Great Detective (Chapter 5)
15.57.00
Miyano.
Ya, Miyano Akemi.
Naomi mengedipkan mata meyakinkan pandangannya. Dan saat ia
kembali membuka matanya, ia yakin penglihatannya tidak salah sama sekali.
Telah banyak info yang Naomi kumpulkan dan dapatkan tentang
organisasi baju hitam dari berbagai sumber. Dan ia sangat yakin mengenali gadis
di hadapannya sebagai Miyano Akemi. Gadis yang ia dengar punya hubungan khusus
dengan Shuichi. Putri sulung dari Atsushi Miyano dan Elena Miyano sang Hell
Angel.
“Wah, rupanya aku mendapat keistimewaan bisa berhadapan
dengan wanita terhormat sepertimu, Miyano-san.” Naomi membuka mulut terlebih
dahulu.
Akemi tersentak kaget karena ada orang yang bisa mengetahui
identitasnya dalam sekali pandang. Namun, wanita itu berusaha tenang dan
membuka mulutnya, “Dan, akan lebih terhormat lagi apabila aku bisa membunuhmu,
wanita asing!”
“Tak semudah itu, nona!” Naomi meremehkan. Tangannya yang
memegang tokalev masih menodong Akemi. Lalu ia berkata, “apa maumu?”
“Bukankah sudah kukatakan kalau aku ingin membunuhmu?”
Naomi menggelengkan kepala dengan tampang meremehkan. “Itu
bukan jawaban yang baik.” ujarnya. “Kau takkan bisa membunuhku dengan sekali
tembak, Miyano-san.”
Akemi diam. Hanya diam yang bisa ia lakukan. Tak ada hal
lain. “Aku memiliki banyak peluru, Nona. Tak akan kubunuh kau hanya dengan
sekali tembak.” ujar Akemi akhirnya.
“Bohong!!” sergah Naomi. “Kalau kau memiliki banyak peluru,
kau akan menembakku sejak tadi. Karena kau hanya diam, kusimpulkan bahwa
pelurumu tak cukup banyak saat ini.” senyum angkuh kembali terkembang di bibir
Naomi.
Akemi mempertahankan posisinya. Tak bergeming sedikitpun.
Naomi tetap tersenyum, dengan topeng yang masih melekat erat
di wajahnya. “Damai sajalah, Nona! Malam ini, aku sudah terlalu lelah untuk
menghabisimu.” ucap Naomi sambil berbalik dan berniat meninggalkan Akemi.
“Sombong sekali kau, Hare!” bentak Akemi. Dan tiba-tiba…
DOOR!!
Sebuah tembakan menggores topeng dan wajah Naomi. Gadis itu
langsung waspada dan mengacungkan tokalevnya. Lalu dengan yakin…
DOOR!!
Sebuah peluru melayang dari pistol Naomi, menuju arah
datangnya tembakan yang menyerangnya. Seorang gadis berambut cokelat roboh.
Dari kakinya mengucur darah segar yang berwarna merah.
“Shiho!” teriak Akemi. Rupanya peluru Naomi menggores kaki
kanan Shiho Miyano.
“Jangan menantangku, nona-nona!” balas Naomi. “Aku bahkan
bisa saja membunuh kalian saat ini jika aku mau. Namun, sayangnya aku tak cukup
pengecut untuk melakukannya.”
“Kau…” Akemi menggeram, dan—
DOOR!! tembakan itu meluncur dari pistol Akemi. Tepat
menggores lengan kanan Naomi.
Sakit. Ya, itu yang ia rasakan. Benar-benar sakit. Namun,
Naomi kembali ingat pada poker face-nya. Poker face yang harus tetap ia jaga.
“Hahahaha…” tawa Naomi membahana. “Rupanya hanya sebatas itu kemampuan kalian.
Lebih baik kalian jadi orang baik-baik sajalah ketimbang kalian jadi orang
jahat yang payah seperti ini.”
Akemi dan Shiho diam tak berkutik.
Naomi berjalan mendekati Shiho dan Akemi. Semakin dekat,
sampai ia berada di depan kedua wanita itu. Akemi dan Shiho masih diam. Entah
mengapa mereka mendadak bisu.
