Mungkin

16.25.00

Sekecil apapun kemungkinan, tetap mungkin terjadi.. Karena itu adalah KEMUGKINAN..
 “Kenapa? Kau bertanya kenapa?” sosoknya berkata lantang di hadapanku. “ Anggap saja aku ingin mencampakanmu!”
Mataku nanar menatap sosok itu. Suara bassnya terasa menusuk perpotongan bagian kanan dan kiri jantungku. Rasanya sakit.
Dia berbalik dan berjalan menjauh. Aku ingin mengejarnya, tapi kakiku terasa lumpuh. Aku ingin berteriak, namun pita suaraku rasanya dicekik sehingga tak sedikitpun suara keluar dari sana.
Dia terus berjalan. Perlahan tapi pasti, dan mulai menghilang seakan ditelan atmosfir asing di sekitarnya. Dadaku seketika semakin sesak hampir meledak.
Tiba-tiba, badanku terasa sakit semua, dan sebuah sinar mengetuk masuk ke dalam pupil mataku.

-o0o-

Aaarrgghh!
Sial!
Yang aku tahu, saat ini aku baru saja jatuh dari tempat tidur, dan sedang mengerjapkan mata berusaha menyesuaikan komposisi cahaya yang masuk ke dalam mataku.
Dan satu hal lagi yang aku tahu. Aku baru saja memimpikannya.
Kenapa aku harus memimpikan kata-kata si bodoh itu lagi?
Aku menajamkan mata dan mencari  jam dindingku yang saat ini telah beralih fungsi sebagai jam ‘kasur’, lantaran aku meletakkannya di sebelah tubuhku di atas tempat tidur.
Nah, ini dia!
Kulirik cepat dan sekejap mataku terbelalak. Ya ampun, jam enam?
Aku sedikit bingung. Rasanya aku belum benar-benar sadar. Setengah nyawaku masih berada di dunia mimpi.
Namun, segera kulupakan segala omong kosong mimpi itu, dan aku dengan cepat berlari menuju kamar mandi dengan seluruh peralatan yang harus kupakai hari ini.
Masa bodoh dengan mimpi itu. Yang terpenting sekarang, aku tidak boleh telat lagi.
Setelah melepas semua pakaianku, aku menyalakan shower. Dan seketika, aliran air dingin yang segar telah membawaku kembali ke kenyataan. Lepas dari mimpi yang menusuk dadaku.
Oke, setidaknya sampai aku harus tidur lagi nanti malam.

