Terima Kasih, Pak Rasyid!
16.43.00
Rheina menatap
pusara keluarganya dengan wajah sendu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain
mengalirkan airmata dalam diam. Ya, hanya dalam diam. Bukan pecahan tangis yang
memekakkan telinga, atau bahkan raungan tak teredam tanda kehilangan.
Rheina gamang. Ia
tak tahu apa tepatnya yang harusnya ia rasakan. Kadang, rasa sesal menyeruak
dalam benaknya. Andai ia tak pernah memutuskan sekolah berasrama, pasti di
malam naas itu ia sedang bersama keluarganya, berada di dalam mobil maut itu.
Pasti.
Tapi terlepas
dari itu, Rheina sadar ia bukan anak kecil yang bisa terus-menerus larut dalam
kesedihan. Ia sudah dewasa. Dan sepinya hidup bukan alasan untuk menenggelamkan
kedewasaannya. Meski ia tahu benar, inilah makna kesepian yang sebenarnya.
-oOo-
“Rhe!” panggil
Arista lemah. Ia khawatir lantaran sahabatnya itu sekarang ini lebih banyak
diam. Memang, ini hal yang cenderung wajar, melihat apa yang baru dialami oleh
Rheina. Seluruh keluarganya mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobilnya masuk ke
jurang yang cukup dalam. Seluruh penghuninya meninggal dunia, dengan jasad
hancur dan sulit dikenali. Tapi, kewajaran tidak dapat meredam kekhawatirannya.
Rheina menoleh
lemah. Berjuta masalah berkelebat di otaknya. Dari mulai tante dan omnya
meributkan soal harta orangtuanya, rasa sakit dan merasa sendirian, sampai
masalah beasiswanya yang akan dicabut oleh yayasan. Dalam satu tolehan pada
Arista, Rheina mengekspresikan semuanya.
“Yaampun, Rhe.
Muka lo pucet banget. Lo nggak enak badan?” tanya Arista.
Rheina menggeleng
lemah. “Gue cuma lagi mikir kok, Ris,” jawabnya lemah. Semakin terdengar rapuh.
Arista merangkul
pundak sahabatnya dan berkata, “Rhe, jangan mikir sendirian ah. Kalo misalnya
lo punya sesuatu yang memberatkan lo, jangan pernah ragu bagi-bagi itu ke gue.”
Rheina terdian
sejenak sebelum bergumam, “gue takut nggak bisa sekolah lagi, Ris”
“Lho? Kenapa,
Rhe?” Arista mengernyitkan kening.
“Beasiswa gue
sebentar lagi dicabut sama pemilik yayasan. Papa sama Mama udah nggak ada, jadi
nggak bisa membiayai sekolah gue. Tante sama Om gue malah ngeributin harta
peninggalan Mama sama Papa, nggak memikirkan kelanjutan pendidikan gue sama
sekali.” Akhirnya keluh Rheina terucap juga, setelah selama ini berusaha ia
tutupi dengan rapi.
“Lo kan bisa
kerja sambilan, Rhe. Dan bisa nuntut Om dan Tante lo juga untuk membiayai
pendidikan lo. Biar bagaimanapun, itu kan uang orangtua lo,” saran Arista.
Rheina menggeleng
sambil tersenyum mengejek. “Gue udah pernah nyoba ngomong sama Om dan Tante,
tapi hasilnya nihil, Ris. Masalah kerja part
time, udah gue lakuin. Tapi itu cuma cukup buat kehidupan gue sehari-hari.
Tau sendiri kan seberapa mahal biaya sekolah sekarang ini, bahkan meskipun gue
pindah dari sekolah supermahal ini, hasil kerja part time gue tetep nggak cukup.”
“Kalo gitu, Rhe,
satu-satunya cara adalah, kita harus bisa mencegah beasiswa lo dicabut. Atau,
lo harus bisa dapetin beasiswa di instansi lain,” Arista kembali memberikan
saran.
Rheina mulai
tersenyum. Mungkin saja ini merupakan satu titik cerah baginya. “Tapi, gimana
caranya, Ris?”
“Tenang, ikut
gue!”
