Selasa, 14 Juni 2016

Terima Kasih, Pak Rasyid!

Rheina menatap pusara keluarganya dengan wajah sendu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengalirkan airmata dalam diam. Ya, hanya dalam diam. Bukan pecahan tangis yang memekakkan telinga, atau bahkan raungan tak teredam tanda kehilangan.
Rheina gamang. Ia tak tahu apa tepatnya yang harusnya ia rasakan. Kadang, rasa sesal menyeruak dalam benaknya. Andai ia tak pernah memutuskan sekolah berasrama, pasti di malam naas itu ia sedang bersama keluarganya, berada di dalam mobil maut itu. Pasti.
Tapi terlepas dari itu, Rheina sadar ia bukan anak kecil yang bisa terus-menerus larut dalam kesedihan. Ia sudah dewasa. Dan sepinya hidup bukan alasan untuk menenggelamkan kedewasaannya. Meski ia tahu benar, inilah makna kesepian yang sebenarnya.

-oOo-

“Rhe!” panggil Arista lemah. Ia khawatir lantaran sahabatnya itu sekarang ini lebih banyak diam. Memang, ini hal yang cenderung wajar, melihat apa yang baru dialami oleh Rheina. Seluruh keluarganya mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobilnya masuk ke jurang yang cukup dalam. Seluruh penghuninya meninggal dunia, dengan jasad hancur dan sulit dikenali. Tapi, kewajaran tidak dapat meredam kekhawatirannya.
Rheina menoleh lemah. Berjuta masalah berkelebat di otaknya. Dari mulai tante dan omnya meributkan soal harta orangtuanya, rasa sakit dan merasa sendirian, sampai masalah beasiswanya yang akan dicabut oleh yayasan. Dalam satu tolehan pada Arista, Rheina mengekspresikan semuanya.
“Yaampun, Rhe. Muka lo pucet banget. Lo nggak enak badan?” tanya Arista.
Rheina menggeleng lemah. “Gue cuma lagi mikir kok, Ris,” jawabnya lemah. Semakin terdengar rapuh.
Arista merangkul pundak sahabatnya dan berkata, “Rhe, jangan mikir sendirian ah. Kalo misalnya lo punya sesuatu yang memberatkan lo, jangan pernah ragu bagi-bagi itu ke gue.”
Rheina terdian sejenak sebelum bergumam, “gue takut nggak bisa sekolah lagi, Ris”
“Lho? Kenapa, Rhe?” Arista mengernyitkan kening.
“Beasiswa gue sebentar lagi dicabut sama pemilik yayasan. Papa sama Mama udah nggak ada, jadi nggak bisa membiayai sekolah gue. Tante sama Om gue malah ngeributin harta peninggalan Mama sama Papa, nggak memikirkan kelanjutan pendidikan gue sama sekali.” Akhirnya keluh Rheina terucap juga, setelah selama ini berusaha ia tutupi dengan rapi.
“Lo kan bisa kerja sambilan, Rhe. Dan bisa nuntut Om dan Tante lo juga untuk membiayai pendidikan lo. Biar bagaimanapun, itu kan uang orangtua lo,” saran Arista.
Rheina menggeleng sambil tersenyum mengejek. “Gue udah pernah nyoba ngomong sama Om dan Tante, tapi hasilnya nihil, Ris. Masalah kerja part time, udah gue lakuin. Tapi itu cuma cukup buat kehidupan gue sehari-hari. Tau sendiri kan seberapa mahal biaya sekolah sekarang ini, bahkan meskipun gue pindah dari sekolah supermahal ini, hasil kerja part time gue tetep nggak cukup.”
“Kalo gitu, Rhe, satu-satunya cara adalah, kita harus bisa mencegah beasiswa lo dicabut. Atau, lo harus bisa dapetin beasiswa di instansi lain,” Arista kembali memberikan saran.
Rheina mulai tersenyum. Mungkin saja ini merupakan satu titik cerah baginya. “Tapi, gimana caranya, Ris?”
“Tenang, ikut gue!”

