cengkeramannya dari Melo dan menghampiri piano yang letaknya tak cukup jauh.
Melo tak bergerak. Ia tak berniat pergi. Ia tahu apa yang dikatakan Alfa benar. Kebenciannya tak beralasan. Hanya alasan klise. Namun, ia tak sepenuhnya yakin. Rasa benci itu masih ada dalam dirinya. Masih bersarang dengan erat.
Alfa duduk di kursi piano dan mulai bicara, “ini dunia kita, Mlo. Percayalah, bahwa musik dapat mengangkat seluruh rasa gelisah dan kebencian yang ada dalam dirimu. Karena, ini duniamu. Sebelum itu, kupersembahkan Menuet, Kabalevsky…”
Piano Alfa mulai berdenting. Mengalunkan lagu klasik itu. Melo tahu lagu itu. Namun, jujur saja notnya sudah dilupakannya, karena kebenciannya yang mendalam. Perlahan, seiring setiap denting piano Alfa, dia menghentikan tangisnya. Dan, saat Alfa menyelesaikan lagunya, Melo tampak tak memiliki alasan lagi untuk menangis. Namun rasa benci itu masih ada. Kegelisahan itu tetap ada.
Alfa berdiri dari kursinya. Berjalan menuju sebuah meja dan mengambil sesuatu dari sana. Lalu membawanya ke hadapan Melo. Sebuah biola. Ya. Biola baru yang masih sangat mulus. Mata Melo membelalak. Meminta penjelasan. “Mainkan sendiri duniamu, maestro.” ujar Alfa. “Agar kau bisa merasakan kembalinya duniamu ke dalam hatimu dan mengangkat kebencian tak beralasan itu.”
Butuh waktu selama lebih dari satu menit untuk Melo mengambil biola dari tangan Alfa. Setelah biola itu berada di tangan Melo, Alfa mundur beberapa langkah.
Melo masih diam. Namun, beberapa saat kemudian mulai memainkan lagu yang bahkan judulnya-pun ia lupa. Namun, entah mengapa, not-not lagu ini terbayang ketika ia memejamkan mata. Ia baru ingat bahwa ini adalah karya Ludwig Van Beethoven, Moonlight Sonata. Lagu yang mencerminkan kesepian karena kehilangan.
Setiap gesekan biola itu menyatu dalam diri Melo. Bagai ikut mengalir dalam darahnya. Kebenciannya perlahan menyurut sampai habis sama sekali. Ia tak pernah merasakan setenang ini sebelumnya. Kembali terpampang dalam pikirannya detik-detik ketika ia membakar biola pemberian Oom Reza, yang waktu itu tak tahu bahwa ia benci musik, terlebih biola, sejak peristiwa resital itu.
Andai saja ia memainkannya saat itu. Andai saja ia tak membakarnya, tapi memainkannya, mungkin ia akan lebih cepat sadar akan kekeliruannya. Bahwa semua adalah takdir Tuhan. Namun, ia segera menepis penyesalannya. Kalau ia lebih cepat sadar, iaa takkan bisa akrab dengan Alfa, dan mengalami saat indah seperti sekarang ini. Alfa, sosok yang telah mengembalikan dunianya ke dalam hatinya.
Sementara Alfa menyaksikan Melo memainkan biola sambil ikut menikmati setiap alunan risau yang dimainkan Melodi.

-o0o-

Setahun kemudian…
Riuh tepuk tangan memenuhi gedung Baretta Indonesia tempat diadakannya resital tunggal dua maestro Indonesia dalam dua alat musik. Piano dan biola. Tentu saja Alfa dan Melo. Setelah kejadian di rumah Alfa setahun lalu, Alfa memutuskan untuk membuka diri, sedangkan Melo memutuskan untuk kembali menyentuh dunianya.
Dan, jadilah mereka berdua disini. Selesai memainkan Two Waltzes karya Franz Schubert secara kolaborasi yang membuat beberapa tamu mencari lantai dansa untuk ber-waltz ria. Penampilan itu menutup resital mereka malam ini. Dan lusa, rencananya mereka akan diberangkatkan ke Jerman untuk bergabung mengadakan resital akbar bersama sepuluh Negara lainnya.
Melo dan Alfa menuju belakang panggung. Setelah lulus SMA, Melo dan Alfa sepakat untuk mengambil kuliah jurusan musik di beberapa universitas yang terkenal dengan musiknya di seluruh dunia. Iseng-iseng dan menghabiskan waktu, mereka berbincang.
“Iya deh yang udah jadi maestro Indonesia.” sindir Alfa.
“Hah? Lo juga kali, Fa. Apa maksudnya nyindir kayak gitu?” ujar Melo.
“Wah… Aku juga ya? Berarti kita bisa jadi pasangan maestro paling hebat di manapun kita berada dong, Melo.” goda Alfa.
Aku? Dahi Melo mengernyit. Tapi, ditanggapi juga perkataan Alfa. “Panggil aku Melodi mulai sekarang, Alfa.” Melo, maksudnya Melodi mengingatkan. Ia memang sudah memutuskan untuk memakai nama kecil kebanggaannya itu lagi. “Dan, kolaborasi kita di atas panggung memang menurutku hebat.”
“Bukan itu Melodi, sayang. Maksudnya pasangan di belakang panggung.” ujar Alfa, kali ini mengembangkan senyum jahil.

Melodi yang mengerti arah pembicaraan Alfa, langsung mencubit lengan laki-laki itu. Wajahnya memerah. Sedangakan Alfa memandang Melodi dengan mata jenaka dan senyum jahilnya. Benar-benar pasangan maestro yang hebat, unik, dan… aneh.

Jakarta
1 September 2011

0 comments:

Posting Komentar