-oOo-
“Jadi, kalian mau
meminta bantuan saya?”
Rheina dan Arista
mengangguk bersamaan. “Iya, Pak,” sahut Arista. “Rheina kan siswi yang
berprestasi, sangat disayangkan jika dia harus berhenti sekolah karena
tersangkut masalah biaya. Maka, kami sangat berharap Bapak bisa membantu kami,”
lanjut Arista.
Saat ini, dua
gadis itu sedang berada di ruang tata usaha SMA Terpadu Pelita Bangsa, sekolah
mereka. Berhadapan dengan kepala tata usaha, Pak Rasyid. Mereka berharap Pak
Rasyid dapat membantu Rheina keluar dari masalahnya.
“Saya takut
berjanji. Saya takut mengecewakan kalian berdua,” gumam Pak Rasyid. “Saya tahu
Rheina anak yang berprestasi, tapi masalahnya saya dengar, yayasan sedang
krisis. Jika sekolah ini ingin tetap bertahan, maka yayasan harus menarik semua
beasiswa untuk sementara waktu.”
Rheina menunduk
dalam-dalam. Sejak awal Arista membawanya kesini, ia tahu tak banyak yang bisa
diperbuat Pak Rasyid. Biar bagaimanapun, Pak Rasyid bukan penentu keputusan,
melainkan hanya pegawai yang dipekerjakan yayasan.
“Tapi, saya akan
mencoba membantu kalian.” Mendengar kata-kata Pak Rasyid wakah Rheina dan
Arista terangkat, dan mata mereka seakan berbinar.
“Benarkah, Pak?”
tanya Rheina.
Pak Rasyid
mengangguk. “Saya akan berusaha semaksimal mungkin.”
Rheina pun
tersenyum, lalu mereka berdua mengucapkan terima kasih.
-oOo-
Rheina berkutat
dengan seluruh materi di tangannya. Kemarin, Pak Rasyid memberitahunya bahwa
beliau tidak bisa membantu mencegah yayasan menghentikan beasiswa untuk Rheina.
Tapi, beliau memberikan sebuah formulir pengajuan beasiswa ke sebuah lembaga
yang cukup terkenal di Indonesia.
Kata Pak Rasyid,
formulir itu beliau dapatkan dari teman yang bekerja di lembaga tersebut. Dan
jumlah formulir itu sendiri kabarnya sangat terbatas, dan tidak di share bebas.
Lembaga tersebut
menawarkan beasiswa secara kesinambungan sampai mendapat gelar sarjana, di
universitas dalam atau luar negeri. Tapi konsekuensinya, jika Rheina ingin mengajukan
diri untuk menerima beasiswa ini, ia yang sudah kelas dua SMA, harus kembali
duduk di bangku kelas satu.
Tentu saja
mengulang satu tahun bukan masalah besar bagi Rheina. Asalkan, dia bisa sekolah
sampai minimal mendapat gelar sarjana. Maka disinilah Rheina, berkutat dengan test material yang akan diujikan dalam
serangkaian tes yang akan dimulai besok.
Arista belum tahu
masalah ini. Rheina memilih untuk tidak memberitahu Arista terlebih dahulu.
Nanti, kalau sudah pasti ia mendapatkan beasiswa ini, barulah ia akan
memberitahu Arista. Biar bagaimanapun, mengajukan diri menjadi penerima
beasiswa ini mengandung sebuah konsekuensi yang tidak ringan. Ia harus siap
jika lembaga yang bersangkutan memintanya untuk meninggalkan kehidupannya.
Termasuk,
berpisah dengan Arista. Rheina tidak ingin terlalu memusingkan Arista dengan
masalah ini. Ia yakin, Arista juga punya banyak hal yang harus diurusnya,
selain hanya memusingkan tentangnya.
-oOo-
Seminggu yang lalu, di hari dan jam yang sama, aku
baru saja melepas kepergian sahabatku, Rheina. Dia pergi ke Inggris untuk
memenuhi konsekuensinya sebagai salah satu penerima beasiswa dari sebuah
lembaga yang cukup terkenal di Indonesia.