Naomi merobek lengan bajunya yang sebelah kiri. Sepanjang
mungkin agar dapat digunakan untuk membebat luka. Ia lalu berjongkok di sebelah
Shiho dan membebat luka goresan cukup dalam yang disebabkan olehnya. Akemi
terpana. Shiho meringis menahan sakit.
Terlalu banyak kata-kata yang ingin Akemi lontarkan. “Hare,
kau…” hanya itulah yang terucap.
“Bawalah dia ke rumah sakit segera. Jaga agar darahnya tak
semakin banyak hilang.” ujar Naomi dengan suara getir. Karena ia juga menahan sakit dari luka di wajah dan
lengan kanannya.
Akemi mengangguk. Ia menatap miris ke arah lengan kanan
Naomi. Darah merah menetes ke jalan aspal. Ia tahu, itu pastilah sangat sakit.
Naomi berbalik ke arah sepeda motornya. Tak sedikitpun
berpaling lagi pada kakak beradik yang telah menyerangnya secara keroyokan dan
tiba-tiba tersebut. Sampai, “Hare!” panggil Akemi.
Naomi berhenti dan menoleh. Menunggu kata-kata lainnya yang
akan keluar dari mulut Akemi. “Arigatou!” teriak Akemi.
Naomi hanya tersenyum angkuh. Senyum khas Sniper Hare. Lalu
menghilang bersama sepeda motornya.
*
“Sekarang kau tahu kan
Naomi, mengapa dulu kami meyakinkanmu bahwa menjadi agen FBI adalah pekerjaan
berbahaya?” ujar Jodie Starling sambil membersihkan luka Naomi.
“Huh. Iya, aku tahu. Aw!” Naomi meringis menahan sakit.
“Tapi, ini adalah keputusanku. Dan aku tak menyesal, kak.” lanjut Naomi lagi.
Lukanya benar-benar banyak. Beberapa goresan di wajah, lengan, kaki. Ia tak
mengira, ternyata tugas pertamanya mengantarkan pada petaka separah ini.
Malam itu, Naomi langsung ke kantor FBI sebelum ke rumahnya.
Ia tak mau diinterogasi habis-habisan oleh ibunya jika ia pulang dengan lengan
terluka.
Jodie Starling hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu, tekad
Naomi memang sangat kuat. Namun, tak sedikitpun ia mengira bahwa gadis yang
baru saja menginjak usia remaja memiliki komitmen sekuat itu. “Terserah kau
sajalah, Naomi.” ujar Jodie sambil membenahi seluruh peralatan yang
digunakannya mermbersihkan luka Naomi. Karena sekarang pekerjaannya telah
selesai. “Omong-omong, Naomi, mengapa semalam kau menolong dua wanita
organisasi itu?” tanya Jodie.
“Kak, mereka wanita. Hanya tampaknya saja mereka kuat.
Sebenarnya mereka lemah. Aku melihat tatapan terkekang dari wajah mereka
berdua. Lagipula, mereka tak sejahat itu.” jawab Naomi.
“Tapi, kau terkesan terlalu baik Naomi. Mereka adalah wanita
organisasi.” sergah Jodie.
“Lagipula, Kak Jodie, jika aku menyakiti mereka, maka aku
juga akan menyakiti Kak Shuichi. Salah satu dari wanita itu kan orang yang berarti baginya.” ucapan
Naomi melahirkan gurat kesedihan di
wajah Jodie Starling. “Daripada itu, kak,” lanjut Naomi. “Mengapa semalam aku
tak melihatmu?”
“Huh! Belum waktunya aku muncul, Naomi.” jawab Jodie
perlahan. “Masih punya banyak waktu untukku menghancurkan mereka.”
Naomi diam. Berusaha mencerna kata-kata Jodie.
Belum sempat Naomi menanggapi, Jodie berbicara lagi. “Dan,
kuharap dengan kejadian ini, dan dengan apa yang kau alami, kau akan mengerti.
Mungkin, kau memang memiliki kemampuan menembak lebih handal dari siapapun
kecuali Shuichi, tapi dalam perencanaan strategi kau gagal total Naomi. Kau
terlalu gegabah dan tak sabaran. Tak bisa mengikuti prosedur yang berlaku.
Darahmu panas, Hare…”
“Perlukah?”
