Selasa, 14 Juni 2016

Great Detective (Chapter 5)

Miyano.
Ya, Miyano Akemi.
Naomi mengedipkan mata meyakinkan pandangannya. Dan saat ia kembali membuka matanya, ia yakin penglihatannya tidak salah sama sekali.
Telah banyak info yang Naomi kumpulkan dan dapatkan tentang organisasi baju hitam dari berbagai sumber. Dan ia sangat yakin mengenali gadis di hadapannya sebagai Miyano Akemi. Gadis yang ia dengar punya hubungan khusus dengan Shuichi. Putri sulung dari Atsushi Miyano dan Elena Miyano sang Hell Angel.
“Wah, rupanya aku mendapat keistimewaan bisa berhadapan dengan wanita terhormat sepertimu, Miyano-san.” Naomi membuka mulut terlebih dahulu.
Akemi tersentak kaget karena ada orang yang bisa mengetahui identitasnya dalam sekali pandang. Namun, wanita itu berusaha tenang dan membuka mulutnya, “Dan, akan lebih terhormat lagi apabila aku bisa membunuhmu, wanita asing!”
“Tak semudah itu, nona!” Naomi meremehkan. Tangannya yang memegang tokalev masih menodong Akemi. Lalu ia berkata, “apa maumu?”
“Bukankah sudah kukatakan kalau aku ingin membunuhmu?”
Naomi menggelengkan kepala dengan tampang meremehkan. “Itu bukan jawaban yang baik.” ujarnya. “Kau takkan bisa membunuhku dengan sekali tembak, Miyano-san.”
Akemi diam. Hanya diam yang bisa ia lakukan. Tak ada hal lain. “Aku memiliki banyak peluru, Nona. Tak akan kubunuh kau hanya dengan sekali tembak.” ujar Akemi akhirnya.
“Bohong!!” sergah Naomi. “Kalau kau memiliki banyak peluru, kau akan menembakku sejak tadi. Karena kau hanya diam, kusimpulkan bahwa pelurumu tak cukup banyak saat ini.” senyum angkuh kembali terkembang di bibir Naomi.
Akemi mempertahankan posisinya. Tak bergeming sedikitpun.
Naomi tetap tersenyum, dengan topeng yang masih melekat erat di wajahnya. “Damai sajalah, Nona! Malam ini, aku sudah terlalu lelah untuk menghabisimu.” ucap Naomi sambil berbalik dan berniat meninggalkan Akemi.
“Sombong sekali kau, Hare!” bentak Akemi. Dan tiba-tiba…
DOOR!!
Sebuah tembakan menggores topeng dan wajah Naomi. Gadis itu langsung waspada dan mengacungkan tokalevnya. Lalu dengan yakin…
DOOR!!
Sebuah peluru melayang dari pistol Naomi, menuju arah datangnya tembakan yang menyerangnya. Seorang gadis berambut cokelat roboh. Dari kakinya mengucur darah segar yang berwarna merah.
“Shiho!” teriak Akemi. Rupanya peluru Naomi menggores kaki kanan Shiho Miyano.
“Jangan menantangku, nona-nona!” balas Naomi. “Aku bahkan bisa saja membunuh kalian saat ini jika aku mau. Namun, sayangnya aku tak cukup pengecut untuk melakukannya.”
“Kau…” Akemi menggeram, dan—
DOOR!! tembakan itu meluncur dari pistol Akemi. Tepat menggores lengan kanan Naomi.
Sakit. Ya, itu yang ia rasakan. Benar-benar sakit. Namun, Naomi kembali ingat pada poker face-nya. Poker face yang harus tetap ia jaga. “Hahahaha…” tawa Naomi membahana. “Rupanya hanya sebatas itu kemampuan kalian. Lebih baik kalian jadi orang baik-baik sajalah ketimbang kalian jadi orang jahat yang payah seperti ini.”
Akemi dan Shiho diam tak berkutik.
Naomi berjalan mendekati Shiho dan Akemi. Semakin dekat, sampai ia berada di depan kedua wanita itu. Akemi dan Shiho masih diam. Entah mengapa mereka mendadak bisu.
Naomi merobek lengan bajunya yang sebelah kiri. Sepanjang mungkin agar dapat digunakan untuk membebat luka. Ia lalu berjongkok di sebelah Shiho dan membebat luka goresan cukup dalam yang disebabkan olehnya. Akemi terpana. Shiho meringis menahan sakit.
Terlalu banyak kata-kata yang ingin Akemi lontarkan. “Hare, kau…” hanya itulah yang terucap.
“Bawalah dia ke rumah sakit segera. Jaga agar darahnya tak semakin banyak hilang.” ujar Naomi dengan suara getir. Karena ia  juga menahan sakit dari luka di wajah dan lengan kanannya.
Akemi mengangguk. Ia menatap miris ke arah lengan kanan Naomi. Darah merah menetes ke jalan aspal. Ia tahu, itu pastilah sangat sakit.
Naomi berbalik ke arah sepeda motornya. Tak sedikitpun berpaling lagi pada kakak beradik yang telah menyerangnya secara keroyokan dan tiba-tiba tersebut. Sampai, “Hare!” panggil Akemi.
Naomi berhenti dan menoleh. Menunggu kata-kata lainnya yang akan keluar dari mulut Akemi. “Arigatou!” teriak Akemi.
Naomi hanya tersenyum angkuh. Senyum khas Sniper Hare. Lalu menghilang bersama sepeda motornya.