Kurang lebih sebulan yang lalu, dia datang padaku
membawa surat konfirmasi dari lembaga bersangkutan, yang menyatakan bahwa dia
berhak atas beasiswa pendidikan sekolah menengah selama tiga tahun di London International High School, lengkap dengan living cost-nya. Selain itu, Rheina juga berhak atas
beasiswa kuliah di LSE (London School of Economics and Political Sciences), lengkap dengan living cost-nya.
Yah, aku merasa itu ganjaran yang wajar untuk
Rheina, mengingat serangkaian tesnya memakan waktu nyaris enam bulan. Dan
selama itu, Rheina tetap sekolah dengan bantuan biaya dari Pak Rasyid,
orangtuaku dan beberapa teman lainnya.
Aku tahu tentang usaha Rheina sejak awal, meski
Rheina memilih untuk tidak memberitahuku. Aku menghargai keputusannya untuk
tidak berkata apapun padaku. Mungkin, dia tidak ingin memberatkanku, meski aku
tak pernah merasa terberatkan. Di bulan
kedua tesnya, aku melihat dia benar-benar sudah kesulitan. Beasiswanya sudah
dicabut, ia dipecat dari kerja part time-nya, Om dan Tantenya kabur membawa
harta orangtuanya ke luar negeri, hanya menyisakan rumahnya yang dalam hitungan
hari akan disita oleh bank. Jadi, aku memutuskan untuk membantunya dan behenti
berpura-pura tidak tahu. Aku dan Pak Rasyid, kami bersama-sama berusaha
menegakkan lagi sayap Rheina.
Tiga hari setelah Rheina terbang ke Inggris, Pak
Rasyid dipindahtugaskan. Entah kemana, aku tidak tahu, atau setidaknya belum
tahu.
Yang aku tahu, berkat bantuan Pak Rasyid, Rheina
saat ini bisa kembali terbang di Britania Raya sana.
-oOo-
Tujuh tahun kemudian...
Bandara Soekarno-Hatta...
“Gue kangen,
Ris.” Rheina memeluk Arista erat. Sangat erat. Sampai Arista heran bagaimana ia
masih bisa bernafas dalam kondisi itu.
“Sama, Rhe, gue
juga kangen banget sama lo. Udah lamaaaaaa banget kita nggak ketemu langsung.
Lo cuma jadi screensaver doang di
laptop gue,” jawab Arista.
“Sama, Ris. Lo
juga kayak screensaver laptop. Ada,
tapi nggak bisa gue sentuh.”
Arista
mengencangkan pelukannya di tubuh Rheina. “Sekarang bisa disentuh kan, Rhe?”
“Aww!! Sakit,
Ris...” sahut Rheina mengaduh dan mencoba melepaskan diri dari pelukan Arista.
Lalu, mereka
berdua tertawa bersama.
Di tengah
tawanya, tiba-tiba Rheina teringat sesuatu. “Ris, Pak Rasyid gimana kabarnya?”
Mendengar
pertanyaan Rheina, tubuh Arista menegang. Ia tertunduk dalam dan meneteskan
airmata perlahan. Rheina bingung dengan situasi ini, namun cepat-cepat
mencernanya.
Rheina kembali
memeluk Arista. Hangat. Kali ini bukan peluk erat kerinduan akan sahabat.
Namun, peluk yang menenangkan hati yang tak tenang. Terluka karena kehilangan.
Tanpa sadar, Rheina juga ikut menangis. Tanpa perlu Arista menjelaskan secara
verbal, Rheina mengerti. Bahwa kepala Tata Usaha SMAnya, yang begitu baik
membantunya hingga bisa seperti saat ini, telah beristirahat.
Dan bahkan,
sampai waktu beliau tiba, Rheina dan Arista belum sempat berucap. Maka saat ini,
di Bandara, pagi hari, Rheina tahu Pak Rasyid akan mendengarnya. Akan mendengar
sebaris kalimat yang berisi ketulusan untuk membalas ketulusan beliau. Ditemani
pelukan Arista, dan airmata yang tak bisa berhenti meleleh dari kelopak mata
kedua gadis itu, Rheina menggumam perlahan, “terima kasih, Pak Rasyid...”
Serpong
18 November 2012
0 Comments