-o0o-

“Sarah!” suara seseorang yang sangat familier menyapa telingaku dengan akrabnya.
Aku menoleh dan membalas sapaannya tanpa senyum. “Apaan, Ma?”
Alma menghampiriku dengan wajah yang dibuat seterkejut mungkin. Tapi, aku tau kalau sobatku ini wajahnya dibuat-buat. “Lo udah dateng jam segini? Wow rekor!”
Aku menatap wajahnya jengkel. Ngeselin juga nih anak. Ini jam istirahat, dan aku ada disini dibilang tumben? Memang biasanya aku datang jam berapa sih?
“Jahat lo, ah. Ini jam istirahat, masa gue ada disini dibilang tumben. Emang gue biasa datengnya pas anak-anak udah pada pulang apa?”
Wajahku benar-benar makin jengkel saat itu. Ditambah makanan di hadapanku yang sedari tadi hanya kuaduk-aduk saja. Alma sekarang jadi tampak cemas.
“Yah, maaf, Sar. Gue kan nggak tau kalau lo lagi sekusut ini. Masalah apalagi sih? Dia lagi?” tanyanya sengaja melakukan penekanan saat menyebut kata ‘dia’.
Alma duduk di hadapanku dan menatapku dengan wajah psikolog kelas kakap. Kalau saja tidak sedang sekacau ini, aku pasti akan langsung mentertawakannya telak-telak.
Tapi, saat ini aku sedang benar-benar sedang kacau. Dan penyebabnya, tentu saja tepat dugaan Alma. Karena ‘dia’. Ya, ‘dia’ yang tadi pagi membuatku kesiangan gara-gara muncul di mimpiku.
“Ada apa lagi sih dengan si Luigi itu?” taya Alma lagi mungkin tak sabar menunggu jawabanku atas pertanyaan pertamanya.
“Namanya Mario, Ma,” sahutku singkat. “Sebenci apapun gue terhadapnya, gue nggak sampai mengganti-ganti nama orang lah. Biar bagaimanapun itu termasuk kriminal karena pemalsuan identitas.”
“Ya ampun, Sarah. Lupakan segala fikiran konyol soal kriminal dan pemalsuan identitas. Gue nanya, apa yang si brengsek itu lakuin sampai lo bete setengah mati kayak gini?” sergah Alma tak sabaran.
Dalam hati aku juga membenarkan kata-katanya. Untuk apa juga aku membahas soal kriminal?
“Dia muncul,” jawabku singkat.
“Apa? Dia muncul?” Alma terbelalak. “Sini kasih ke gue. Biar gue hajar dia sampai kapok. Dan gue akan pastiin kalau dia nggak akan pernah berani pergi dari lo lagi.” Alma ngoceh dengan berapi-api. Aku sedikit maklum mengingat dia adalah cewek tekwondo yang lumayan jago.
Aku menggeleng. “Lo nggak akan bisa hajar dia. Soalnya...”
Alma menunggu lanjutan ucapanku dengan wajah tak sabar.
“...dia munculnya di mimpi gue.”
“Aaaahhh, Saraaah. Gue kirain kenapa. Jadi, dia cuma muncul di mimpi lo?”
Aku mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Aku benar-benar bingung saat ini. Kenapa hanya karena mimpiku semalam aku mendadak ketakutan? Kenapa wajahku jadi benar-benar kusut? Padahal, seperti yang Alma bilang tadi, dia ‘cuma muncul di mimpi’. Tidak lebih dari itu.