*

“Sekarang kau tahu kan Naomi, mengapa dulu kami meyakinkanmu bahwa menjadi agen FBI adalah pekerjaan berbahaya?” ujar Jodie Starling sambil membersihkan luka Naomi.
“Huh. Iya, aku tahu. Aw!” Naomi meringis menahan sakit. “Tapi, ini adalah keputusanku. Dan aku tak menyesal, kak.” lanjut Naomi lagi. Lukanya benar-benar banyak. Beberapa goresan di wajah, lengan, kaki. Ia tak mengira, ternyata tugas pertamanya mengantarkan pada petaka separah ini.
Malam itu, Naomi langsung ke kantor FBI sebelum ke rumahnya. Ia tak mau diinterogasi habis-habisan oleh ibunya jika ia pulang dengan lengan terluka.
Jodie Starling hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu, tekad Naomi memang sangat kuat. Namun, tak sedikitpun ia mengira bahwa gadis yang baru saja menginjak usia remaja memiliki komitmen sekuat itu. “Terserah kau sajalah, Naomi.” ujar Jodie sambil membenahi seluruh peralatan yang digunakannya mermbersihkan luka Naomi. Karena sekarang pekerjaannya telah selesai. “Omong-omong, Naomi, mengapa semalam kau menolong dua wanita organisasi itu?” tanya Jodie.
“Kak, mereka wanita. Hanya tampaknya saja mereka kuat. Sebenarnya mereka lemah. Aku melihat tatapan terkekang dari wajah mereka berdua. Lagipula, mereka tak sejahat itu.” jawab Naomi.
“Tapi, kau terkesan terlalu baik Naomi. Mereka adalah wanita organisasi.” sergah Jodie.
“Lagipula, Kak Jodie, jika aku menyakiti mereka, maka aku juga akan menyakiti Kak Shuichi. Salah satu dari wanita itu kan orang yang berarti baginya.” ucapan Naomi melahirkan gurat kesedihan  di wajah Jodie Starling. “Daripada itu, kak,” lanjut Naomi. “Mengapa semalam aku tak melihatmu?”
“Huh! Belum waktunya aku muncul, Naomi.” jawab Jodie perlahan. “Masih punya banyak waktu untukku menghancurkan mereka.”
Naomi diam. Berusaha mencerna kata-kata Jodie.
Belum sempat Naomi menanggapi, Jodie berbicara lagi. “Dan, kuharap dengan kejadian ini, dan dengan apa yang kau alami, kau akan mengerti. Mungkin, kau memang memiliki kemampuan menembak lebih handal dari siapapun kecuali Shuichi, tapi dalam perencanaan strategi kau gagal total Naomi. Kau terlalu gegabah dan tak sabaran. Tak bisa mengikuti prosedur yang berlaku. Darahmu panas, Hare…”
“Perlukah?”
Jodie tertegun mendengar komentar Naomi. Dia mengerutkan kening.
“Perlukah kita memikirkan prosedur saat mangsa telah didepan mata. Jika kita memburu harimau, dan harimau itu telah bersiap menerjang kita, tak ada pilihan lain selain melawannya. Apakah kita masih perlukah kita menggunakan tata cara memegang senapan yang baik dan benar? Atau kita harus menunggu teman lainnya datang. Mungkin, jika kita melakukan hal itu, yang terjadi adalah kita terlebih dahulu diterkam oleh harimau itu. Dan mengalami kematian tanpa memperjuangkan apapun.” ujar Naomi panjang lebar.
“Tapi, Naomi, seandainya kita yang menyergap harimau itu, dengan sengaja membuang peluru kita dengan percuma, dan bisa saja suatu saat habis dan kita mati, masihkah kau bisa berkata begitu?” bantah Jodie.
Naomi tersenyum dengan perdebatan mereka. “Kalaupun saat itu mati, kita pasti tak akan menyesal. Karena setidaknya, kita telah berjuang, dan memperjuangkan hidup yang berharga.”
Jodie terdiam, mengira perdebatan mereka hanya sampai disitu.
“Tapi, aku keberatan jika kau berkata aku tak merencanakan strategi.” kata Naomi. Jodie menoleh. “Justru diantara anggota FBI yang lainnya, perencanaankulah yang paling matang. Seandainya saja aku tak menyelamatkan perang tadi, mungkin telah banyak anggota FBI yang mati. Dan mengenai luka itu, aku memang sengaja membuatnya kena lenganku. Hanya, saja aku tak tahu peluru itu sangat kuat. Karena menurutku, cara terbaik menyerang musuh bukanlah dari fisik, melainkan dari mental. Dengan berbuat seolah peluru itu tak menggoyahkanku, mereka akan menyangka aku sangat kuat, dan mungkin mereka akan takut.”
Jodie menghela nafas. Dia tak menyangka, anak SMA di hadapannya sekuat dan sepandai itu. Dalam hati, dipemdamnya kekaguman yang mendalam.