Jodie tertegun mendengar komentar Naomi. Dia mengerutkan
kening.
“Perlukah kita memikirkan prosedur saat mangsa telah didepan
mata. Jika kita memburu harimau, dan harimau itu telah bersiap menerjang kita,
tak ada pilihan lain selain melawannya. Apakah kita masih perlukah kita
menggunakan tata cara memegang senapan yang baik dan benar? Atau kita harus
menunggu teman lainnya datang. Mungkin, jika kita melakukan hal itu, yang
terjadi adalah kita terlebih dahulu diterkam oleh harimau itu. Dan mengalami
kematian tanpa memperjuangkan apapun.” ujar Naomi panjang lebar.
“Tapi, Naomi, seandainya kita yang menyergap harimau itu,
dengan sengaja membuang peluru kita dengan percuma, dan bisa saja suatu saat
habis dan kita mati, masihkah kau bisa berkata begitu?” bantah Jodie.
Naomi tersenyum dengan perdebatan mereka. “Kalaupun saat itu
mati, kita pasti tak akan menyesal. Karena setidaknya, kita telah berjuang, dan
memperjuangkan hidup yang berharga.”
Jodie terdiam, mengira perdebatan mereka hanya sampai
disitu.
“Tapi, aku keberatan jika kau berkata aku tak merencanakan
strategi.” kata Naomi. Jodie menoleh. “Justru diantara anggota FBI yang
lainnya, perencanaankulah yang paling matang. Seandainya saja aku tak
menyelamatkan perang tadi, mungkin telah banyak anggota FBI yang mati. Dan
mengenai luka itu, aku memang sengaja membuatnya kena lenganku. Hanya, saja aku
tak tahu peluru itu sangat kuat. Karena menurutku, cara terbaik menyerang musuh
bukanlah dari fisik, melainkan dari mental. Dengan berbuat seolah peluru itu
tak menggoyahkanku, mereka akan
menyangka aku sangat kuat, dan mungkin mereka akan takut.”
Jodie menghela nafas. Dia tak menyangka, anak SMA di
hadapannya sekuat dan sepandai itu. Dalam hati, dipemdamnya kekaguman yang
mendalam.
*
Naomi melajukan sepeda motornya di jalan raya kota New York Amerika
Serikat. Dia masih ingat perdebatannya dengan Jodie Starling tadi. Dan tepat
setelah bersitegang itu mereda, Naomi pamit pulang.
Sepeda motornya berhenti di sebuah rumah cukup besar. Dia
lalu memencet bel.
Ning… Nong…
Tak lama kemudian sesosok wanita yang agak asing di mata
Naomi menyembulkan kepalanya. Dia menatap Naomi dengan tatapan aneh. Maklum
saja, sudah lewat tengah malam dan Naomi berpenampilan aneh.
Tapi seharusnya, yang lebih menatap aneh adalah Naomi.
Bagaimanapun, rumah itu kan
rumahnya juga. Namun nyatanya, Naomi biasa-biasa saja.
Wanita asing itu berjalan ke pintu gerbang dan membukakannya
untuk Naomi. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir wanita itu.
Tak sempat wanita itu selesai membuka gerbang, Yukiko muncul
di ambang pintu. “Naomi!” teriaknya. “Kenapa jam segini baru pulang?” tanyanya
kemudian.
Di belakang Yukiko, berdiri seorang anak seumurnya yang ia
kenali sebagai sosok kakaknya. “Wah wah… Sepertinya ada tamu istimewa ya?”
ujarnya dingin, sambil melenggang masuk bersama wanita yang membukakan gerbang
itu. Meski bersebelahan, mereka tak juga saling berbicara.
Naomi masuk ke rumah dengan santai tanpa mengucap sepatah
katapun. “Sudah mandi?” tanya Yukiko.
“Sudah tadi di kantor, bu.” jawab Naomi, lalu duduk di kursi
ruang tamu.
Tiga orang yang tadi menyambutnya ikut duduk. “Ayah mana?”
tanya Naomi.
“Dia sedang menyelesaikan chapter terbaru novelnya.” jawab
Shinichi.
“Wow, kak… Sepertinya kau masih memiliki suara.” ejek Naomi
dengan nada dingin. “Lalu,” lanjutnya. “Siapa dia?” tanyanya sambil menunjuk
Ran.