Apa perasaanku muncul karena di mimpi semalam dia menghilang dan aku tak bisa menggapainya meski aku sudah mencoba? Apa karena itu?
Namun, hatiku merasa lebih. Mimpi itu begitu nyata. Begitu meninggalkan bekas. Dan memikirkan itu, dadaku jadi mendadak sesak.
Apa Mario akan pergi lagi seperti dalam mimpi itu? Apa dia akan meninggalkanku untuk kedua kalinya meskipun kita tak pernah bertemu lagi sejak setahun yang lalu?
Hanya ratusan pertanyaan yang melesak dalam otak dan hatiku. Namun, perlahan semua pertanyaan itu tergantikan dengan sebuah memori indah sekaligus menyakitkan.
Kali terakhir aku bertemu dengannya sebelum hari ini.
Mario...

-o0o-

Kenangan manis yang pahit setahun yang lalu...

Aku berlari kencang dengan senyum ceria yang selalu kuperlihatkan tiap akan bertemu Mario. Apalagi, hari ini adalah hari kelulusan Mario.
Belum lagi, pacarku itu pemilik NEM paling tinggi di SMA kami. Jadi, tak bisa ditawar-tawar lagi, aku harus memberinya selamat.
Kakiku melangkah di koridor sepi menuju bagian belakang sekolah dimana Mario menungguku. Aku melangkah lebih cepat, dan samar-samar aku mulai melihat Mario dari belakang. Aku kembali berlari, lalu menepuk bahunya dari belakang.
“Hei!” ujarku. Dia berbalik.
Kupikir, aku akan menemukan senyum manis yang biasa dia tunjukkan tiap bertemu denganku. Kupikir. Karena, setiap pemikiran belum tentu benar. Dan Mario kali ini menatapku tanpa ekspresi. Hanya wajah pucatnya yang menyapaku.
Dia lalu membuka mulutnya perlahan. Aku pikir, dia akan mengucapkan sesuatu untuk menyambutku. Tapi, lagi-lagi aku harus menerima bahwa setiap pemikiran belum tentu benar.
Dia menyodorkan sebuah kertas padaku dan mengucapkan dua kata yang tak pernah ingin aku dengar darinya. “Kita putus!”
Mataku melotot tak percaya. Namun, setelah itu mataku teralih pada kertas yang dia sodorkan.
Aku membacanya dengan teliti. Dan berhasil menyimpulkan sesuatu. Dia diterima di Harvard University.
Aku memandangnya dengan mata nanar. “Tapi kenapa putus? Kita kan bisa hubungan jarak jauh,” aku memberi alternatif lain selain putus.
“Maaf, aku nggak bisa, Sar.” Dia menjawab dengan datar. Aku benci saat dia berbicara seperti ini.
“Aku harus tau kenapa, Mario?” nada suaraku mulai tinggi.
“Kenapa? Kau bertanya kenapa?” sosoknya berkata lantang di hadapanku. Aku menanti kata-kata lanjutannya yang bisa ku kategorikan sebagai jawaban. “ Anggap saja aku ingin mencampakanmu!”
Aku diam.
Bahkan saat dia berbalik meninggalkanku, aku tetap diam.
Menunduk dalam tangis yang tak bisa ku elakkan lagi.
Mencampakkanku?
Mendadak hatiku rasanya seperti tersayat. Dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku.
Yang aku tahu, aku tiba-tiba ada di rumah. Dan, aku tak bernah meihat Mario lagi sejak saat itu...