*

Naomi melajukan sepeda motornya di jalan raya kota New York Amerika Serikat. Dia masih ingat perdebatannya dengan Jodie Starling tadi. Dan tepat setelah bersitegang itu mereda, Naomi pamit pulang.
Sepeda motornya berhenti di sebuah rumah cukup besar. Dia lalu memencet bel.
Ning… Nong…
Tak lama kemudian sesosok wanita yang agak asing di mata Naomi menyembulkan kepalanya. Dia menatap Naomi dengan tatapan aneh. Maklum saja, sudah lewat tengah malam dan Naomi berpenampilan aneh.
Tapi seharusnya, yang lebih menatap aneh adalah Naomi. Bagaimanapun, rumah itu kan rumahnya juga. Namun nyatanya, Naomi biasa-biasa saja.
Wanita asing itu berjalan ke pintu gerbang dan membukakannya untuk Naomi. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir wanita itu.
Tak sempat wanita itu selesai membuka gerbang, Yukiko muncul di ambang pintu. “Naomi!” teriaknya. “Kenapa jam segini baru pulang?” tanyanya kemudian.
Di belakang Yukiko, berdiri seorang anak seumurnya yang ia kenali sebagai sosok kakaknya. “Wah wah… Sepertinya ada tamu istimewa ya?” ujarnya dingin, sambil melenggang masuk bersama wanita yang membukakan gerbang itu. Meski bersebelahan, mereka tak juga saling berbicara.
Naomi masuk ke rumah dengan santai tanpa mengucap sepatah katapun. “Sudah mandi?” tanya Yukiko.
“Sudah tadi di kantor, bu.” jawab Naomi, lalu duduk di kursi ruang tamu.
Tiga orang yang tadi menyambutnya ikut duduk. “Ayah mana?” tanya Naomi.
“Dia sedang menyelesaikan chapter terbaru novelnya.” jawab Shinichi.
“Wow, kak… Sepertinya kau masih memiliki suara.” ejek Naomi dengan nada dingin. “Lalu,” lanjutnya. “Siapa dia?” tanyanya sambil menunjuk Ran.
Ran yang ditunjuk menunduk. Entah karena dia malu atau karena dia masih pusing. Maklum, dia baru saja sadar dari pingsan.
“Ini Ran Mouri, Naomi.” jawab Shinichi. “kau ingat kan?”
“Tentu saja aku ingat padanya. Anaknya polisi itu kan? Yang tampangnya konyol dan kurang meyakinkan?” tanya Naomi.
Ran semakin menunduk. Shinichi menatap Naomi dengan tatapan aneh.
Naomi menghela nfas panjang. “Oh, baiklah… Maaf, Mouri-san. Kurasa, aku masih terbawa suasana kantorku yang terlalu serius.” ujarnya sambil tersenyum manis. Kali ini dia benar-benar tampak sebagai gadis biasa yang tak bisa apa-apa.
Ran mengangkat wajahnya dan menatap wajah Naomi sejenak lalu tersenyum. “Kau banyak berubah ya, Naomi.” konentarnya.