Ran yang ditunjuk menunduk. Entah karena dia malu atau
karena dia masih pusing. Maklum, dia baru saja sadar dari pingsan.
“Ini Ran Mouri, Naomi.” jawab Shinichi. “kau ingat kan ?”
“Tentu saja aku ingat padanya. Anaknya polisi itu kan ? Yang tampangnya
konyol dan kurang meyakinkan?” tanya Naomi.
Ran semakin menunduk. Shinichi menatap Naomi dengan tatapan
aneh.
Naomi menghela nfas panjang. “Oh, baiklah… Maaf, Mouri-san.
Kurasa, aku masih terbawa suasana kantorku yang terlalu serius.” ujarnya sambil
tersenyum manis. Kali ini dia benar-benar tampak sebagai gadis biasa yang tak
bisa apa-apa.
Ran mengangkat wajahnya dan menatap wajah Naomi sejenak lalu
tersenyum. “Kau banyak berubah ya, Naomi.” konentarnya.
Naomi kembali tersenyum. “Yah, kurasa lingkungan cukup
mempengaruhi pemikiranku.” jawabnya. “Oh ya, daripada mebicarakanku, ada hal
yang ingin kutanyakan pada Shinichi.”
“Apa itu?” tanya Shinichi.
“Kemana saja kau sejak di New York ?” lontar Naomi.
“Aku baru tiba tadi dan langsung pergi ke tempat pemutaran
teater Golden Apple. Memang kenapa?” jawab Shinichi.
“Apakah disana terjadi kasus pembunuhan?”
“Darimana kau tahu?” kali ini Ran yang berkomentar.
“Sudahlah jawab saja. Benar, ‘kan ?”
Ran, Shinichi, dan Yukiko mengangguk.
Naomi melirik ibunya. “Bersama ibu juga?”
“Tentu saja, Naomi. Disana juga ada aktris senior favoritmu,
Sharon Vineyard.” jelas Yukiko.
Dahi Naomi berkerut. Tapi
Vermouth tak pernah menyebutkan adanya Yukiko. Berarti bukan pembunuh yang itu.
fikir Naomi. “Adakah saat dimana Kak Shinichi tak bersama ibu?” tanya Naomi
lagi.
Shinichi diam. Tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia
jujur atau…
“Ada .”
Ran mendahului Shinichi untuk menjawab.
Naomi menatap Ran. Dan Shinichi pasrah untuk jujur.
“Karena Tante Yukiko harus diinterogasi oleh kepolisian, aku
dan Shinichi pulang terlebih dahulu. Tapi, karena sesuatu, sapu tangan yang
diberikan Sharon
padaku, terbang ke pinggir jendela sebuah rumah kosong. Shinichi pergi
mengambilnya untukku. Karena aku lama menunggu, akupun ikut naik ke rumah
kosong itu. Tapi, disana, aku dan Shinichi bertemu dengan pembunuh yang sedang
buron.”
Nah ini dia Vermouth… fikir
Naomi.
“Karena bagian rumah itu ada yang rapuh, pembunuh buron itu
nyaris terjatuh. Tapi, aku menyelamatkannya. Lalu, Shinichi membantuku. Dan
jadilah kami menolong pembunuh buron itu. Saat itu, dia bertanya ‘mengapa kalian
menolongku?’ lalu, Shinichi menjawab… Apa ya, Shin? Aku lupa.” cerita Ran
terputus di tengah jalan.
“Perlukah alasan?” ujar Shinichi.
“Aku tak tahu apa alasan manusia untuk saling membunuh, tapi
untuk saling menolong tak ada alasan yang logis bukan?” Naomi yang melanjutkan.
Semua mata menatap Naomi heran, termasuk seseorang yang baru
keluar dari ruang kerjanya. Sedangkan, Naomi hanya menatap kosong ke depan
seakan berfikir. Dan dua pasang diantara semua mata yang memandangnya, sadar
kalau Naomi mengetahui sesuatu.
To Be Continued…
Chapter 6 Trolley
Waktu
Naomi tak pulang lagi
hingga berbulan-bulan lamanya… Lalu, terjadi sesuatu…
0 Comments