-o0o-

“Sarah!”
“Aww..” pekikku. Aku menoleh dan mendapati Alma di sampingku baru saja mencubit lenganku.
“Apaan sih, Ma? Sakit tau,” omelku tak jelas.
“Siapa suruh lo ngelamun?” sahut Alma. “Udahlah Sar, nggak usah dipikirin lagi. It’s just a dream. No more.”
“Tapi terasa nyata, Ma,” timpalku.
“Mau nyata atau nggak, itu tetap cuma mimpi,” tegasnya. “Udah ah, gue masuk ke kelas dulu ya. Udah bel masuk.”
Aku memandang Alma yang berjalan menjauhiku. Ya, ini memang hanya mimpi. Tapi, benar-benar mimpi yang nyata. Entah berapa kali sudah aku mengatakannya.

-o0o-

Jika apa yang aku alami adalah sebuah cerita, mungkin inilah masalah klimaks dari perjalanan cerita itu.
Setelah perbincanganku di kantin tadi dengan Alma, aku terus-terusan melamun sampai membuat Alma jengkel setengah mati.
“Udah deh, Sar. Itu CUMA mimpi. Jangan kacangin gue untuk sebuah mimpi kosong begitu,” ucapnya tadi.
Dan aku membalas, “yaudah deh kalo nggak mau gue kacangin, pergi aja sana!”
Dan Alma langsung pergi.
Aku tak pernah bertengkar dengan Alma sebelumnya. Dan sekarang, aku bertengkar dengannya hanya karena masalah kecil. Aku bahkan tak pernah membayangkannya.
Aku agak sedikit menyesal membentaknya tadi. Tapi, dia memang benar-benar menyebalkan tadi. Jadi, aku tidak sepenuhnya salah kurasa.

-o0o-

Aku menyeret lemah kakiku menuju sebuah rumah. Aku tidak pulang bersama Alma seperti biasanya. Aku sengaja melarikan diri karena terus terang masih malas bertemu dengannya.
Meskipun ke tempat itu adalah hal yang konyol, mau bagaimana lagi, aku harus memastikan bahwa kekhawatiranku tidak terbukti.
Aku memandang jalan dengan tatapan kosong. Tiba-tiba,
Tiiin.. Tiin..
Suara klakson mobil menyapa telingaku.
Aku menoleh ke sumber suara dan melihat sebuah mobil yang sangat familiar. Honda Jazz biru milik Alma.
Apa? Alma?
Sedang apa dia disini? Seingatku, rumahnya tidak melewati jalan ini. Dan kenapa harus Alma? Aku benar-benar malas bertemu dengannya saat ini.
Aku berhenti, dan akhirnya mobil Alma sampai di sampingku. Cewek tomboi itu membuka kaca jendela dan menegurku.
“Sarah? Ngapain disini?” tanyanya dengan nada yang bisa dikategorikan ramah jika mengingat kami sedang bertengkar.
“Emm Alma, gue mau ke sebuah tempat,” jawabku canggung.
“Kemana? Mending gue anterin yuk,” ajaknya.
“Gue nggak bisa kasih tau lo,” tambahku dengan nada jengkel. “Cuma urusan yang setara sama ‘mimpi kosong’ kok,” sahutku dengan penekanan pada kata mimpi kosong.
Alma diam memandang ke jalan. Dari wajahnya, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Lalu, tiba-tiba air mukanya berubah dan seakan memandangku tak percaya.
“Lo mau ke rumah Mario?” JGER!!
Tebakan Alma menusuk langsung tepat sasaran. Aku ternyata memang tak pandai membohonginya. Ya ampun, bagaimana ini?
“Emm, well yeah! Gue emang mau ke rumah Mario. Terus kenapa? Lo pasti nggak peduli kan?” Aku memilih untuk jujur pada sobat kentalku itu. Karena, percuma saja membohonginya. Dia pasti akan mengetahui kalau aku berbohong dengan cepat.
“Sar, gue minta maaf ya soal tadi,” kata Alma lembut.
Alma tipe orang yang sangat jarang berkata lembut. Berarti saat ini dia memang tulus.
Aku mengangguk pelan. “Iya nggak papa, Ma. Gue juga minta maaf,” balasku.
“Jadi, lo bener-bener penasaran sama mimpi lo itu?” tanya Alma lagi.
“Ya, kira-kira gitu, Ma. Gue bener-bener ngerasa kalo mimpi itu terlalu nyata untuk dibilang mimpi,” jawabku memberikan jawaban  jujur lagi.
Alma manggut-manggut. “Yaudah naik yuk!”
Aku memandangnya tak percaya. Dia mengajakku untuk naik ke mobilnya. Apa artinya dia mau mengantarku?
“Maksudnya?” Aku meminta kepastian.
“Naik, Sarah. Ayo gue anter,” jawabnya dengan senyuman yang akan selalu kurindukan.
“Serius?” Aku masih mencoba meyakinkan.
“Iya, Sar. Gue nggak akan membiarkan sahabat terbaik gue menghadapi apapun sendirian. Termasuk mimpi buruk lo soal Mario itu,” jawabnya.
Aku diam memandang Alma lewat kaca mobilnya yang terbuka.
“Mau naik nggak nih?” ujar Alma menyadarkanku dari lamunan.
“Iya, gue naik,” jawabku dengan senyum tulus.
Sungguh, aku benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti Alma. Meskipun dia keras hati, keras kepala, tapi dia tetap sahabatku yang baik. Yang terbaik yang pernah kumiliki.
Aku sanggup kehilangan puluhan Mario, tapi aku nggak akan sanggup untuk kehilangan seorang Alma.