Naomi kembali tersenyum. “Yah, kurasa lingkungan cukup mempengaruhi pemikiranku.” jawabnya. “Oh ya, daripada mebicarakanku, ada hal yang ingin kutanyakan pada Shinichi.”
“Apa itu?” tanya Shinichi.
“Kemana saja kau sejak di New York?” lontar Naomi.
“Aku baru tiba tadi dan langsung pergi ke tempat pemutaran teater Golden Apple. Memang kenapa?” jawab Shinichi.
“Apakah disana terjadi kasus pembunuhan?”
“Darimana kau tahu?” kali ini Ran yang berkomentar.
“Sudahlah jawab saja. Benar, ‘kan?”
Ran, Shinichi, dan Yukiko mengangguk.
Naomi melirik ibunya. “Bersama ibu juga?”
“Tentu saja, Naomi. Disana juga ada aktris senior favoritmu, Sharon Vineyard.” jelas Yukiko.
Dahi Naomi berkerut. Tapi Vermouth tak pernah menyebutkan adanya Yukiko. Berarti bukan pembunuh yang itu. fikir Naomi. “Adakah saat dimana Kak Shinichi tak bersama ibu?” tanya Naomi lagi.
Shinichi diam. Tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia jujur atau…
Ada.” Ran mendahului Shinichi untuk menjawab.
Naomi menatap Ran. Dan Shinichi pasrah untuk jujur.
“Karena Tante Yukiko harus diinterogasi oleh kepolisian, aku dan Shinichi pulang terlebih dahulu. Tapi, karena sesuatu, sapu tangan yang diberikan Sharon padaku, terbang ke pinggir jendela sebuah rumah kosong. Shinichi pergi mengambilnya untukku. Karena aku lama menunggu, akupun ikut naik ke rumah kosong itu. Tapi, disana, aku dan Shinichi bertemu dengan pembunuh yang sedang buron.”
Nah ini dia Vermouth… fikir Naomi.
“Karena bagian rumah itu ada yang rapuh, pembunuh buron itu nyaris terjatuh. Tapi, aku menyelamatkannya. Lalu, Shinichi membantuku. Dan jadilah kami menolong pembunuh buron itu. Saat itu, dia bertanya ‘mengapa kalian menolongku?’ lalu, Shinichi menjawab… Apa ya, Shin? Aku lupa.” cerita Ran terputus di tengah jalan.
“Perlukah alasan?” ujar Shinichi.
“Aku tak tahu apa alasan manusia untuk saling membunuh, tapi untuk saling menolong tak ada alasan yang logis bukan?” Naomi yang melanjutkan.
Semua mata menatap Naomi heran, termasuk seseorang yang baru keluar dari ruang kerjanya. Sedangkan, Naomi hanya menatap kosong ke depan seakan berfikir. Dan dua pasang diantara semua mata yang memandangnya, sadar kalau Naomi mengetahui sesuatu.

To Be Continued…

Chapter 6 Trolley Waktu

Naomi tak pulang lagi hingga berbulan-bulan lamanya… Lalu, terjadi sesuatu…

0 comments:

Posting Komentar