-oOo-

“Jadi, kalian mau meminta bantuan saya?”
Rheina dan Arista mengangguk bersamaan. “Iya, Pak,” sahut Arista. “Rheina kan siswi yang berprestasi, sangat disayangkan jika dia harus berhenti sekolah karena tersangkut masalah biaya. Maka, kami sangat berharap Bapak bisa membantu kami,” lanjut Arista.
Saat ini, dua gadis itu sedang berada di ruang tata usaha SMA Terpadu Pelita Bangsa, sekolah mereka. Berhadapan dengan kepala tata usaha, Pak Rasyid. Mereka berharap Pak Rasyid dapat membantu Rheina keluar dari masalahnya.
“Saya takut berjanji. Saya takut mengecewakan kalian berdua,” gumam Pak Rasyid. “Saya tahu Rheina anak yang berprestasi, tapi masalahnya saya dengar, yayasan sedang krisis. Jika sekolah ini ingin tetap bertahan, maka yayasan harus menarik semua beasiswa untuk sementara waktu.”
Rheina menunduk dalam-dalam. Sejak awal Arista membawanya kesini, ia tahu tak banyak yang bisa diperbuat Pak Rasyid. Biar bagaimanapun, Pak Rasyid bukan penentu keputusan, melainkan hanya pegawai yang dipekerjakan yayasan.
“Tapi, saya akan mencoba membantu kalian.” Mendengar kata-kata Pak Rasyid wakah Rheina dan Arista terangkat, dan mata mereka seakan berbinar.
“Benarkah, Pak?” tanya Rheina.
Pak Rasyid mengangguk. “Saya akan berusaha semaksimal mungkin.”
Rheina pun tersenyum, lalu mereka berdua mengucapkan terima kasih.

-oOo-

Rheina berkutat dengan seluruh materi di tangannya. Kemarin, Pak Rasyid memberitahunya bahwa beliau tidak bisa membantu mencegah yayasan menghentikan beasiswa untuk Rheina. Tapi, beliau memberikan sebuah formulir pengajuan beasiswa ke sebuah lembaga yang cukup terkenal di Indonesia.
Kata Pak Rasyid, formulir itu beliau dapatkan dari teman yang bekerja di lembaga tersebut. Dan jumlah formulir itu sendiri kabarnya sangat terbatas, dan tidak di share bebas.
Lembaga tersebut menawarkan beasiswa secara kesinambungan sampai mendapat gelar sarjana, di universitas dalam atau luar negeri. Tapi konsekuensinya, jika Rheina ingin mengajukan diri untuk menerima beasiswa ini, ia yang sudah kelas dua SMA, harus kembali duduk di bangku kelas satu.
Tentu saja mengulang satu tahun bukan masalah besar bagi Rheina. Asalkan, dia bisa sekolah sampai minimal mendapat gelar sarjana. Maka disinilah Rheina, berkutat dengan test material yang akan diujikan dalam serangkaian tes yang akan dimulai besok.
Arista belum tahu masalah ini. Rheina memilih untuk tidak memberitahu Arista terlebih dahulu. Nanti, kalau sudah pasti ia mendapatkan beasiswa ini, barulah ia akan memberitahu Arista. Biar bagaimanapun, mengajukan diri menjadi penerima beasiswa ini mengandung sebuah konsekuensi yang tidak ringan. Ia harus siap jika lembaga yang bersangkutan memintanya untuk meninggalkan kehidupannya.
Termasuk, berpisah dengan Arista. Rheina tidak ingin terlalu memusingkan Arista dengan masalah ini. Ia yakin, Arista juga punya banyak hal yang harus diurusnya, selain hanya memusingkan tentangnya.