-o0o-

Tok.. Tok.. Tok..
Aku mengetuk perlahan gerbang rumah Mario dengan Alma disampingku.
Rumah Mario memang tidak terlalu besar, tapi benar-benar rumah yang nyaman. Dulu, aku sering sekali main kesini.
Tapi, sekarang tempat ini benar-benar asing dimataku.
Dulu, Tante Eva, ibu Mario menyambutku di rumah ini dengan senyumannya yang teduh. Tante Eva adalah wanita kedua yang bisa membuatku nyaman berada di dekatnya. Yang pertama tentu saja ibuku sendiri.
Beliau benar-benar wanita yang luar bisa. Matanya yang sejuk, senyumannya yang teduh, keramahannya yang akan membuat siapapun tersenyum.
Seseorang muncul dari pintu rumah dan berjalan menuju gerbang. Aku tidak mengenalnya. Mungkin saja dia pembantu baru di rumah ini.
“Cari siapa non?” tanya orang itu memandangku dengan waspada.
“Tante Eva nya ada?” tanyaku balik, tidak menjawab pertanyaannya.
“Nyonya Eva?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Aku agak heran juga, kenapa yang aku tanyakan justru Tante Eva, bukan Mario. Mungkin, aku sedang tidak ada minat untuk bertemu dengan Mario dulu setelah apa yang dia lakukan padaku.
“Nyonya Eva baru saja berangkat ke bandara untuk menjenguk Den Mario di Singapura,” jawabnya. Hah? Mario? Singapura?
“Sejak kapan ya?” tanyaku buru-buru.
“Baru saja berangkat,” jawabnya lagi.
“Makasih ya, Bi.”
Setelah mengucapkan itu, aku langsung menarik tangan Alma dan berlari menuju mobilnya. Orang yang menurutku pembantu Mario melongo kutinggalkan begitu saja.
Dengan sigap, aku menarik kunci mobil di tangannya dan duduk di kursi supir.
Alma yang bingung hanya pasrah karena kudorong ke kursi sebelah supir. Dia hanya memandangku sambil berulang-ulang bertanya , “kenapa sih, Sar?” Tapi aku tak menjawab. Hanya konsentrasi untuk menyetir secepat aku bisa ke bandara.
Aku membawa mobil Alma dengan kecepatan 80 Km/Jam di sepanjang jalan. Kecepatan yang cukup gila mengingat ini bukan jalan tol. Dan sangat gila mengingat aku belum memiliki SIM.
“SARAH! Lo stres ya? Kalo mau mati jangan ajak gue dong!” Protes Alma.
Tapi lagi-lagi aku hanya konsentrasi menyetir sambil memperhatikan kalau-kalau aku melewati Toyota Camry hitam, mobilnya Tante Eva.
Tapi, sepanjang jalan, aku tidak melihat satupun mobil itu.
Ketika mendekati bandara, aku menurunkan kecepatan. Lalu, tanpa memarkirkan mobil terlebih dahulu, aku turun meninggalkan Alma yang teriak-teriak padaku.
Aku tidak peduli. Aku harus mengejar Tante Eva sekarang. Aku merasa harus mengejar Tante Eva sekarang atau aku akan menyesal.
Aku berlari ke terminal 2A. Terminal keberangkatan Singapura hari ini. Berlari secepat aku bisa.
Aku harus bisa mengejar Tante Eva. Entah apa yang menyebabkanku harus mengejar beliau. Aku mungkin merasa kalau aku harus tahu apa yang dilakukan Mario di Singapura. Atau tepatnya, apa yang terjadi pada Mario sampai harus dijenguk di Singapura.
Aku terus berlari sepanjang koridor terminal 2A. Dan akhirnya, mataku melotot lega melihat sosok yang kukenal.
Aku langsung menghadang jalannya dan memanggilnya, “Tante Eva!”
Setidaknya, aku merasa mengenalnya sebelum aku melihat wajahnya. Karena aku agak tidak yakin melihat kerutan diwajah wanita di hadapanku. Belum lagi kantung matanya yang menghitam, dan wajahnya yang tirus. Benar-benar tidak terlihat seperti Tante Eva.
Tanpa diduga, Tante Eva memelukku erat-erat. “Tante mencarimu kemana-mana, Sarah,” ujarnya sambil menangis.
Air matanya mulai membasahi seragam SMA ku, dan akupun tanpa sadar menangis. “Tante apa kabar? Gimana dengan Mario?” tanyaku setelah pelukan kami terlepas.
Wajah Tate Eva terlihat lebih hancur dari sebelumnya ketika aku menyebut nama Mario. “Kabar buruk...” ucapnya lirih.
Aku menatapnya penuh pertanyaan. Buruk? “Maksudnya, Tan?” tanyaku.
Tante Eva tak menjawab pertanyaanku. Dia malah mengatakan sesuatu yang membuatku makin bingung. “Kamu berangkat ke Singapura ya dengan pesawat selanjutnya. Tante akan belikan tiketnya.”
Aku melongo. Ke Singapura?
“Tapi, Tante?”
“Apa lagi, Sarah?” sergah Tante Eva terkesan tak sabaran.
“Paspor saya di rumah,” jawabku agak linglung.
“Ya sudah. Ayo tante temani ke rumah kamu sekalian Tante minta izin orang tuamu,” usulnya.
Dan aku mengangguk.
Kami lalu berjalan keluar terminal bandara, dan berpapasan dengan Alma.
Aku menghampiri Alma dan memeluknya. Membuat Alma bengong seketika.
“Makasih ya, Ma. Lo adalah sahabat terbaik yang pernah gue punya,” ucapku lirih dalam pelukan Alma.
Lalu dia membisikan sesuatu juga. “Makasih, Sar,” lalu dia melanjutkan, “tapi, lo belom mandi berapa tahun sih? Bau banget badan lo, sumpah!”
Aku langsung menjitaknya. “SIAL!”

-o0o-

Aku tidak tahu sama sekali kenapa Tante Eva membawaku ke sebuah rumah sakit di Singapura ini.
Tapi, perasaanku benar-benar tidak enak. Entah rasa apa yang terkumpul saat ini. Aku benar-benar dibuat tidak nyaman karenanya.
Aku masih mengikuti langkah kaki Tante Eva. Makin lama, perasaanku makin buruk.
Alma menggenggam tanganku erat disampingku. Dia memang memutuskan untuk ikut. Lagi-lagi karena alasan tak-bisa-membiarkanku-menghadapi-semuanya-sendirian. Membuatku semakin beruntung memilikinya.
Kami bertiga tehenti di depan ruang ICU. Aku menatap Tante Eva dengan penuh tanya.
“Masuklah...” Tante Eva mempersilahkanku masuk ke ruangan aku. Membuatku semakin bingung dari sebelumnya.
Tapi, sebingung apapun, aku tetap mengikuti apa yang dia katakan. Aku masuk ke dalam ruang ICU itu setelah mengenakan baju khusus penjenguk.
Aku menghampiri sosok yang berada di atas tempat tidur. Mendekatinya perlahan dan berusaha mengenalinya.
Jantungku berdetak cepat tak karuan. Tapi anehnya, ini bukan lagi perasaan takut. Melainkan perasaan yang dulu kurasakan ketika aku masih bersama...
“Mario!” pekikku kaget.
Yang berada di atas tempat tidur itu adalah Mario.
Mario yang setahun terakhir selalu menghantui hidupku.
Mario yang belakangan ini selalu mengganggu tidurku dengan muncul dalam mimpiku.
Mario yang membuatku terbang dan menjatuhkanku sekeras dia bisa.
Mario-ku yang...
Aku menangis menggenggam tangannya.
Jadi ini? Arti mimpi itu seburuk ini?
Aku  terus menangis. Sampai rasanya aku tak bisa berhenti menangis.
Aku merasakan sebuah tangan merangkul bahuku.  Namun, aku tak mengacuhkannya. Aku hanya terkonsentrasi pada Mario saat ini. Sampai, orang itu bicara...
“Mario menderita tumor otak sejak setahun yang lalu, Sarah.”
Aku menoleh pada sosok itu. Tante Eva.
“Sebelum dia menerima hasil kelulusannya, dan divonis tepat sehari setelah mengikuti seleksi masuk Harvard University,” lanjut Tante Eva.
Jadi, mungkinkah sebenarnya...
“Dia shock, takut, terpuruk, karena menurut dokter tumor otak yang dideritanya bukanlah tumor jinak, melainkan tumor ganas.” Tante Eva bercerita dengan wajah sendu. Membuat airmataku semakin deras.
“ Dan sebenarnya, vonis dokter mengatakan dia hanya bisa hidup sampai empat bulan yang lalu. Tapi nyatanya, dia bisa bertahan sampai hari ini.” Aku memandang tak percaya.
“Semuanya kecuali Tante menyebut ini mukjizat. Tapi, menurut Tante, dia hanya ingin menunggu kamu, Sarah.”
Aku mempererat genggaman tanganku pada Mario. Seakan tak ingin melepaskannya sedikitpun. Dan bahkan setelah aku datang, aku tak akan membiarkan Mario pergi.
“Mario koma sejak dua bulan yang lalu. Dan, yang dia sebut hanya nama kamu, Sarah. Itu sebabnya Tante terus cari kamu,” tambah Tante Eva.
Aku memandang sosok Mario yang terbaring di atas kasur itu dari atas ke bawah. Dia tampak kurus, dan keadaannya sangat buruk.
Aku tak percaya bahwa yang ada di hadapanku saat ini benar-benar Mario.
“Mario...” panggilku lirih.
Aku lalu mendekat ke telinganya dan membisikkan sesuatu. “Kamu menungguku, ‘kan? Nah, sekarang aku datang, jadi bukalah matamu! Kau berhutang penjelasan kenapa kau meninggalkanku.”
Aku melihat reaksi Mario atas kata-kata yang kubisikkan. Tapi, tak terjadi apa-apa. Mario tetap diam.
Aku meremas tangannya keras, berharap bisa memancing sesuatu.
Tapi, mugkin memang terkadang apa yang terjadi tak bisa sesuai dengan...