-oOo-

Seminggu yang lalu, di hari dan jam yang sama, aku baru saja melepas kepergian sahabatku, Rheina. Dia pergi ke Inggris untuk memenuhi konsekuensinya sebagai salah satu penerima beasiswa dari sebuah lembaga yang cukup terkenal di Indonesia.
Kurang lebih sebulan yang lalu, dia datang padaku membawa surat konfirmasi dari lembaga bersangkutan, yang menyatakan bahwa dia berhak atas beasiswa pendidikan sekolah menengah selama tiga tahun di London International High School, lengkap dengan living cost-nya. Selain itu, Rheina juga berhak atas beasiswa kuliah di LSE (London School of Economics and Political Sciences), lengkap dengan living cost-nya.
Yah, aku merasa itu ganjaran yang wajar untuk Rheina, mengingat serangkaian tesnya memakan waktu nyaris enam bulan. Dan selama itu, Rheina tetap sekolah dengan bantuan biaya dari Pak Rasyid, orangtuaku dan beberapa teman lainnya.
Aku tahu tentang usaha Rheina sejak awal, meski Rheina memilih untuk tidak memberitahuku. Aku menghargai keputusannya untuk tidak berkata apapun padaku. Mungkin, dia tidak ingin memberatkanku, meski aku tak pernah merasa terberatkan. Di  bulan kedua tesnya, aku melihat dia benar-benar sudah kesulitan. Beasiswanya sudah dicabut, ia dipecat dari kerja part time-nya, Om dan Tantenya kabur membawa harta orangtuanya ke luar negeri, hanya menyisakan rumahnya yang dalam hitungan hari akan disita oleh bank. Jadi, aku memutuskan untuk membantunya dan behenti berpura-pura tidak tahu. Aku dan Pak Rasyid, kami bersama-sama berusaha menegakkan lagi sayap Rheina.
Tiga hari setelah Rheina terbang ke Inggris, Pak Rasyid dipindahtugaskan. Entah kemana, aku tidak tahu, atau setidaknya belum tahu.
Yang aku tahu, berkat bantuan Pak Rasyid, Rheina saat ini bisa kembali terbang di Britania Raya sana.

-oOo-

Tujuh tahun kemudian...
Bandara Soekarno-Hatta...

“Gue kangen, Ris.” Rheina memeluk Arista erat. Sangat erat. Sampai Arista heran bagaimana ia masih bisa bernafas dalam kondisi itu.
“Sama, Rhe, gue juga kangen banget sama lo. Udah lamaaaaaa banget kita nggak ketemu langsung. Lo cuma jadi screensaver doang di laptop gue,” jawab Arista.
“Sama, Ris. Lo juga kayak screensaver laptop. Ada, tapi nggak bisa gue sentuh.”
Arista mengencangkan pelukannya di tubuh Rheina. “Sekarang bisa disentuh kan, Rhe?”
“Aww!! Sakit, Ris...” sahut Rheina mengaduh dan mencoba melepaskan diri dari pelukan Arista.
Lalu, mereka berdua tertawa bersama.
Di tengah tawanya, tiba-tiba Rheina teringat sesuatu. “Ris, Pak Rasyid gimana kabarnya?”
Mendengar pertanyaan Rheina, tubuh Arista menegang. Ia tertunduk dalam dan meneteskan airmata perlahan. Rheina bingung dengan situasi ini, namun cepat-cepat mencernanya.
Rheina kembali memeluk Arista. Hangat. Kali ini bukan peluk erat kerinduan akan sahabat. Namun, peluk yang menenangkan hati yang tak tenang. Terluka karena kehilangan. Tanpa sadar, Rheina juga ikut menangis. Tanpa perlu Arista menjelaskan secara verbal, Rheina mengerti. Bahwa kepala Tata Usaha SMAnya, yang begitu baik membantunya hingga bisa seperti saat ini, telah beristirahat.

Dan bahkan, sampai waktu beliau tiba, Rheina dan Arista belum sempat berucap. Maka saat ini, di Bandara, pagi hari, Rheina tahu Pak Rasyid akan mendengarnya. Akan mendengar sebaris kalimat yang berisi ketulusan untuk membalas ketulusan beliau. Ditemani pelukan Arista, dan airmata yang tak bisa berhenti meleleh dari kelopak mata kedua gadis itu, Rheina menggumam perlahan, “terima kasih, Pak Rasyid...”

Serpong
18 November 2012

0 comments:

Posting Komentar