Tunggu dulu.
Mario membuka matanya perlahan.
Apa yang kuharapkan terjadi. Meski peluangnya tak sampai 1%.
“Hei!” sapa Mario perlahan padaku.
“Aku merindukanmu,” ujarku sambil tersenyum dan dengan mata masih penuh air.
Tante Eva memandang Mario yang siuman dengan tatapan tidak percaya. Tadinya, kupikir Tante Eva akan memeluk Mario kencang, atau memanggil dokter. Tapi, ternyata beliau hanya mengatakan, “ini waktu kalian,” sambil tersenyum ikhlas dan duduk manis di pojok ruangan.
“Jadi, ceritakan sesuatu tentangmu, Mario!” pintaku.
“Tentangku? Well, ya aku akan menceritakannya,” sahutnya dengan suara perlahan namun tetap memperlihatkan kesan arrogannya yang biasa. Sedikit menghiburku.
“Aku adalah pasien penderita tumor otak ganas stadium akhir. Satu-satunya cara agar aku bisa sembuh adalah, aku harus melakukan operasi pengangkatan tumor yang resiko gagalnya adalah 80%.” Aku mendengus agak jengkel.
“Yang bener aja Mario. Aku jauh-jauh datang dari Indonesia cuma dikasih cerita seperti itu? Kau ini payah ah,” ledekku.
Mario tertawa pelan. Tawa yang selalu aku rindukan.
“Lagipula, kamu pernah mendapatkan sesuatu yang peluangnya lebih kecil dari itu,” sahutku.
“Maksudnya?”
“Kamu pernah jadi pemenang Olimpiade Sains Nasional yang kemungkinan menangnya cuma 5%. Terus, kamu pernah menjadi peraih medali emas di Olimpiade Matematika tingkat Regional yang kemungkinannya cuma 1%. Dan yang paling hebat, kamu lolos seleksi Harvard University yang kemungkinannya nggak sampai 0,1%. Tapi, kamu bisa, ‘kan?” ocehku panjang lebar.
Mario tidak bereaksi. Dia malah menatapku.
“Sarah...” panggilnya. “Mungkin aku hebat karena pernah menaklukkan semua itu. Tapi, ini bukan masalah menang atau kalah. Ini masalah hidup dan mati.”
Mario mengucapkannya dengan lemah. Membuat aku pahit mendengarnya.
“Lagipula, aku manusia biasa. Tuhan nggak mungkin membiarkan aku selalu mendapatkan apa yang aku mau dengan kemungkinan sekecil apapun. Mungkin ini cara Tuhan untuk membuktikan bahwa aku bisa kalah dalam kemungkinan yang satu ini.”
Aku menempelkan telunjukku di mulutnya tepat ketika dia menyelesaikan kalimat itu. “Aku nggak mau lagi denger kamu pesimis kayak gini Mario. Aku nggak mau.”
Aku dan Mario terdiam selama beberapa lama.
Dan yang pertama berbicara adalah aku. “Kamu harus jelasin, kenapa kamu ninggalin aku waktu itu?”
“Kenapa? Kamu masih tanya kenapa? Kan aku udah bilang sama kamu waktu itu. Anggap aja aku mau mencampakkan kamu...”
Aku hampir menangis lagi. Tapi, Mario melanjutkan ucapannya.
“Meski sebenarnya, aku cuma nggak mau menyakiti kamu lebih jauh.”
Apa? Nggak mau menyakiti aku lebih jauh? Karena penyakit itu?
“Itu konyol, Mario,” celaku. “Aku nggak akan ninggalin kamu meskipun kamu sakit.”
Lalu, Mario menjawab, “kamu memang nggak akan meninggalkan aku. Tapi, aku yang akan meninggalkan kamu. Dan aku takut kamu nggak siap aku tinggal.”
Aku berpikir sejenak. Dia takut aku nggak siap? Aku akan buktiin kalau aku siap. Seperti apapun sakitnya aku.
“Aku mau kamu sembuh,” ucapku.
Mario kaget. “Kan aku udah bilang, satu-satunya cara supaya aku sembuh adalah dengan...”
“Dan aku mau kamu operasi pengangkatan tumor,” selaku. “Aku akan hadapi meskipun kemungkinannya cuma 20%.”
“Bagaimana kalau yag terjadi adalah yang 80%?” tanya Mario.
“Harga mati, Mario. Aku harus menerimanya...”

-o0o-

Dua tahun kemudian...

Selesai menaruh bunga dan berdoa. Aku pergi ke lapangan luas dekat pemakaman dan berjalan-jalan disana.
Aku memperhatikan anak-anak yang sedang bermin layangan dengan agak menyesal. Andai saja aku mengajak Alma kesini, pasti kami sudah bergabung dengan anak-anak itu.
Aku memperhatikan layang-layang di atas dengan tersenyum sambil mengingat banyak kenanganku bermain layang-layang.
Bersama Ibu dan Ayah, bersama Alma, bersama Mario...
Ya, Mario. Sudah lama sekali sejak terakhir kami bermain layang-layang bersama. Jujur, aku merindukannya.
Tiba-tiba, mataku menangkap sebuah layang-layang yang unik. Layang-layang besar dengan banyak tulisan di sisinya. Itu punya siapa ya?
Mataku mencari-cari seseorang yang mengendalikan layang-layang itu. Dan menemukannya. Seorang laki-laki usia 20 tahunan sedang menerbangkannya.
Aku menghampiri orang tersebut. “Permisi...” sapaku sopan.
Laki-laki itu menoleh padaku dan menatapku geli. “Iya Mbak?”
Ya ampun, dia panggil aku Mbak? Memangnya aku lebih tua dari dia?
“Layang-layang yang itu punya Mas?” tanyaku sambil menunjuk layang-layang penuh tulisan.
Laki-laki itu mengangguk. “Iya. Tulisan itu untuk Adik gue yang udah meninggal. Itu cara gue untuk menyampaikan pesan ke dia. Yah, meskipun kemungkinan dia baca itu cuma 1%, bukan berarti nggak mungkin, ‘kan?”
Aku memandangnya. Kata-katanya mirip seseorang. Aku jadi berpikir untuk menuliskan sesuatu kepada ‘seseorang’ itu.
“Mas, dimana ya beli layang-layang seukuran itu?” tanyaku.
Dia tak menjawab, malah menyodorkan sebuah layang-layang besar dan sebuah spidol. “Mbak bisa pake ini. Punya gue,” ujarnya.
Ya ampun, baik banget orang ini. “Makasih ya, Mas.”
Aku langsung menuliskan sesuatu di layang-layang itu.


Dear Mario,
Dua Tahun setelah kamu pergi.
Aku bener-bener merasa hidup aku kosong kalau aja nggak ada Alma disamping aku. Alma yang selalu mendorong aku untuk sabar menerima 80% dari kemungkinan hasil operasi kamu.
Kamu mungkin benar ya, Tuhan nggak pernah mengizinkan hamba-Nya menjadi terlalu sempurna. Tapi kamu nggak perlu menjadi sempurna untuk menjadi penting di hati aku.
Berita baiknya, sekarang aku kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Memang jauh kalau dibandingkan dengan Harvard University, tapi aku seneng kuliah disana karena masih satu kampus sama Alma.
Baik-baik di surga ya, Mario.
Love you...


Dan aku mengakhiri tulisan itu.
Aku bermaksud mengembalikan spidol ketika aku sadar, aku tidak bisa menerbangkan layangan. Itu artinya, mungkin aku hanya akan menyimpan layangan ini, atau...
“Mas, boleh minta tolong?”  tanyaku pada laki-laki tadi. Orang itu sekarang sedang menggulung benang. Sepertinya layangannya putus.
“Minta tolong apa?” tanyanya.
“Gue nggak bisa nerbangin layangan,” jawabku pelan.
“Hahahahaha,” laki-laki itu tertawa membuat aku jengkel.
“Yaudah, Mas kalo nggak mau bantuin,” omelku. Aku bergegas pergi dari sana. Namun, dia menahan tanganku.
“Gue mau terbangin layangan itu,” sahutnya, “tapi ada syaratnya.”
Aduh, apa lagi sih ini? Pake syarat-syarat segala lagi.
“Lo nggak boleh panggil gue Mas. Panggil gue, Alakai.”
Alakai? Tunggu, Alakai kan...
“Ya ampun, Kak. Maaf, aku nggak terlalu memperhatikan wajah Kakak,” ujarku  agak malu.
Alakai adalaah Ketua Senat di kampusku. Oke, diulang ya, dia adalah KETUA SENAT. Tapi aku nggak mengenali wajahnya sama sekali. Bahkan panggil dia ‘Mas’.
“Yaudahlah, nyantai aja. Panggil gue Alakai. Oh iya, siapa nama lo?” tanyanya. Entah kenapa wajahku seketika memerah. Ada rasa nyaman yang aneh berada di sampingnya.
“Nama aku Sarah, Kak, eh- Alakai,” jawabku.
“Oke, Sarah. Sini gue terbangin,” katanya sambil meraih layang-layang yang ada di tanganku.
Dia menerbangkannya dengan baik dan mengajakku memainkan layang-layang itu. Kami tertawa lepas.
Mungkin, ini adalah pertama kalinya aku bisa tertawa lepas sejak meninggalnya Mario. Dan pertama kalinya aku bisa merasakan getaran ini lagi sejak Mario pergi.
Alakai...
Mungkinkah?

 Selama belum menyentuh angka nol, apapun itu masih bisa terjadi...

-FIN-

Jakarta
6 Juli 2011

You Might Also Like

0 Comments